KM 27. Ambang Kematian
Apa ini?
Mengapa Tiana merasa tubuhnya begitu ringan?
Semua yang ada di sekelilingnya berpendar, lama kelamaan meninggalkan bias putih, menyisakan Abyan yang masih menatapnya.
Ayo kita menikah!
Sungguh?
Sungguhan?
Kedua ujung bibir Abyan naik, Abyan tertawa lantas kembali duduk di sofa. “Harusnya sekarang kamu lihat wajah kamu sendiri. Menikah? Kita? Yang benar saja. Menggelikan.”
Seperti ada gong yang digaungkan tepat di telinga Tiana. Tubuh Tiana menggigil. Matanya melirik Abyan yang memainkan ponsel dan sesekali masih tertawa. Isi dalam kepala Tiana memintanya untuk menerjang Abyan, tetapi apa daya, hanya cucuran air mata jatuh membasahi pipi Tiana.
Sadar kalau Tiana tidak memberikan respon apa-apa, Abyan mendongak. Abyan berdiri. Sedari tadi ia tahu Tiana menangis, tetapi air mata yang kini membanjiri mata Tiana terasa berbeda.
“Tiana.”
“Ya, memang, menggelikan,” ucap Tiana gemetaran, ia berbalik, setengah berlari keluar dari ruangan Abyan.
“Tiana! Tunggu!”
Abyan menarik tangan Tiana, cepat Tiana menepisnya.
“Apa?” timpalnya menyeka air mata.
“Kamu salah paham.”
“Salah paham bagaimana? Aku mengerti, iya, kita memang enggak akan menikah! Enggak! Kenapa kita harus menikah? Kenapa harus sama aku? Kenapa?”
“Tiana.” Sekali lagi Tiana menepis tangan Abyan. Ia meraih tasnya di dalam laci. “Tiana, dengar dulu.”
“Apa?” Tiana kembali menyeka air matanya.
“Kenapa kita harus menikah? Apa kamu bisa menjawab pertanyaan itu juga? Kenapa kita harus menikah? Apa kamu lupa? Kamu enggak suka sama aku! Apa aku harus jatuh cinta sendirian lagi seperti dulu? Iya?”
Tiana terdiam. Pertanyaan-pertanyaan Abyan berlarian di kepalanya hingga muncul pertanyaan baru. Apa yang hatinya rasakan?
“Kamu sendiri enggak bisa jawab, 'kan?” Abyan menyugar rambutnya lantas berbalik hendak kembali ke ruangannya.
“Aku suka sama kamu!” Punggung Abyan menegak, tetapi ia masih belum berani berbalik menatap Tiana. “Sekarang … aku yang sendirian jatuh cinta.”
***
Abyan menarik punggung dari sisi mobilnya lantas melambaikan tangan ke arah minimarket.
“Abyan sudah sampai di depan gang, Ma. Abyan enggak sendirian.”
“Ini sudah malam Abyan, kamu ajak siapa ke Bandung?” tanya Intan di ujung sambungan.
“Tebak. Mama pasti senang.”
“Siapa, sih? Setahu Mama, kamu enggak punya banyak teman. Siapa, sih Abyan? Mama penasaran.”
Abyan tersenyum lebar, matanya melirik ke arah minimarket. Sembari tersenyum-senyum sendiri Abyan berkata, “calon menantu Mama.”
“Siapa?”
“Tiana.”
Abyan menjauhkan sedikit ponsel dari telinga ketika teriakan bahagia Intan menyengat telinganya.
“Abyan, kamu serius?”
“Iya, Tiana ikut ke Bandung karena ingin bertemu Alita dan meluruskan masalah antara mereka. Sejak kejadian Alita sakit, Tiana belum bertemu Alita lagi.”
“Sekarang Tiana di mana? Mama mau bicara sama Tiana.”
“Di minimarket, Ma. Tiana bilang mau beli sesuatu untuk anak-anak panti.”
“Ya sudah, kamu cepat ke sini, Mama senang sekali.”
“Iya, Ma.” Abyan menoleh, ke seberang jalan. “Ma, toko kue yang tadi sudah buka. Mama mau beli kue? Biar Abyan belikan.”
“Iya Abyan, boleh.”
Abyan menoleh ke arah kiri, melambaikan tangan dan mulai berjalan menyebrangi jalan. “Sebentar, Ma, Abyan—”
Entah apa yang lebih cepat dari kilatan cahaya yang menyambarnya atau rasa sakit yang memeluk Abyan. Tubuh Abyan terpelanting, berguling-guling di atas aspal lalu diam tertelungkup. Abyan bisa mendengar dirinya sendiri menarik napas dalam-dalam.
“Abyan, Abyan.”
Sayup Abyan mendengar suara yang ia kenali. Begitu samar hingga akhirnya tidak terdengar dan kegelapan merengkuhnya.
