KM 25. Nasihat Moira

Penilaian Tiana terhadap Moira masih sama dengan pertama kali bertemu. Memesona. Meski Hesti menyebut Moira sebagai pembual yang pandai melakukan trik sulap, tetap saja Tiana menilai sosok Moira sebagai seseorang yang bisa membius orang lain lewat tatapan mata, terlebih Tiana merasa ucapan terakhir Moira memang akan menjadi kenyataan.

Tiana akan mencari Moira lagi, Tiana akan meminta pertolongan Moira.

“Apa kamu bisa melihat dia?” tanya Tiana menunjuk Chandra yang berdiri di belakang Tiana.

Moira melongok melalui bahu Tiana, tersenyum lantas melambaikan tangan pada Chandra. “Halo.”

Pupil Tiana melebar. “Kamu bisa melihat Chandra?” tanyanya tidak percaya.

Moira mengangguk. “Sepertinya kita butuh tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol dan Chandra, sebaiknya kamu enggak memaksa ikut bersama kami karena pemilik tali yang mengikat kamu akan meninggalkan tempat ini.”

Tiana menoleh, Chandra tampak tidak suka mendengar ucapan Moira. “Chandra.”

“Sebaiknya kamu mendengar nasihatku,” tambah Moira.

Sekilas Chandra menatap Tiana lantas perlahan menghilang seolah tertiup angin. Tiana tak percaya Chandra mau menuruti ucapan Moira. Mungkinkah Moira bisa membantunya?

“Ayo, kita cari tempat yang lebih nyaman.”

Tiana menurut. Mereka berjalan menuju eskalator yang akan membawa keduanya ke lantai tiga. Moira berjalan terlebih dahulu masuk ke salah satu restoran yang cukup sepi.

Setelah memesan minum dan camilan, Tiana membuka pembicaraan. “Kamu bisa mengusir Chandra?”

Moira menggeleng. “Dia enggak akan bisa jauh dari tali yang mengikatnya.”

“Tali?”

Moira mengacungkan jari telunjuknya. “Dikatkan di ujung telunjuk Chandra.”

Tiana mengerjap. “Maksudnya, Chandra enggak bisa pergi dari dunia ini karena Alita menahannya?”

Moira kembali menyesap minumannya. “Aku enggak bilang begitu.”

“Itu tandanya selama aku berada jauh dari Alita, aku juga bisa jauh dari Chandra?”

Moira menyandarkan punggungnya ke sofa. “Sederhananya seperti itu, tapi nyatanya enggak sesederhana itu. Ada hal yang harus kamu hadapi Tiana. Aku harap kali ini kamu mau menyimpan kartu namaku,” ujar Moira mengeluarkan selembar kartu lantas menggesernya ke arah Tiana.

“Itu tandanya Abyan enggak harus menikah dengan Alita, kan? Mungkin ucapan Tante Intan benar, Abyan masih menyukai aku.”

“Urusan jodoh memang bagai misteri, tetapi bukannya jodoh adalah takdir yang diusahakan?”

“Takdir yang diusahakan?” tanya Tiana menegaskan pertanyaan Moira.

Moira mengangguk. “Menurut kamu bagaimana?”

“Iya, sepertinya memang begitu.”

Moira terkekeh lantas mengaduk-aduk minumannya. “Sayang,  kamu enggak mau dengar saran saya tentang berhati-hati pada lelaki.”

***

Langit masih gelap ketika mereka bertiga tiba di panti. Matahari pagi masih malu-malu melebarkan sinarnya. Euis mendekap erat Intan lantas bergantian mendekap Abyan setelah Abyan menurunkan semua hadiah yang hari minggu lalu dibelinya bersama Alita dan sang ibu.

Alita masuk terlebih dahulu kemudian keluar sembari membawa selimut yang kemudian ia sampirkan ke bahu Intan.

“Terima kasih, Sayang.”

“Ayo, masuk,” ajak Euis menggandeng Intan masuk.

Abyan mengangguk lalu menenteng tas Intan. Sejenak ia menatap bangunan bercat hijau yang halamannya luas dengan banyak tanaman hias berderet rapi.

“Setelah kami pindah ke Bandung, bunda berjualan tanaman hias,” ucap Alita yang berdiri di sampingnya.

Abyan tersenyum. “Terima kasih kamu sudah mau mengizinkan aku dan mama untuk kembali bersilaturahmi dengan bunda.”

“Aku harap kamu mau menepati janji, membantuku mencari Chandra.”

Senyum Abyan hilang. Sejak Alita mau bicara dengannya di ruang unit gawat darurat, Alita meminta Abyan untuk memaksa Tiana mengatakan yang sejujurnya tentang keberadaan Chandra. Alita merasa Tiana tahu dimana keberadaan Chandra.

“Hari itu Chandra berjanji jemput aku di gerbang sekolah,” lanjut Alita.

“Sewaktu kalian pindah,  aku masih kelas satu SMA, kalian kelas tiga.”

Alita mengangguk. “Sebelum Chandra hilang, kami sempat bertengkar. Aku … menyesal.”

