D SP
Angin membuka pintu kamar dengan hati-hati. Sudah hampir pukul empat pagi. Sebenarnya ia sudah tiba di Jakarta sejak pukul tiga sore. Tapi saat ini pria itu benar-benar menghindari Kinanthi. Memilih menghabiskan waktu di kantor. Sambil memeriksa sejauh mana hasil pekerjaan anak buahnya. Baik itu untuk syuting film layar lebar maupun produksi iklan.
Ditatapnya Kinanthi yang sudah terlelap. Mungkin sebentar lagi akan bangun. Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Angin memilih tetap berada di Penang. Sambil terus berkonsultasi. Ya, hasil general check up menyatakan kalau ia menderita kanker paru stadium III A.
Ia berada dipersimpangan jalan. Apakah akan menjalankan operasi, kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi. Atau membiarkan semua seperti sekarang. Lalu menjalani sisa hidupnya bersama Kinanthi. Perlahan didekatinya ranjang mereka. Sudah hampir tiga tahun ia dan belahan jiwanya tinggal bersama. Diranjang yang sama, meski tanpa ikatan apapun.
Ia tahu, Kinan sangat tidak suka itu. Gadisnya cukup religius. Tapi Angin benar-benar tidak ingin kutukan itu menghampiri orang yang dicintainya. Bagaimana kalau kelak ia menyaksikan Kinan perlahan hilang ingatan? Terlalu besar rasa bersalah itu kelak. Memberikan penderitaan pada orang yang sesungguhnya ingin ia lihat tersenyum.
Dikecupnya kening halus Kinan dengan lembut. Ada beberapa surai yang menghalangi pandangannya. Kinannya tetap cantik meski tengah tidur. Ia memang melarang gadisnya untuk memotong rambut. Entah kenapa, suka sekali saat rambut panjang itu terjalin rapi. Tidak ingin mengganggu tidur kekasihnya yang lelap. Perlahan Angin bangkit. Ia melepas pakaian yang melekat. Menyisakan boxer sebagai penutup tubuh. Kemudian berbaring disamping Kinanthi. Memeluk perut rata yang begitu dirindukannya.
Entah kenapa tiba tiba bayangan itu terlintas. Bagaimana kelak rasanya bila ia terbaring dibawah tanah? Apakah akan sangat dingin dan kesepian? Apakah nanti yang akan ia rasakan? Bagaimana rasanya saat raga harus melepas nyawanya? Akankah ia masih bisa merasakan genggaman Kinan saat itu? Akankah ia bertemu dengan ayahnya? Ataukah ia menghadapi semuanya sendirian.
Angin merasa jiwanya kosong. Tidak tahu harus berbuat apa. Dan sesuatu dalam pikirannya berbisik. Ambillah waktumu yang tersisa. Nikmatilah!
***
Ibu menatap kosong halaman belakang. Kinan tahu, apa yang meresahkan ibu. Rumah mereka akan digusur. Dan uang penggantiannya tidaklah seberapa. Karena memang tanah ini hanya memiliki surat hak guna pakai. Seluruh wilayah ini akan dijadikan stadion olahraga oleh pemda. Mereka tidak punya tempat untuk pindah.
Uang ganti rugi sangat sedikit. Membeli tanah saja tidak akan cukup, apalagi membangun rumah. Kalau harus mengontrak akan membutuhkan biaya besar. Uang itu hanya cukup untuk beberapa tahun. Setelahnya? Mereka pasti tidak sanggup.
"Bu." Kinan berusaha membuyarkan lamunan ibu.
Perempuan tua itu menoleh padanya. Menatap dengan sendu.
"Kita harus bagaimana Kin? Ibu tidak punya simpanan apapun. Hanya kalian harta ibu yang paling berharga. Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi."
Kinan terdiam, ia mengerti kegundahan ibu. Meski tidak menangis, ibu pasti sangat sedih. Perasaan mereka sama, khawatir akan masa depan.
"Apa kita nggak sebaiknya minta tolong Kak Angin bu?"
Ibu menarik nafas panjang. Tanpa setahu Kinan, pria itu sudah memberikan penawaran. Ia meminta Kinan sebagai imbalan atas rumah yang akan diberikannya. Jelas ibu menolak, meski Kinan bukan putri kandungnya, tapi ia takkan pernah menyerahkannya pada sembarang orang. Apalagi laki-laki seperti Angin.
Tapi apakah masih ada jalan keluar? Dimana ada rumah murah untuk empat belas penghuni panti? Apakah ia harus menyerahkan mereka semua pada dinas sosial karena sudah tak sanggup? Selama ini Keuangan mereka dibantu oleh Angin. Lalu sekarang? Penghasilan menjual roti dan cemilan jelas tidak akan cukup.
