C

Mengenakan pakaian kantor, Angin melangkah keluar kamar. Sebulan sudah berlalu. Tapi Kinan masih belum pulih juga. Gadis itu tak lagi menemaninya sarapan. Kali ini Angin membiarkan. Perlahan ia menarik nafas. Beberapa hari terakhir ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa sakit setiap kali menarik nafas. Sesak mungkin lebih tepatnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Mbok Jum lembut saat ia akan menyantap sarapannya.

"Kalau nafas dadaku sering sesak Mbok."

"Sudah ke dokter?"

"Belum, mungkin karena banyak merokok akhir-akhir ini."

"Ya dikurangi Ang. Dan jangan lupa ke dokter. Jangan menunggu penyakit bertambah parah."

"Iya, nanti saja Mbok. Sekalian kalau ada jadwal ke Singapur atau Malaysia."

Mbok Jum menggeleng. Angin selalu seperti itu. Menganggap sepele kesehatannya. Padahal keluarganya memiliki riwayat penyakit yang cukup mematikan. Yakni kanker! Saat diperhatikan tubuh Angin juga tampak lebih kurus. Namun Mbok Jum kembali mengusir pikiran itu. Angin hanya kelelahan dan stres. Akibat Kinan yang masih diam.

Ketika Angin pergi, perempuan tua itu naik ke lantai dua. Setelah mendapat ijin dari sang pemilik, ia memasuki kamar. Kinan baru selesai mandi.

"Sudah baikan Kin?"

"Sudah Mbok. Masak apa hari ini?"

"Belum tahu, Angin katanya nggak makan di rumah. Mau meninjau syuting sampai malam. Kamu kepingin apa?"

Kinan menggeleng pelan. "Terserah Mbok aja. Aku ngikut. Lagian aku paling cuma makan malam nanti mbok. Mau ke panti dulu. Ibu sakit. Sekalian mau besuk."

"Sudah ijin sama Angin?"

"Sudah mbok, seperti biasa. Harus ada pengawalan." Jawab Kinan lemah.

Jujur ia tidak suka dengan cara pria itu mengikatnya. Seolah ia adalah hewan peliharaan yang harus diikuti kemanapun.

Mbok Jum mengangguk. Tanpa bertanya lagi kemudian mengambil pakaian kotor milik majikannya.

"Saya aja yang bawa turun Mbok. Itu banyak, lagian berat. Banyak celana jeansnya mas Angin."

"Nggak apa-apa. Kamu kan belum pulih benar."

"Sudah kok Mbok."

"Oh ya, apa kamu nggak ada rencana cek ke dokter lagi?"

"Besok saja."

Mbok Jum menarik nafas dalam. Ia ingin mengingatkan Kinan untuk mengajak Angin ke dokter. Tapi rasanya sungkan mengingat hubungan mereka yang buruk. Meski sebenarnya sedari awal hubungan itu memang sudah salah. Akhirnya perempuan tua itu memilih pamit.

***

Kinan masih duduk dibangku kelas tiga SMP ketika Angin mulai memberikan perhatian lebih. Saat itu ia mulai sering menjemputnya sepulang sekolah. Gadis itu sudah tumbuh menjadi remaja.

Wajahnya semakin cantik dengan lekuk tubuh yang terlihat mulai membentuk. Angin tidak suka dengan mata melotot para murid SMU. Seolah ingin menerkan Kinan. Beberapa kali ia bertindak kasar pada mereka.

Kinanthi akan menjadi miliknya. Selamanya! Kerap Angin menunggui saat gadis itu mengikuti ekskul. Meski saat itu ia sudah kuliah, tidak peduli jika ada temannya mengejek kalau ia seorang pedofil. Karena hatinya sudah terpaut pada gadis kecil itu. Lalu mau apa lagi?

Meski begitu ia jarang mampir di panti. Tidak suka pada tatapan ibu yang mencurigai. Ia hanya ingin menjaga Kinan. Memastikan kalau masa depannya itu baik-baik saja. Meski harus menghadapi banyak rintangan. Demi sebuah mimpi untuk hidup bahagia.

Kinan cantik dan polos. Tak pernah berdandan lebih. Selalu berpakaian dan berkata sopan. Tidak pernah melakukan hal yang Angin tak suka. Sangat penurut!

Tersenyum saat pria itu menjemput. Dan berkata pada teman temannya.

"Kakakku sudah datang. Aku pulang duluan."

Gadisnya tidak pernah mengajak teman. Karena memang Angin tak suka bila ada orang lain diantara mereka.

