KM 16. Mengenali Kamu.
Tiana berhenti setelah lebih dari sepuluh kali mondar-mandir di depan kasur. Ekspresinya tiba-tiba berubah cepat. Ia menepuk tangan seolah mendapatkan ilham.
“Mungkin gue bisa minta bantuan mamanya Pak Abyan untuk jodohin Pak Abyan sama Alita! Kalau lihat dari reaksi Pak Abyan, dia takut sama mamanya. Nah, kalau mamanya yang suruh mereka untuk dating, pasti Pak Abyan enggak bisa tolak! Great Tiana, you are genius!”
Senyum Tiana hilang ketika pintu kamar kosnya diketuk. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan kalau Allita yang mengetuk pintu kamarnya.
“Bisa kita bicara?”
Tiana menunjuk dirinya sendiri. “Aku?”
“Iya, bisa kita bicara sebentar?”
Tiana mengangguk cepat. Tentu ini kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Tiana menutup pintu lantas berjalan keluar kos, mengikuti langkah Alita.
Tiana memperhatikan punggung Alita. Baginya, sejak awal berjumpa, penilaian tentang Alita tidak berubah. Alita adalah wanita baik. Abyan dan Alita adalah dua sosok yang memiliki satu kesamaan, yaitu teliti dan gigih. Pikir Tiana, mungkin mereka memang cocok.
“Kita ngobrol di sana saja, bagaimana?” tanya Alita menunjuk salah satu bangku di taman.
“Oh, iya, boleh.”
Tiana duduk bersisian dengan Alita. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Senyum Chandra menyambutnya kala Tiana menoleh ke sebelah kanan.
“Hai,” sapa Chandra.
Ingin sekali ia menonjok senyuman Chandra, tetapi Tiana tidak mau lagi menyentuh Chandra. Cukup sekali raganya dirasuki Chandra.
“Saya minta maaf.”
Tiana kembali menoleh ke arah Alita. “Maaf?”
Alita tampak kesulitan menyembunyikan kegelisahannya. Pelan ia mengangguk. “Soal kejadian bubur kemarin dan setelahnya.”
Tiana meremas jemarinya sendiri. Tentu saja ia ingat dan sampai detik ini pun, Tiana belum punya alasan masuk akal akan tingkahnya memeluk Alita dalam linangan air mata.
“Maaf. Kemarin saya begitu emosional. Saya terkejut karena enggak ada yang tahu soal cara saya makan bubur,” sambung Alita.
Tiana coba mendengarkan sambil mengingat Chandra memintanya untuk membelikan satu porsi bubur dengan semua bahan pelengkap dipisah-pisah. “Saya—”
“Tolong jawab yang jujur. Saya tahu kamu yang minta OB kirim makanan itu ke ruangan saya,” potong Alita dengan nada suara yang mulai serak menahan tangis.
“Saya, saya ….”
“Kenapa? Pasti ada alasannya.”
Tiana menoleh ke arah Chandra dan sialnya Chandra hanya mengangkat kedua bahu, pertanda tidak bisa membantu Tiana.
“Kata Hesti, itu, hmm, sarapan Mbak hari itu tumpah di dapur. Mbak enggak sempat sarapan. Jadi, saya inisiatif beli makanan,” elak Tiana ingat kalau Hesti pernah bertanya apakah alasan Tiana membelikan Alita sarapan adalah karena kasihan makanan Alita tumpah.
Alita diam, pelan ia menurunkan sebuah buku sketsa dari dekapannya. “Apa … kamu pernah bertemu dengan dia? Apa kamu mengenal dia?”
Tiana meraih buku yang disodorkan Alita. Baru membuka lembar pertama, Tiana hampir menjatuhkan buku Alita. Spontan Alita menoleh ke arah Chandra.
Chandra tertawa pelan lantas tersenyum. “Bagaimana? Gambarnya sangat mirip aku, ‘kan? Alita itu pandai melukis. Bakat luar biasa.”
Tiana kembali menatap wajah Chandra yang terlukis di buku sketsa. Chanda benar, kemiripan gambar dengan wajah aksi Chandra hampir seratus persen, seperti potret yang dicetak.
“Chandra Harsa.” Tiana menatap Alita. “Nama dari lelaki yang wajahnya saya lukis di kertas itu. Apa … kamu mengenalnya? Apa kamu pernah bertemu dengannya?”
“Ini—”
Alita menarik tangan Tiana hingga buku sketsa miliknya jatuh. “Apa dia baik-baik saja?”
Pandangan Tiana beralih pada Chandra. Ada banyak kesedihan yang menaungi mata Chandra. Entah jawaban apa yang paling tepat untuk diberikan pada Alita.
“Saya enggak pernah melihat lelaki yang ada di gambar itu,” jawab Tiana yang membuat Alita cepat melepaskan genggamannya.
