Km 15. Calon Mantu
Tiana melepaskan sepatu dan kaus kaki Abyan. Cepat Tiana menggosok kaki Abyan yang dingin.
“Bagaimana ini? Pak Abyan, bangun, Pak!”
Tiana meletakkan kembali kaki Abyan lalu merogoh ponsel di saku. Entah apa yang terlintas dalam otak Tiana ketika nama Siska adalah orang yang pertama kali muncul untuk dimintai bantuan.
“Halo, Tiana, apa kabar?” tanya Siska penuh keceriaan di ujung sambungan.
“Mbak! Pak Abyan pingsan! Badannya panas! Kakinya dingin! Aku, aku enggak tahu Pak Abyan masih hidup atau enggak! Mbak, bagaimana ini, Mbak? Mbak, aku harus apa, Mbak?”
“Pak Abyan? Tunggu, tenang dulu, tarik napas dalam-dalam.”
Tiana menyeka bulir keringat yang tiba-tiba muncul lalu menarik napas dalam-dalam sesuai instruksi Siska, air matanya tiba-tiba merebak. Tiana ingat pernah berada dalam posisi ini, tepat ketika ayahnya meninggal karena serangan jantung.
“Mbak, bagaimana ini?”
“Pak Abyan lagi diet, bukan?”
Mendengar reaksi Siska yang 'biasa’ saja, kepanikan Tiana sedikit berkurang. “Hah? Bagaimana, Mbak?”
“Dia itu suka tiba-tiba takut gendut gitu.”
“Soal itu, aku enggak tahu, Mbak.”
Ada jeda sejenak hingga Siska kembali melanjutkan. “Kalian lembur terus bukan?”
“Lembur?”
“Pak Abyan itu suka lembur sampai nginap di kantor. Coba kamu cek tempat sampah, banyak bekas minuman kopi enggak?”
“Sebentar, Mbak.” Tiana bangkit lantas membuka tutup tempat sampah. Tebakan Siska tidak meleset. Kotak sampah yang berada di bawah meja kerja Abyan memang hampir penuh oleh banyak bekas cangkir kertas kopi. “Mbak, iya. Mbak benar.”
“Nah, 'kan. Memang, ya, susah dikasih tahu Pak Abyan. Tiana, jangan panik, kamu minta bantuan teman-teman bawa Pak Abyan pulang, nanti kalau sudah sampai rumahnya, kamu telepon saya lagi, mengerti?”
Tiana menganggukkan kepala. “Iya, Mbak. Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit, Mbak?”
“Enggak perlu. Kamu hubungi saya lagi kalau sudah di rumah Pak Abyan.”
***
Tiba di rumah Abyan, dibantu Satrio dan beberapa staf lain membaringkan Abyan di tempat tidur. Sekali lagi Tiana mengusap dahi Abyan.
“Sudah coba hubungi keluarganya?” tanya Satrio.
Tiana menoleh. “Belum.”
Salah satu staf lelaki berkemeja biru menimpali. “Biasanya enggak ada yang bisa dihubungi. Mbak Siska yang akan menemani Pak Abyan.”
“Aku akan temani kamu juga,” tegas Satrio.
“Sebaiknya aku saja yg di sini, kalian kembali ke kantor. Takutnya nanti Pak Abyan malah marah kalau rame-rame di sini. Nanti aku coba hubungi Mbak Siska lagi.”
Semua orang kecuali Satrio kompak mengangguk kemudian keluar satu per satu dari kamar Abyan.
“Kamu yakin? Aku … sebenarnya enggak suka kamu berdua begini dengan Pak Abyan.”
Tiana menahan dirinya sendiri untuk tidak tersenyum. “Enggak apa-apa, ini juga bagian dari tugas aku. Nanti aku telpon kamu, ya. Hati-hati di jalan.”
“Kamu yakin?”
Tiana mengangguk. “Iya.”
