KM 26. Jebakan atau Ajakan?

Pandangan Abyan mengitari semua orang yang duduk cemas di ruang pertemuan. Matanya berhenti di salah satu wanita berkemeja biru muda yang matanya sudah sembab. Tangan hangat Tiana tiba-tiba merangkul lengannya, Abyan merunduk sedikit.

“Apa?”

“Ada apa?” tanya Tiana setengah berbisik.

Abyan melepaskan tangan Tiana, menarik kursi lalu membimbing Tiana duduk. 

Mudah-mudahan kamu enggak sebodoh yang aku pikirkan. batin Abyan.

Tiana mendongak. “Ada apa?” ulangnya.

Abyan membungkuk, menyamakan tinggi kepalanya dengan Tiana yang duduk, hampir saja pipi mereka bersentuhan. “Kalau kamu kaget, jangan teriak, genggam tangan aku saja.”

Tiana hendak menoleh, tetapi tangan Abyan sigap menahan kepala Tiana agar tetap lurus menatap ke depan lantas Abyan berpindah posisi, berdiri di samping Tiana.

Terdengar suara derak dari belakang, daun pintu terbuka lebar, seorang lelaki berperut buncit masuk terlebih dahulu, disusul dua orang wanita berpakaian hitam, satu lelaki berusia lima puluhan yang juga mengenakan pakaian hitam dan terakhir Hesti masuk kemudian menutup pintu.

“Saya rasa semuanya sudah hadir. Terima kasih dan maaf Pak Abyan karena mengganggu hari cutinya,” ujar lelaki berperut buncit yang berdiri di samping Hesti.

“Enggak masalah, Pak. Silakan dilanjutkan, Pak,” sahut Abyan.

Hesti menghampiri Tiana. “Gue berharap lo enggak setolol mereka,” bisiknya ke telinga Tiana kemudian menarik kursi di sebelahnya lantas mempersilahkan salah satu wanita berpakaian hitam yang ternyata sedang hamil untuk duduk.

“Kami, perwakilan dari perusahaan, turut berduka atas meninggalnya ibu dari rekan kami, Satrio pada malam hari minggu. Kami juga meminta maaf dan berterima kasih karena pihak keluarga setuju untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin.”

Wanita hamil yang duduk tak jauh dari Tiana menangis. Tiana semakin gelisah karena semuanya berwajah sendu. Tiana menoleh ke arah Abyan, melirik tangan Abyan yang berada di sebelahnya. Pelan tangan Tiana merambati telapak tangan Abyan. Sontak Abyan balas menyatukan jemarinya di antara sela jemari Tiana.

“Kami sudah menulis beberapa surat pernyataan dari karyawati kami dan—”

“Siapa di antara kalian yang bernama Rahma?” tanya si wanita hamil yang sudah berderai air mata.

Tidak ada yang menyahut, tetapi hampir semua mata tertuju pada wanita berkemeja biru muda. Tiana menoleh ke arah Abyan ketika merasa Abyan mempererat genggamannya.

“Beraninya dia mengganggu rumah tangga kami!” lanjut sang wanita yang sudah berdiri kemudian mengelus perutnya.

“Aku enggak tahu kalau Mas Satrio sudah beristri,” timpal si wanita berbaju biru.

Semua terjadi dalam sekejap mata. Wanita hamil itu menerjang Rahma, menarik habis rambut Rahma sampai menjerit-jerit. Abyan, Hesti dan lelaki yang berada dekat dengannya memisahkan keduanya

“Sabar, Bu, sabar. Saya sendiri sebagai manajer personalia, enggak tahu kalau Satrio sudah berkeluarga. Semua data-data yang Satrio kirimkan pada saat melamar pekerjaan pun, enggak ada yang menyatakan Satrio sudah menikah, Bu.”

“Mohon maaf, Pak. Mohon maklumi amarah adik saya. Saya Rusli, kakak ipar Satrio. Terlebih, selama ini Satrio enggak pernah menunjukkan gelagat aneh. Kami sebagai keluarga sangat terkejut.”