“Tapi soal bubur itu—”
“Kebetulan selera kita sama. Saya juga kalau makan bubur, lebih suka kalau semuanya dipisah dari buburnya. Saya enggak pernah mengenal Chandra.”
***
Tiana membuka kertas yang ia lipat dua lantas menarik napas dalam-dalam. Mengapa Alita memberikan sketsa wajah Chandra padanya? Mengapa Alita bisa curiga kalau dirinya mengenal Chandra?
“Alita enggak pernah bilang sama siapapun kalau dia enggak suka makan bubur kalau semua bahan pelengkap dicampur satu, tapi dia enggak berani bilang.”
“Chandra?”
“Apa?”
“Apa? Dari semua kata, lo malah pilih kata itu? Keluar! Cukup di kantor saja lo bisa seenaknya muncul!”
Dimarahi seperti itu, Chandra malah tersenyum. “Aku lega Alita sudah mau bicara sama kamu. Mudah-mudahan dia mau berteman sama kamu, setelah itu dia mau berteman dengan yang lain.”
Dahi Alita mengerut dalam. “Memangnya kamu punya hubungan apa sama Alita? Alita enggak tahu kamu sudah meninggal?” Tiana melebarkan kertas tepat di wajah Chandra. “Nih, lihat! Dia cari lo. Seharusnya tadi gue kasih Alita ide untuk bikin selebaran orang hilang saja sekalian!”
“Aku yakin dengan punya banyak teman, lukanya pasti bisa sembuh. Alita bisa tersenyum lagi.”
“Gue enggak mengerti Chandra!”
“Kamu enggak harus mengerti juga Tiana.”
“Lo—” Kalimat Tiana terpotong oleh suara dari ponselnya. Pesan yang baru saja masuk membuatnya mengernyit.
Datang ke rumahku. Sekarang. Abyan.
“Tanpa dia tulis namanya juga, gue tahu ini dari si mister freak. Duh, mau apalagi sih? Ini weekend, enggak cukup apa dia nyiksa gue dari senin sampai jumat? Mau ngapain coba ke sana juga? Apa dia sakit lagi? Tapi bukannya ada mamanya di sana? Ah, malas! Gue enggak akan datang, tapi nanti kalau senin dia ngomel-ngomel bagaimana?” Tiana mengacak rambutnya sendiri lantas melempar ponsel ke kasur.
Tiana menoleh ke kanan. Chandra sudah tidak ada lagi di tempatnya. Bergegas Tiana membuka pintu, tidak ada tanda-tanda keberadaan Chandra di luar kamar atau sekitaran kamar Alita.
“Kemana lagi tuh demit?”
***
Ini kali pertama Abyan memintanya datang ke rumah di hari libur. Pasti ada hal yang sangat mendesak. Tiana tidak mau kena semprot di hari senin, takut kalau seminggu kedepan harinya akan selalu kelabu.
Sekali dua kali Tiana menekan bel rumah lantas menoleh ke kiri dan kanan. Tiana menyukai semua tanaman bunga yang tertata rapi di pot-pot sebelah kiri juga beberapa tanaman kaktus mini di pot-pot sebelah kanan.
Daun pintu terbuka. “Tiana? Kamu sudah datang?” seru Intan menarik Tiana ke dalam pelukan. “Ayo masuk, cepat, ayo, Sayang.”
Tiana tidak bisa menolak, ia berjalan dalam rangkulan Intan. “Tante, Pak Abyan ada, 'kan? Soalnya mobilnya enggak kelihatan.”
“Jangan panggil tante, dong. Mama saja.”
“Mama?”
Intan mengangguk-angguk. “Iya, aneh ya? Rencananya nanti kamu mau panggil ibu mertua kamu dengan sebutan apa?”
“I-ibu mertua?”
Intan kembali mengangguk. “Apa terlalu cepat, ya? Kamu merasa aneh kalau panggil saya mama?”
Tiana mengangguk cepat. “Iya.”
Intan menangkup kedua pipi Tiana. “Oke, kalau begitu sementara panggil tante saja dulu, nanti setelah kalian bertunangan, kamu panggil saya mama, ya?”
Tiana melepaskan rangkulan Intan. “Maaf, Tante, sepertinya ada sedikit kesalahpahaman. Saya bukan pacar Pak Abyan.”
“Loh, kok belum pacaran? Abyan itu bagaimana, sih! Kamu tenang saja, Tante akan suruh Abyan untuk minta kamu jadi pacarnya!”
“Saya, enggak mungkin jadi pacar Pak Abyan.”
“Loooh, kenapa?”
“Tante, Pak Abyan ada di rumah?”
“Dia lagi pergi main golf.”