Sepanjang jalan mereka akan berbicara mengenai kejadian hari itu. Setelah sampai di panti, Kinan takkan kemana-mana lagi. Ia gadis rumahan. Tidak melakukan hal yang Angin tak suka. Hanya akan melakukan sesuatu yang diijinkan ibu dan Angin.

***

Dua puluh lima tahun yang lalu.

Angin kecil berdiri di depan jendela. Ini hari kelima ibunya pergi. Tak ada lagi sarapan buatan ibu. Atau cerita yang dibacakan setiap malam. Kehangatan itu berubah menjadi dingin. Membekukan segala hal dalam rumah ini.

Perubahan itu sebenarnya sudah cukup lama. Dimulai saat ibu suka menyendiri. Selalu marah jika ia mendekat. Semakin lama ibu terasa semakin jauh. Tidak lagi peduli pada Angin. Bahkan selalu mengunci kamarnya, agar Angin kecil tak bisa masuk.

Dari bisik bisik yang dia dengar. Keluarga ibunya membawa putri mereka pergi karena takut kalau anaknya menjadi gila. Ada kutukan bagi garis keturunan dari ayahnya. Bahwa seluruh istri mereka akan berakhir menjadi tidak waras. Itu sudah dibuktikan oleh beberapa anggota keluarga. Bahkan ada yang sampai bunuh diri, seperti neneknya.

Angin sering melihat ibu tertawa dan berbicara sendiri. Apakah itu pertanda ibu juga menjadi gila? Angin kecil tidak mampu mencerna. Ia hanya merindukan ibu disaat seperti ini.

Hujan turun kembali. Angin teringat akan pelukan hangat ibunya. Ayah belum pulang bekerja. Sampai akhirnya Mbok Jum datang.

"Lho, den Angin kok di depan jendela? Ayo masuk nanti sakit."

"Aku rindu ibu, Mbok." Jawabnya sambil tertunduk sedih.

Mbok Jum segera memeluknya dari belakang.

"Ibu den Angin sedang berobat. Jadi belum boleh pulang. Nanti kalau sudah sembuh. Pasti datang lagi."

Angin hanya mengangguk. Mbok Jum tidak pernah berbohong. Ia yakin bahwa ibunya akan kembali. Meski sayang, tahun demi tahun harapan itu semakin memudar. Karena ibu tak pernah kembali.

***

Angin meletakkan pena di meja. Dadanya semakin sesak. Dihubunginya Tomo, supir yang mengantar Kinan tadi. Sekedar bertanya dimana belahan jiwanya. Kinan masih belum mau berbagi dengannya. Jawaban Tomo menenangkannya. Kinan sudah pulang dari jam lima sore tadi. Dan sekarang bersiap menuju dokter kandungan.

Angin meletakkan kepalanya di kursi. Ia berharap Kinan akan baik-baik saja. Sampai saat ini tidak ada indikasi kekasihnya itu mengalami gangguan jiwa. Angin tak akan menikahinya. Ia tidak ingin kekasihnya menderita. Biarlah seperti ini. Hanya ia yang tahu jawabannya. Aib keluarga harus disimpan rapat-rapat bukan?

Karena itu pula ia tidak membawa Kinan tinggal di rumah ayahnya. Kutukan itu tidak boleh mendekati kekasihnya. Tanpa memeriksakan diri ke dokter Angin tahu, kalau penyakit itu sudah mulai menggerogotinya. Ia tersenyum, kakek buyut, kakek, juga ayahnya mengalami hal yang sama. Biarlah kutukan itu berhenti padanya. Agar tidak adalagi keturunan mereka yang menderita. Cukup... cukup....

Angin tak ingin punya anak, karena itu hanya akan melanjutkan korban kutukan itu. Biarlah berhenti disini. Pada dirinya. Ia tidak ingin anak dan istri yang ditinggalkan mengalami apa yang pernah ia rasakan. Tidak mudah memang, tapi penderitaan tetaplah penderitaan.

Karena itu ia mempertahankan Kinan. Dengan waktu yang tak lama lagi, ia akan pergi. Jika saat itu tiba, ia ingin memejamkan mata disamping Kinannya. Meski dunia akan menghujat keputusannya. Tidak apa-apa. Ia hanya ingin pergi dengan senyum bahagia.

***

Kinan melangkah keluar dari tempat praktek dokter Noor Khalimah. Rahimnya baik-baik saja pasca kejadian kuretase kemarin. Hanya saja ia dilarang hamil selama enam bulan ini. Kinan mengiyakan, dan ia juga tahu kalau Angin akan mengatakan hal yang sama.