Bukannya tidak percaya akan ucapan Tiana, tetapi ucapan Alita sangat meyakinkan. Chandra masih hidup. Karenanya, Abyan harus menemui Euis.

Masuk ke ruang tamu, beberapa anak yang sudah terjaga berebut menyambut Abyan dan Alita. Sigap Alita membimbing mereka kembali ke kamar.

Abyan menoleh ke arah ibunya yang berbincang dengan Euis di kursi rotan. Abyan bergegas duduk di samping Euis. “Bun.”

Euis mengusap punggung Abyan. “Ganteng, sudah besar. Bunda sampai pangling lihat kamu.”

Abyan berusaha tersenyum lalu menoleh sebentar ke kamar. “Bunda, Abyan mau tanya soal Chandra.” Senyum Euis menghilang, begitupun dengan Intan yang cepat menepuk lutut Abyan. “Apa Chandra sudah meninggal? Apa sungguh Chandra sudah meninggal?” tanya Abyan tidak mau membuang waktu.

Euis menoleh ke dinding sebelah kiri. Di tengah dinding, dikelilingi pigura-pigura kecil, ada potret paling besar di sana. Senyum memperlihatkan deretan giginya yang putih dan senyum yang mampu melelehkan hati. Senyum yang dirindukan, senyum Chandra.

Pelan Euis mengangguk, air matanya telah menggantung di ujung pelupuk. “Iya.”

“Apa Alita tahu soal ini?”

Dari ekspresi Euis, tampak keengganan menjawab. Ia malah menunduk sembari meremat-remat ujung baju hangat yang dikenakan.

“Abyan. Enggak sopan. Jangan bahas hal ini lagi!”

“Tap—” 

Dering telepon memutus kalimat Abyan. Ia bangkit, dahinya mengerut dalam ketika membaca nama dari manajer personalia yang menghubunginya pagi-pagi buta.

“Halo.”

Raut wajah Abyan berubah serius sampai Intan ikut cemas lantas bertanya, “Ada apa?”

“Saya sedang cuti, sepertinya baru bisa sampai kantor sekitar jam sepuluh. Saya harap bisa jaga kondisi dulu, jangan sampai ada keributan. Baik, terima kasih, Pak.”

Intan bangkit, mendekati Abyan. “Ada apa?”

“Abyan harus kembali ke kantor."

"Loh, ada apa?"

"Urusan sangat penting, Ma."

"Abyan, tunggu. Jelaskan dulu sama Mama. Apa harus berangkat sekarang? Kita baru sampai, kamu pasti capek. Kita cari travel atau supir saja Abyan."

"Abyan enggak mau terlambat, Ma. Tiana dalam bahaya."

"Tiana? Ada apa Abyan?" tanya Intan semakin panik.

"Mama menginap dulu di sini, besok Abyan jemput.”

“Kabari Mama kalau kamu sudah sampai di kantor. Soal Tiana juga."

“Iya, Ma. Abyan pergi.”

***

Setiap bel lift berdenting dan pintu terbuka, Tiana cepat menoleh, berharap yang keluar dari sana adalah Abyan. Namun, harapannya tidak akan pernah jadi nyata. Hari ini Abyan cuti, pergi ke Bandung untuk melamar Alita.

Tiana bangkit, meraih tumpukan laporan lantas masuk ke ruangan kerja Abyan. Ia diam sejenak menikmati aroma parfum Abyan yang masih tertinggal di sekitar ruangan.

Ia menumpuk map bening di sebelah kanan lantas menatap beberapa potret Abyan, Intan dan seorang lelaki yang Tiana pikir adalah ayah Abyan berjejer di sebelah monitor. 

Tiba-tiba ada suara yang berbisik di sisi kiri Tiana.

Nanti kalau sudah menikah, pasti foto Alita ada di sana.

Tiana menoleh, tetapi tidak ada Chandra di sisi kiri, kanan atau di manapun.

“Alita juga sedang enggak di sini, pasti Chandra juga enggak ada.”

Baru saja Tiana hendak kembali, tetapi tiba-tiba pintu ruangan Abyan terbuka.

Abyan masuk dengan tergesa dan Tiana menyangka yang sedang ditatapnya hanya sebatas khayalan belaka.

“Ikut aku!”

Abyan menarik tangan Tiana, masuk ke dalam lift, lalu keluar di lantai tiga. Tiana mengerjapkan mata ketika mereka masuk ke departemen personalia.

“I-ini kamu?”

“Memangnya kamu pikir siapa?”

Tiana menarik tangannya, langkah mereka terhenti. “Bu-bukannya kamu ke Bandung, ke rumah Alita untuk melamar dia?”

“Melamar? Sok tahu kamu!”

“Loh, bukannya kemarin kalian berbelanja bersama? Itu belanja untuk keperluan lamaran, 'kan?”

“Kita bicarakan masalah itu lain waktu. Ada yang lebih penting.”

Tiana masih tidak mau tangannya kembali digenggam Abyan. “Jelaskan dulu!” tuntutnya.

“Ibu Satrio meninggal."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top