“Pergi? Tapi Pak Abyan minta datang ke rumahnya.”
“Ponselnya ketinggalan. Tante yang kirim pesan ke kamu.” Intan menepuk lengan Tiana. “Tante enggak sangka kamu nurut sekali sama Abyan. Ayo masuk, kita ngobrol di dalam.”
“Tapi—”
“Ayo.”
Intan menarik Tiana masuk, membimbingnya menuju ruang tamu lantas memaksanya duduk. Intan mengusap pelan punggung tangan Tiana lantas memandangi wajah Tiana.
“Kamu itu cantik sekali, enggak mungkin kalau Abyan enggak suka sama kamu.”
“Tapi Tante, Pak Abyan memang—”
“Belum. Belum saja Abyan suka sama kamu. Pasti dia akan suka sama kamu,” potong Intan.
Ish, ni ibu dan anak sama saja gilanya, batin Tiana.
Intan mengeluarkan ponselnya. “Dulu kamu bekerja di salah satu perusahaan cukup besar di Jakarta, kenapa kamu berhenti?”
Tiana mengerjapkan mata. “Dari mana Tante tahu?”
Intan membalik sedikit ponselnya. “Nih, Tante baca dari CV kamu yang dikirim sama Siska. Kalau Tante minta sama Abyan, pasti dia enggak akan kasih, dia memang suka menyebalkan, tapi kadang-kadang kok, enggak selalu.”
Tiana memijit pelan dahinya. Menghadapi satu orang macam Abyan saja sudah membuatnya sakit kepala, sekarang ditambah lagi yang begini.
“Tante,” Tiana meraih ponsel yang digenggam Intan, menaruhnya di meja. “Saya tahu, Tante ingin Pak Abyan segera menikah, tapi sepertinya bukan saya calonnya.”
“Kenapa? Kamu enggak suka Abyan? Dia baik, loh, Tiana. Apa … kamu sudah punya pacar?”
“Belum, Tante, tapi ada yang sedang dekat sama saya.”
“Kalau begitu, coba buka hati untuk menjadikan Abyan pilihan lain.”
“Tante, belum tentu Pak Abyan suka sama saya.”
“Soal itu gampang. Nanti Tante yang urus.” Intan kembali menangkup pipi Tiana. “Cantik, kamu itu kok enggak asing, ya? Rasanya Tante pernah lihat kamu, apa sewaktu SMP, Tante pernah lihat kamu, ya?”
Pelan Tiana melepaskan tangan Intan dari pipinya. “Bagaimana, Tante?”
“Ternyata kamu pernah satu sekolah sama Abyan. Kami juga pernah tinggal di Jakarta. Dulu Abyan pernah sekolah di SMP Kesuma Insan.”
“Hah?”
“Iya, walau waktu itu kami pindah sewaktu Abyan naik kelas dua.”
“Pak Abyan kelas berapa, Tante?”
“Duh, Tante lupa. Nanti kita tanya Abyan, ya? Kamu tunggu sebentar, ya, Tante buatkan kamu minum dulu, sebentar.”
Setelah Intan tidak tampak lagi, Tiana berdiri. Berkali ia coba memeras kenangan dalam kepalanya. Sejak pertama bertemu dengan Abyan, memang Tiana merasa wajah Abyan tidak asing, tetapi rasanya tidak mungkin kalau Tiana melupakan sosok seperti Abyan.
Secara fisik, ketampanan Abyan bisa dibilang diatas rata-rata. Pastinya semasa sekolah, Abyan masuk ke dalam kelompok siswa populer.
“Kalau memang kami satu sekolah, gue pasti kenal Pak Abyan.” Tiana menoleh ke kiri dan kanan, berjalan masuk lebih jauh ke dalam rumah.
Tiba di ruang tengah, langkah Tiana terhenti melihat pigura berukuran besar yang digantung tepat di hadapannya. Tiana mengenali wajah berpipi bulat yang dipeluk erat Intan.
Tiana memberanikan diri mendekati pigura, tangannya meraih satu pigura kecil yang berjejer rapi di atas meja panjang di bawah pigura besar. Bibir Tiana gemetar, ingin mengucapkan sesuatu, tetapi lidahnya kelu.
Ya, iya mengenali pemilik wajah ini.
“Sedang apa kamu di sini?” Tiana berbalik, tangannya refleks menyembunyikan pigura yang dipegangnya ke belakang punggung. “Tiana! Kamu dengar saya?”
“Akhirnya aku tahu kenapa kamu enggak asing. Puas kamu selama ini ngerjain aku?” Punggung Abyan menegak. “Soal aku ada di sini, kamu bisa tanya sama mama kamu.”
Entah mengapa seluruh tubuhnya bergerak sendiri, berlari pergi meninggalkan Abyan yang masih diam mematung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top