“Dia! Dia sudah tahu kalau Mas Satrio beristri!” Istri Satrio mengeluarkan ponselnya. Tiana sontak berdiri, matanya menatap nanar ponsel tersebut. Ya, Tiana ingat, itu adalah ponsel yang Tiana berikan pada Satrio. “Ini! Lihat pesan wanita ini ke Mas Satrio! Dia bilang kalau dia juga sedang hamil dan minta Mas Satrio meninggalkan saya!” raungnya.

Abyan melepaskan pegangannya lalu kembali mendekati Tiana. Mata Tiana yang terfokus pada ponsel yang digenggam istri Satrio membuat Abyan memijat dahinya.

Wanita yang berdiri di sebelah istri Satrio ikut menangis. “Adik saya … lelaki baik-baik, dia yang membantu mengurus semuanya hingga mendiang ibu bisa dioperasi dengan seluruh biaya ditanggung pihak asuransi.”

Tiana kembali duduk, tangannya gemetar menyentuh dada. Kepalanya ikut pening. Tiana hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tubuhnya seakan ditarik ke lubang dalam hingga tiba-tiba sentuhan di bahu membuatnya menoleh.

Abyan menyerahkan selembar kertas dan pena. “Aku rasa kamu juga salah satu korban, tulis kerugian dan kronologi kejadian. Kalau ada bukti percakapan, kita lampirkan nanti. Sekarang, tenangkan diri kamu.”

***

Hesti menggeser cangkir berisi teh manis hangat ke arah Tiana. Sekarang keduanya sudah berada di ruang kerja Abyan. Pertemuan dengan pihak keluarga Satrio masih berlangsung, tetapi melihat Tiana yang sudah pucat pasi, Abyan meminta Hesti membawanya pergi.

“Sebenarnya gue pikir, belum saatnya gue tanya masalah ini, tapi gue penasaran dan merasa bersalah sama lo karena gue ikut menyemangati lo untuk dekat sama Satrio. Berengsek memang!”

Tiana menoleh tak bertenaga. “Iya.”

Hesti merapatkan tubuhnya pada Tiana. “Lo enggak diapa-apain, kan? Lo … tubuh lo, hmm, gue gimana nanyanya, ya.”

“Gue enggak segila itu.”

“Lega gue dengarnya. Gue pikir lo tolol kaya mereka. Sampai mau diajak tidur, uang habis puluhan juta, penipu kurang ajar!”

Ucapan Hesti memancing tangis yang sedari tadi coba ditahan Tiana. Bibirnya mulai gemetar sementara air mata terlebih dahulu berlomba menuruni pipi Tiana.

“Gue.”

Hesti menoleh. “Lo, nangis? Lo serius cinta sama Satrio?”

Tiana menunduk semakin dalam. “Gue.”

Hesti berganti posisi duduk, ia merengkuh kedua bahu Tiana mengguncangnya pelan. “Ada apa?”

“Ponsel yang dipegang istri Satrio.”

“Ponsel?”

“Itu dari gue.” Tangis Tiana terlepas.

“Hah?”

Tiana menatap Hesti. “Dua puluh juta, duitnya … gue, Hesti, bagaimana ini?” raungnya. Penjelasan Tiana memang tidak lengkap, tetapi Hesti mengerti sejelas-jelasnya. Kali ini giliran Tiana yang mencengkram kedua bahu Hesti. “Gue harus gimana?”

Hesti melepaskan kedua tangan Tiana dari bahunya lantas menyandarkan punggung di sofa, matanya menatap plafon. “Sial. Ternyata lo tolol juga.”

