KM 24. Enggak Boleh!
Gue enggak suka sama Abyan!
Sejak kemarin kalimat itu terus Tiana ucapkan. Berulang-ulang, berulang-ulang, sampai rasanya walau tidak berkata apa-apa, Tiana bisa mendengar suaranya sendiri di telinga mengatakan, gue enggak suka sama Abyan.
“Mbak?” Tiana menoleh, seorang wanita muda sudah berdiri di sampingnya menyodorkan map bening pada Tiana. “Ini laporan untuk Pak Abyan, Mbak.”
Tiana meraih map, membuka lembar pertama, kedua kemudian kembali menatap wanita yang menyerahkan laporan tersebut. “Bukannya laporan ini seharusnya diserahkan Satrio?”
“Hari ini Satrio enggak masuk, Mbak. Tadi pagi dia izin di grup kantor, Mbak. Jadi, saya yang selesaikan laporannya.”
“Saya belum lihat grup, nanti laporannya saya kasih ke Pak Abyan.”
“Baik, terima kasih, Mbak.”
Tiana mengangguk kemudian meraih ponselnya. Wanita itu tidak keliru, Satrio memang memberi kabar tidak bisa masuk kerja karena ibunya sakit.
Cepat jemari Tiana bergerak mengirimkan pesan dan tak lama ia mendapatkan balasan dari Satrio.
Maaf Tiana, aku enggak kasih kabar langsung ke kamu. Kemarin malam ibuku collapse, sekarang sedang di rumah sakit.
Rumah sakit mana? Nanti pulang kerja aku mampir, balas Tiana.
Enggak perlu karena rencananya mau dipindah ke rumah sakit yang lebih besar, tapi aku juga enggak tahu bagaimana, soalnya jujur saja dananya belum ada.
Tiana diam sejenak lantas berbalik menoleh ke arah ruang kerja Abyan yang kosong karena Abyan sedang mengikuti rapat pagi. Tiana bisa saja mengirimkan semua uang yang disebut Satrio, tetapi rekening tabungannya dipegang sang ibu.
Nominal yang diperlukan Satrio sangat besar, ia juga tidak yakin ibunya mau mengizinkan Tiana memberikan uang itu pada orang yang baru dikenalnya.
Denting lift terdengar, pintu lift terbuka. Abyan keluar dari dalam lift, berjalan menghampiri Tiana lantas memberikan selembar kertas padanya.
“Hari senin saya enggak masuk. Kamu arsip dokumen cuti saya.”
Tiana menatap lembar dokumen kemudian meletakkan di meja. “Bapak mau ke mana?”
Mata Abyan mengerling, ia melesakan kedua tangannya ke saku celana. “Saya harus jawab kamu?”
Tiana menggigit bibirnya. Seharusnya ia tahu kalau tidak akan mendapatkan jawaban dari sang atasan durjana ini, tetapi Tiana harus tahu mengapa Abyan cuti.
Kenapa?
Karena ia sekretaris Abyan.
“Karena saya sekretaris Bapak! Jadi, saya harus tahu!”
“Siska enggak pernah tanya apa-apa kalau saya cuti.”
Tiana kembali memeras kepala. “Saya, saya, ‘kan orang baru. Jadi, kalau ada yang tanya—”
“Saya sudah dapat izin cuti dari atasan saya. Lalu masalahnya di mana?”
Abyan hendak pergi, tetapi Tiana menarik tangannya. “Kemarin kamu antar Alita pulang. Kenapa? Aku dan Alita satu tempat kos, tapi kemarin kenapa kamu bilang kamu enggak bisa antar aku?”
Abyan melepaskan tangan Tiana. “Bukan urusan kamu.” Tanpa sengaja Abyan melirik laporan yang berada di atas meja. Ia meraih dan membuka lembar demi lembar isinya. “Kadang saya bertanya terhadap diri saya sendiri. Untuk apa saya memperpanjang kontrak kerja dengan Satrio yang jelas-jelas enggak bisa membuat laporan sederhana tanpa ada kesalahan.”