Meski berat, pada akhirnya Satrio pergi. Tiana berjalan menuju jendela ketika mendengar deru mobil. Ia membuka sedikit gorden kamar. Mobil kantor perlahan meninggalkan pekarangan rumah Abyan.
Tiana menarik napas dalam-dalam lantas kembali menghubungi Siska seperti yang diminta.
“Kamu sudah sampai di rumah Pak Abyan?” tanya Siska ketika sudah terhubung dengan panggilan Tiana.
“Sudah, Mbak.”
“Ti, di laci nakas ada botol obat yang tutupnya berwarna biru. Coba kasih ke Pak Abyan satu tablet. Nanti setelah setengah jam, kamu coba kasih Pak Abyan makan dulu, baru minum obat lagi yang tutupnya berwarna putih.”
“Iya, Mbak.”
“Biasanya setelah minum obat yang tutupnya putih, nanti demamnya turun, Pak Abyan pasti keluar keringat, kamu ganti pakaiannya dulu, habis gitu kamu pulang saja.”
“Ga-ganti pakaian?”
“Iya, ganti kemejanya pakai kaus di lemari. Pilih yang mana saja, bebas.”
“Harus, Mbak?”
“Iya, nanti dia malah tambah sakit kalau tidur pakai baju basah. Kalau ada apa-apa, kabari aku lagi ya. Dari tadi aku sudah coba hubungi mama Pak Abyan, tapi masih belum diangkat. Duh, padahal mama Pak Abyan mau buat kejutan. Pak Abyan enggak tahu kalau hari ini mamanya pulang ke Indonesia.”
“Mamanya?”
“Iya, nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku lagi ya. Kalau Pak Abyan sudah ganti pakaian, kamu pulang saja, biasanya Pak Abyan tidur pulas sampai pagi.”
“Oh, iya, Mbak. Terima kasih, Mbak. Maaf ganggu. Bye.”
Tiana mengakhiri panggilan lantas menatap Abyan lekat-lekat. Pikirnya, mana mungkin ia bisa meninggalkan Abyan sendirian. Bila terjadi sesuatu, ia akan jadi orang pertama yang paling merasa bersalah.
Tiana mendekatkan wajahnya ke arah wajah Abyan. Awalnya Tiana menyapu bulir keringat di dahi Abyan kemudian jari telunjuk Tiana lanjut bergerak menyusuri tulang hidung, bibir dan berakhir di ujung dagu Abyan. Entah mengapa ujung bibir Tiana melengkungkan senyum.
“Wajahnya enggak asing.” Tiana menggelengkan kepala lantas menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Sadar Tiana. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Oia, katanya harus minum obat yang sebelum makan, tapi Pak Abyan masih tidur. Dia sudah keringatan juga. Apa ganti baju sekarang saja, ya?”
Tiana menyingkap selimut. Kemeja Abyan sudah basah. Tiana membuka satu per satu kancing kemeja Abyan. Sedikit mengangkat kepala Abyan saat melepaskan kemeja lantas menaruhnya di lantai.
Tiana berhenti saat menarik kaus tipis dan perut Abyan terlihat. Wajah Tiana menghangat. Ia menggigit bibir, berusaha mengenyahkan kegugupan. Namun, debar jantungnya malah semakin menggila.
Entah apa yang merasuki otak Tiana, ketika ujung telunjuknya menyentuh otot perut Abyan.
“Kamu mau ngapain?”
Refleks Tiana mendongak. “Pak Abyan?”
Abyan duduk lantas memijat dahi lantas menatap ke sekeliling. “Kamu yang bawa aku pulang?”
“Iya, Pak. Dibantu teman-teman yang lain.”
“Begitu, ya?”
Tiana mengangguk. “Bapak enakan?”
Abyan mengangguk. “Kamu bisa kembali ke kantor. Nanti saya minum obat.”
“Saya bantu, ya, Pak.”
“Enggak perlu. Kenapa kamu buka-buka pakaian saya?”