“Gue, gue kira dengan gue kasih dia ponsel baru karena ponsel dia rusak, kita berdua jadi lebih mudah komunikasi. Hubungan kami semakin baik Hesti. Sekarang gue harus bagaimana? Itu uang yang gue kasih ke Satrio, hasil gue gadai gelang dan cincin gue, ditambah sedikit tabungan gue. Gue enggak berani minta sama mama. Deposito gue dipegang mama. Sekarang … gue harus bagaimana?”

Hesti menutup kedua telinganya. “Diam dulu, sebentar, gue berpikir dulu. Ya ampun Tiana, kok bisa? Kok bisa lo enggak minta saran dulu sama gue!”

“Maaf Hesti, maaf.”

Hesti bangkit, berjalan mondar-mandir, sementara tangannya bergerak menuju bibir, kegelisahan telah seutuhnya menyelimuti Hesti sampai ia mencubit-cubit bibirnya sendiri.

“Ngapain lo minta maaf sama gue?” sentak Hesti meremat kepalanya sendiri. “Jangan nangis! Tambah kesel gue lihat lo nangis!”

“Hesti,” raung Tiana.

“Atasan gue sama Pak Abyan sepakat untuk lapor ke polisi karena nominal uang dari beberapa karyawati kita yang dia dekati juga enggak sedikit. Kalau menekan keluarga Satrio untuk mengganti kerugian, rasanya enggak etis, toh keluarganya juga dirugikan.”

“Terus bagaimana?”

“Gue bilang jangan ngomong dulu! Diam! Kesel! Gue curiga nih, gue curiga sama si Rahma nih. Jangan-jangan memang dia ada main sama Satrio soalnya dari bukti selingkuh yang tadi istri Satrio kasih lihat, si Rahma ini minta dinikahi dan Satrio bilang sedang cari uang untuk pesta. Gila!”

“Jadi gue harus bagaimana?”

Hesti kembali duduk, sekilas ia melirik Tiana yang sibuk menyeka air mata. Sejak awal mengenal Tiana, Hesti tahu bila berurusan dengan asmara, Tiana pasti terkena sial dan berakhir dengan linangan air mata.

Pelan Hesti menarik kedua tangan Tiana. “Gue juga enggak tahu harus bagaimana. Gue juga baru tahu kalau ternyata selama ini Pak Abyan sudah curiga sama tuh cowok gila.”

Daun pintu ruangan terbuka, Abyan masuk lantas duduk berseberangan dengan Tiana dan Hesti.

“Mbak Hesti, maaf apa bisa tinggalkan kami berdua?”

“Oh, iya, Pak. Saya permisi dulu.”

Abyan menunggu Hesti pergi lantas kembali menatap Tiana. “Saya sudah baca surat pernyataan yang kamu tulis. Bodoh ternyata.”

Tiana tidak berani menjawab, kepalanya tertunduk lesu, sesekali ia masih terisak dan menyeka air mata.

“Aku sudah kasih peringatan sama kamu, tapi kamu enggak mau dengar.”

“Aku … enggak tahu.”

“Kamu sangat suka sama Satrio? Kamu sangat cinta sama Satrio? Sampai-sampai kamu berikan uang dengan nominal besar pada lelaki yang belum dua bulan kamu kenal.”

Kepala Tiana terangkat. “Ya, aku memang bodoh, tolol, tapi apa salah kalau aku berusaha mencari jodoh? Aku ingin tahun ini bisa menikah!”

“Kenapa?”

Tiana menyeka kasar air matanya. “Enggak tahu!”

“Harus menikah? Tahun ini? Kamu sama saja dengan mama. Kenapa harus tahun ini?”

“Aku enggak pernah pacaran, aku takut seumur hidup aku enggak akan menikah, enggak bisa berinteraksi dengan lawan jenis.”

Abyan mencondongkan tubuhnya ke arah Tiana. “Lantas kamu bisa jadi wanita gampangan?”

Tiana bangkit, tetapi Abyan lebih cepat menahan lengan Tiana untuk tetap duduk. “Lepas! Kamu keterlaluan!”

“Kalau memang harus tahun ini, baik. Ayo kita menikah!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top