***
Dalam satu tarikan napas Abyan terjaga. Awan putih berarak di luasnya langit biru. Semilir angin membelai wajahnya. Abyan meraba tempatnya berbaring. Pucuk-pucuk rumput yang basah menyapa telapak tangannya.
“Sudah bangun?”
Sontak Abyan menoleh dan bangun. “Kamu?”
“Hai, lama enggak berjumpa.”
“Chandra?”
Chandra tertawa pelan. “Iya, aku.”
Abyan diam sejenak, mengamati tempatnya berdiri dan sepanjang mata memandang, ia hanya melihat hamparan rumput hijau.
“Kita … di mana?”
Chandra bangkit, menepuk bagian belakang celana lantas mengangkat kedua bahu. “Aku juga enggak tahu.”
“Apa … aku sudah mati?”
Chandra kembali tertawa lalu menepuk lengan Abyan. “Kamu takut?”
Abyan menelan ludah. “Kamu sudah meninggal.”
Chandra kembali tersenyum lantas mengangguk. “Abyan, dengarkan aku, jangan pernah berpikir untuk menikahi Tiana atau bahkan hanya sekadar menyukainya. Jangan mengikat benang takdir jodohmu pada Tiana.”
Abyan mengerjapkan mata. “Maksudnya apa?”
“Aku enggak akan rela kamu masuk ke dalam pusaran itu,” jawab Chandra menunjuk ke arah belakang Abyan.
Abyan berbalik, pupil matanya melebar, ia mundur beberapa langkah. Seingatnya, yang ia lihat adalah hamparan rumput, tetapi sekarang yang ada di hadapannya adalah sebuah lubang besar berputar persis seperti portal menuju neraka.
Abyan mengerjap ketika tangannya dicengkeram Chandra. Ia kembali menatap Chandra. “I-ini.”
“Kamu enggak boleh menikahi Tiana. Coba buka hatimu untuk Alita, aku akan meninggalkan dunia ini setelah Alita bisa tersenyum lagi.”
“Chandra.”
“Aku hanya bisa sekali mengeluarkan kamu dari sini. Jangan lengah, jangan menikahi Tiana. Pergi Abyan!”
Sementara itu, Tiana yang akhirnya setelah hampir dua hari menginap di rumah sakit, ia menurut untuk kembali ke panti. Sesekali ia mengusap air mata dan memeriksa ponselnya, berharap Intan memberikan kabar Abyan sudah siuman.
“Maaf, hanya ini yang Bunda punya,” ucap Euis meletakkan beberapa helai pakaian di atas ranjang. “Kamu ganti pakaian dulu, biar pakaian kamu nanti Bunda cuci.”
Tiana berusaha tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih.”
“Hari ini, biar Alita yang jaga Abyan, besok kamu boleh ke rumah sakit lagi. Kamu juga harus jaga kondisi badan kamu. Jangan sampai sakit. Maaf, sementara kamu tidur di kamar ini. Dulu, ini kamar Chandra.”
“Chandra?”
“Iya. Bunda tinggal sebentar, ya?”
Tiana mengangguk cepat dan Euis pergi meninggalkannya sendiri. Tiana menurunkan tas, menoleh ke kiri dan kanan sebelum melepaskan jaket yang sebelumnya diberikan Euis di rumah sakit lantas menyampirkannya di sandaran kursi belajar.
Mata Tiana menatap deretan potret di dinding. Di semua potret, Chandra selalu tersenyum bahagia. Pandangan Tiana berhenti di salah satu pigura. Tiga wajah yang ia kenal membuatnya kembali bersedih.
Tiana meraih potret itu, wajah Alita, Chandra dan Abyan dengan senyum yang sekilas tidak banyak berubah. Tiana menggigit bibirnya erat.
Bagaimana kalau Chandra mengajak Abyan pergi?
Satu tetes air mata membasahi permukaan pigura. Tiana mengusapnya.
“Jauhi Abyan.” Tiana menoleh, Chandra sudah berdiri tepat di sebelahnya. “Tinggalkan Abyan.”
“Chandra.”
“Kita harus mematuhi kesepakatan. Abyan akan menikahi Alita atau aku enggak akan pergi dari sisi kamu selamanya.”
Tiana diam, ia ingat kalau Moira mengatakan Chandra tidak bisa pergi jauh dari Alita, tetapi bukankah Alita sedang berada di rumah sakit?
Mengapa Chandra ada di sini?
Bukankah dengan menjauhi Alita, maka Tiana tidak akan berurusan lagi dengan Chandra?
“Kami akan menikah. Aku enggak akan pergi meninggalkan Abyan!”
Pelan Chandra mendekati Tiana, perlahan juga rupa Chandra berubah. Amis darah menyergap rongga hidung Tiana. Luka menganga di kepala Chandra mengeluarkan darah, lebam di pipi kanan terlihat sangat jelas.
“Enggak. Kamu enggak bisa abaikan aku. Jauhi Abyan atau dia akan mati bersamaku!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top