"Bu." Kinan kembali menyentak lamunannya.
"Kita coba cara lain saja nanti Kin."
"Biasanya Kak Angin kan nggak pernah menolak ibu? Apalagi sekarang kita sedang kesulitan. Surat edaran kemarin bilang waktu kita tinggal dua minggu."
Ibu kembali diam, matanya menerawang jauh. Seandainya ayah masih hidup, ibu pasti punya teman bicara.
.
.
.
Maka, disinilah sekarang Kinan berada. Mencoba menggugah sedikit rasa belas kasih pria itu.
"Apa Ibumu belum mengatakan apapun?" Tanya pria itu.
Kinan hanya bisa menggeleng lemah. Angin bangkit dari meja kerjanya. Kemudian mendekatinya. Duduk diatas meja sambil menyilangkan kedua tangannya didada. Menatap gadis itu sambil tersenyum.
"Aku akan memberikan sebuah rumah yang nyaman untuk kalian semua. Seluruh surat-suratnya akan langsung kuurus. Tempat itu sangat cocok untuk kalian. Hanya dengan satu syarat yang harus kamu setujui."
"Apa itu Kak?" Tanya Kinan penuh semangat.
Angin menatapnya dalam. Memberikan senyum iblis miliknya. Seketika Kinan menyadari kesalahan yang telah ia lakukan. Tidak seharusnya ia kemari. Jangan berharap laki laki itu akan memberi rumah semahal itu tanpa meminta imbalan.
"Aku menginginkan kamu sebagai gantinya."
Seketika Kinan terdiam.
"Maksud Kak Angin?"
"Ya, kamu akan tinggal bersama saya. Menemani saya dan melayani saya."
"Apa.... kita akan menikah?" Tanya Kinan sambil meremas jemarinya.
Angin tertawa kecil menatapnya. Nadanya seperti tengah melecehkan.
"Apakah kamu kira, kamu pantas untuk saya nikahi? Saya hanya butuh perempuan untuk menghabiskan malam dengan saya. Syukur-syukur kalau kamu bisa memuaskan saya. Kalau tidak, ya sudah saya anggap saja rumah itu sebagai amal!"
Kalimat Angin yang diucapkan dengan nada santai itu menyulut amarah Kinanthi. Harga dirinya benar-benar hancur. Ia sudah jenuh dengan sikap arogan pria dihadapannya itu. Kinan segera bangkit dan berjalan kearah pintu. Ia menangis, tidak menyangka, harapan satu satunya malah meminta imbalan sebesar itu. Namun sebelum ia berhasil membuka pintu. Masih terdengar kalimat pedas milik Angin.
"Kamu tidak akan bisa lari kemanapun Kinan. Saya sudah mengunci kamu. Penolakan kamu hari ini akan kamu bayar dikemudian hari. Kamu yang akan merangkak memohon pada saya. Dan saat itu saya akan tertawa."
Kinan berusaha mengabaikan kalimat Angin. Ia benar benar membenci pria itu saat ini. Bahkan mungkin sampai nanti!.
***
Pagi itu, seluruh penghuni panti dikejutkan dengan kehadiran serombongan satpol PP yang muncul di depan rumah mereka. Membawa surat perintah pengosongan rumah. Seketika semua panik. Tidak menyangka akan secepat ini. Kinan memeluk adik-adiknya yang masih kecil. Sementara ibu hanya bisa membisu.
"Pak, tolong, beri kami waktu sampai besok pagi. Kalau besok kami tidak pindah, bapak boleh membongkar tempat ini." Ujar Kinan dengan suara bergetar. Menahan rasa sedih, kecewa dan juga marah. Tidak tahu harus berkata apalagi.
Negosiasi itu akhirnya berhasil. Mereka memberi ijin sampai dua hari kedepan. Dengan pertimbangan, itu adalah sebuah panti asuhan. Kinan sedikit lega, masih dengan airmata berlinang. Gadis itu keluar dari rumah. Diiringi oleh teriakan ibu. Ia sudah tidak peduli pasa dirinya sendiri. Tempat berteduh untuk adik-adik dan ibunya adalah nomor satu sekarang. Tidak lagi peduli pada harga diri.
Sesampai di kantor pria itu, ia harus menunggu. Dengan cemas ia duduk di kursi tamu. Memilin jemarinya. Diiringi tatapan penuh kasihan dari para karyawan. Rambutnya hanya diikat asal. Dengan gaun rumahan dan sendal jepit. Ia tak punya waktu tadi. Yang terbayang dan terngiang hanyalah suara tangisan mereka.