“Ah, itu, baju Bapak basah. Niatnya, saya mau ganti, Pak.” Abyan meloloskan kaos terakhir yang membalut tubuhnya. Tiana yang wajahnya hanya berjarak sejengkal dari dada telanjang Abyan, menelan ludah.
“Kalian sedang apa?”
Suara melengking dari arah pintu, membuat Tiana dan Abyan menoleh. Tiana sontak berdiri sedangkan Abyan kembali merebahkan tubuhnya lantas menarik selimut.
“Abyan! Sebaiknya kamu punya penjelasan yang bagus!”
“Ini, saya, niatnya mau ganti pakaian Pak Abyan.”
“Loh, memangnya kenapa Abyan enggak ganti sendiri? Abyan!”
“Abyan sakit, Ma. Nanti Abyan jelaskan, sekarang Mama keluar dulu.”
Intan melepaskan kacamata dan meletakkan tasnya di nakas. “Bangun! Mama tunggu kalian di ruang tengah. Sekarang Abyan!”
***
Bergantian Intan menatap Tiana yang tertunduk dan putranya yang duduk menyender sembari memejamkan mata. Sejujur-jujurnya, Intan sempat lega karena menangkap basah Abyan membawa wanita ke kamarnya.
Selama ini Intan sempat berpikir kalau putranya mempunyai orientasi seksual yang melenceng. Kadang Intan juga berharap tiba-tiba ada wanita yang mengaku dihamili Abyan. Dengan begitu, Intan bisa memaksa Abyan untuk cepat menikah.
Intan menggeleng, ia kembali menatap Tiana. “Kamu asisten baru Abyan? Siska pernah cerita kalau Abyan mau tambah asisten.”
Tiana menaikkan pandangannya. “Iya, Bu.”
Intan tersenyum. “Siapa nama kamu?”
“Tiana Dewi, Bu.”
“Tiana Dewi?” Intan mengangkat dagu Tiana, “perasaan wajah kamu enggak asing. Nama kamu juga sepertinya pernah saya dengar.”
Mata Abyan tiba-tiba sepenuhnya terbuka. Ia menarik tangan ibunya dari dagu Tiana. “Ma, sudah, jangan ganggu dia. Kenapa Mama enggak kabari Abyan kalau mau pulang?”
Intan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. “Tadinya Mama mau kasih kejutan, tapi malah Mama yang terkejut. Abyan, pasti kamu overworked lagi, ya? Ngaku kamu sama Mama! Kamu pasti lembur berhari-hari, enggak makan, minum kopi seharian! Kamu enggak kapok-kapok keluar masuk rumah sakit?”
Abyan kembali menyandarkan kepalanya. “Iya.”
“Mama sudah bilang ribuan kali. Kamu cari kegiatan selain bekerja. Makanya nikah! Kamu itu punya pekerjaan yang baik, wajah kamu juga enggak jelek, tapi kenapa sampai detik ini enggak ada satu pun wanita yang kamu kenalkan ke Mama.”
“Kita sudah pernah bahas hal ini, Ma. Jadi, stop.”
“Kalau kamu mau Mama berhenti bahas ini, menikah Abyan! Dulu sewaktu Siska pertama kali datang sebagai asisten kamu, Mama sudah bilang sama kamu, coba dekati dia sebagai lelaki. Eh, kamunya enggak mau dengar, Siska nikah sama lelaki lain. Kalau kamu nurut sama Mama, sekarang Mama pasti sudah nimang cucu. Abyan, Mama janji sama kamu, Mama akan turuti kemauan kamu, Mama berhenti bekerja, tapi please Abyan, menikah, kasih Mama cucu!”
“Ma.”
Intan memijat pelipisnya. “Apa? Mama itu khawatir. Kamu begini terus karena enggak ada yang mengingatkan kamu. Jangan bekerja terus, jangan lupa makan, jangan lupa istirahat. Ih, kesel Mama. Dengar, ya, tahun ini kamu harus menikah.” Intan kembali menatap Tiana. “Kamu menikah saja sama Tiana. Mama restui hubungan kalian.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top