Berada di tengah hujan lebat didalam mobil. Matanya menatap jauh keluar. Banyak orang berteduh. Entah menunggu bis atau para pengendara motor. Kembali Kinan menarik nafas dalam. Apa yang tidak dimilikinya sekarang? Seharusnya ia bahagia. Seorang anak yang tumbuh besar di panti asuhan. Bisa menikmati kehidupan yang begitu mewah. Bergelimang harta!

Tapi bukan itu yang Kinan inginkan. Ia lebih suka hidup sederhana tapi normal. Terikat dalam pernikahan, punya anak-anak yang lucu. Dapur yang selalu mengeluarkan aroma masakan. Tidak masalah kalau ia harus membantu suaminya mencari uang. Kinan punya keahlian yang bisa dimanfaatkan.

Tapi semua mimpinya hancur karena seorang Angin. Laki laki yang pada awalnya dikira adalah seorang dewa penolong. Ternyata adalah seorang iblis berwajah manusia.

***

Pada suatu masa

Kinan baru saja pulang dari berbelanja bahan kue. Saat sebuah mobil berhenti disampingnya. Kak Angin! Pria itu tiba tiba muncul dengan wajah mengeras.

"Kakak antar pulang yuk!" Ucapannya lebih mirip sebagai perintah.

Kinan menurut karena memang hanya itu yang harus ia lakukan. Ia duduk di depan setelah lebih dulu Angin membantu memasukkan barang belanjaannya ke bagasi. Disepanjang jalan, pria itu diam. Tidak mengucapkan satu katapun. Jemarinya mengeras seperti tengah menahan amarah.

"Kak Angin kenapa?" Tanya Kinan.

"Kamu kemarin kemana?"

"Ada di panti."

"Malam-malam?"

Kinan menarik nafas panjang. Angin selalu mengetahui apa yang ia lakukan. Tidak ada yang bisa disembunyikan. Seakan pria itu punya mata disetiap sudut gedung panti.

"Nemenin Mas Dion ke pesta temennya."

"Kenapa mesti kamu? Memangnya nggak ada yang lain?"

"Kan nggak enak kak, Mas Dion nggak punya pacar."

Angin memukul stir dengan kuat. Kinan terlonjak kaget. Ia tahu laki laki yang duduk disampingnya ini sangat pemarah. Seharusnya ia mengerti aturan Langit. Tapi saat itu ia benar-benar tidak bisa menolak Mas Dion.

"Sekali lagi saya lihat kamu bersamanya. Kamu akan lihat apa yang bisa terjadi padanya. Saya tidak main main Kin!"

Kinanthi menarik nafas dalam. Ia seperti seorang pesakitan di ruang sidang. Angin tidak pernah menghamburkan kata-kata. Laki laki itu hanya bicara seperlunya. Dan inilah batasnya. Perempuan yang masih berusia sembilan belas tahun itu hanya bisa diam.

Sejak itu, Kinan hampir tidak pernah bisa bergaul lagi dengan laki laki manapun. Sampai sampai ibu merasa kasihan padanya. Angin tidak pernah menyatakan ada komitmen diantara mereka. Tapi sikapnya seolah menyatakan kalau Kinan adalah miliknya.

Di panti pun, Kinan akan berusaha menghindari mantan penghuni yang merupakan pria dewasa. Karena masih merasa sebagai bagian dari panti tersebut. Mereka sering datang berkunjung diakhir pekan. Kinanthi adalah adik yang manis untuk mereka. Namun tidak ada yang tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya.

Ancaman yang disampaikan Angin tidaklah main-main. Suatu hari, Dion mendapatkan pekerjaan baru dengan jabatan yang lebih tinggi. Disebuah bank swasta nasional. Kakak pantinya itu mengajak seluruh penghuni untuk menonton bioskop bersama. Tentu saja ini menjadi kebahagiaan buat semua. Jadilah sore itu mereka beramai-ramai ke bioskop.

Sayang, acara itu akhirnya menjadi pembuktian bagi ancaman Angin. Tak sengaja mereka berada di mal yang sama. Dan bertemu ketika Kinan dan Dion hendak membeli popcorn untuk semua penghuni. Saat itu, Angin tidak memberikan isyarat kemarahan sedikitpun. Ia malah memberikan ucapan selamat pada Dion.

Namun tiga hari kemudian, Dion harus terbaring di rumah sakit. Karena motornya terserempet oleh sebuah mobil. Saat membesuk Dion, Angin seakan ikut bersedih. Namun ketika pulang ia berbisik pelan pada Kinanthi.

"Aku selalu menepati ucapanku. Jadi jangan main-main!"

Ancaman itu ternyata terbukti. Dan sejak itu, Kinanthi akan selalu menjauh dari Dion!.

***

Happy reading
Maaf untuk typo
23919

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top