Hampir dua jam ia menunggu, sampai kemudian ia dipersilahkan masuk. Amgin tengah duduk dengan santai di kursinya. Menatap Kinan dengan senyum penuh kemenangan.
"Kak, aku bersedia!"
.
.
.
Kinan menatap adik-adiknya yang bergembira. Sore itu juga, mereka pindah ke rumah yang disediakan Angin. Terletak dipinggiran kota dengan halaman luas. Pria itu juga mengirimkan beberapa buah truk untuk mengangkut barang barang. Berikut orang orang untuk membantu.
Ibu hanya diam, menatap Kinan dengan penuh rasa bersalah. Putrinya harus mengorbankan diri. Tapi mereka tidak punya pilihan. Perempuan tua itu takut kalau kelak Kinan akan menderita. Takut kalau Angin hanya akan mempermainkannya. Tapi apa mereka masih punya pilihan?
Sesampai di rumah baru, tempat itu bahkan belum dibersihkan. Bahu membahu mereka membereskan semuanya. Yang penting malam itu bisa tidur. Kinan tersenyum puas. Ia merasa keputusannya adalah yang paling tepat. Meski setelah ini, ia tak lagi berada diantara mereka.
***
Kinan terbangun pagi itu dalam dekapan Angin. Jakarta diguyur hujan deras. Pria itu tidak tidur, tapi menatapnya dengan aneh. Jujur, Kinan merasa penasaran. Selama mereka saling mengenal, tatapan seperti itu tidak pernah ditujukan padanya.
"Jangan bergerak, biarkan saja seperti ini." Ujar laki-laki itu saat Kinan ingin bangkit.
Seperti biasa ia menurut. Angin meraih kepalanya agar semakin dekat dengan dada pria itu. Pelan dirasakannya belaian lembut pada rambutnya.
"Bagaimana harimu seminggu ini?"
"Baik, Mas." Jawabnya bertambah heran. Nada suara itu telah bertahun hilang dari Angin.
"Mas kenapa?"
Kembali Kinan hanya mendapatkan gelengan sebagai jawaban.
"Bagaimana kabar Dion?" Tanya Angin.
"Mas sehat?"
"Aku bertanya. Tugasmu hanya menjawab." Pria itu mengingatkannya.
"Aku sudah lama nggak ketemu Mas Dion. Setiap ke panti dia pasti sedang tidak berkunjung."
"Bagaimana pekerjaannya?"
"Aku nggak tahu, Mas."
Tiba tiba Angin melepaskan pelukannya dari tubuh Kinan.
"Aku mau mandi Kin. Setelah ini ke kantor."
Perempuan itu menatap tak percaya. Namun ia tahu, bertanya adalah hal yang paling dilarang. Membiarkan Angin masuk ke kamar mandi. Sementara ia menyiapkan pakaian pria itu. Kemudian Memilih membereskan tempat tidur. Tak lama Angin selesai mandi.
Kinan segera membantunya berpakaian. Tidak seperti biasa, pemilik Mata Angin production House itu hanya diam. Berdiri dengan tegak layaknya seorang anak kecil. Biasanya ia akan menggoda gadisnya. Ada rasa aneh dalam benak Kinan. Ada apa dengan Angin?
Selesai semua, mereka turun bersama. Kinan melayaninya di meja makan. Angin makan dengan lahap. Setelah itu bersiap ke kantor. Seperti biasa, ia akan mengecup kening belahan jiwanya. Namun kali ini jauh lebih lama. Matanya pun menatap Kinan tak lepas.
"Hati-hati di rumah. Aku akan pulang malam. Tolong siapkan koperku untuk empat hari. Aku harus meninjau syuting di Kolaka. Kalau kamu mau ke panti atau ada acara, kamu boleh pergi. Supir akan mengantarmu."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Angin berangkat. Sekali lagi ia menoleh ke depan garasi. Menatap hatinya yang tertinggal disana. Pandangan itu tak pernah lepas, sampai mobil menghilang dibalik pagar yang tertutup secara otomatis.
"Ada apa dengannya. Ia berubah pagi ini?" Tanya Mbok Jum yang tiba-tiba muncul dibelakang Kinanthi.
"Kin nggak tahu Mbok. Dari tadi pagi Mas Angin bersikap aneh."
"Kamu tidak bertanya?"
"Nggak berani Mbok, takut dimarahin."
Mbok Jum mengerti akan ketakutan Kinan. Angin memang tidak boleh dibantah! Peraturan yang sudah ia tetapkan, tidak boleh dirubah.
***
25 sept 2019
Maaf untuk typo and Sad reading....
Love you all❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top