Tiana kembali menarik lengan Abyan. “Laporan itu bukan dibuat Satrio. Jadi, kalau ada kesalahan, itu bukan kesalahan Satrio!” bela Tiana mati-matian.
Abyan diam sejenak lantas menepuk puncak kepala Tiana dengan map laporan yang dipegangnya. “Saya bicara seperti itu karena saya tahu laporan ini bukan disusun Satrio, kalau dia yang mengerjakan, saya sudah lempar lagi ke atas meja kerjanya.”
Tiana hendak menyembur Abyan dengan berbagai kalimat protes, tetapi Abyan terlebih dahulu pergi ke dalam ruangannya. Tiana menghentak kaki lalu duduk di kursi.
Belum pernah Tiana berpikir sekeras ini. Siska mengatakan jadwal pekerjaan selama tiga bulan ke depan lumayan padat. Karenanya, Siska berkali-kali berpesan pada Tiana untuk tidak sungkan menghubunginya kalau-kalau ada yang mau ditanyakan. Jadi, pasti urusan Abyan sangat penting hingga si maniak kerja itu mengambil cuti.
Kedua alis Tiana terangkat. Cepat ia meraih ponsel di meja lantas menghubungi satu nama yang pastinya akan bicara tanpa ia harus memberikan umpan.
“Tiana, sayang,” sahut Intan di ujung sambungan.
Tiana tidak bisa menyembunyikan kegembiraan. Merasa misinya akan berhasil. “Tante, Tante lagi sibuk?”
“Enggak. Kamu itu panjang umur, Tante ada di bawah loh. Tante mau antar makanan untuk kamu, Abyan dan Alita.”
Senyum Tiana sirna, kegetiran memeluknya. “Alita? Tante buatkan bekal untuk Alita?” tanyanya merasa terkhianati.
“Iya, Abyan bilang kalau Tante enggak buat bekal untuk Alita, Abyan mau bilang ke sekuriti untuk larang Tante masuk kantor. Memang kejam sekali anak itu.”
“Ke-kenapa?”
“Sepertinya Abyan mulai serius dengan Alita. Bahkan sabtu besok kami mau ke Bandung, ke rumah ibu sambung Alita.” Ada bola yang menyekat kerongkongan Tiana. “Tiana, rasanya Tante harus mulai mendekati Alita. Kalau niat Abyan serius, Tante enggak mau menantu Tante salah paham karena berusaha menjodohkan Abyan dengan wanita lain.”
Ponsel Tiana terlepas dari genggaman. Gemetaran tangannya meraba dada. Sekarang, Intan pun mau menerima Alita.
***
Baru kali ini Tiana tidak bersemangat menjalani hari libur di ujung minggu. Ia menatap ponsel, berharap Abyan tiba-tiba menelpon dan memintanya untuk ikut lembur menemaninya di kantor.
Tiana melepaskan ponsel, menarik bantal dari belakang punggung agar bisa nyaman merebahkan diri. Matanya mengerjap beberapa kali. Plafon putih kamar kos terasa sangat suram.
Sekarang, ia harus apa?
Ponsel Tiana berdering, ia menoleh. Nama Hesti terpampang di layar. Tiana duduk lantas menggeser lambang telepon di layar.
“Halo.”
“Tebak siapa yang gue lihat di mal?”
Tiana harus menjauhkan ponsel ketika suara Hesti menyemburnya. “Siapa?”
“Gue mau nonton sama bebep, tapi tebak siapa yang gue lihat?”
“Ih, budek! Gue sudah tanya, ‘kan, siapa?”
“Mbak Alita sama Pak Abyan! Kayaknya berita itu benar! Mereka lagi dating! Gue juga enggak mungkin salah lihat! Nanti gue kirim foto mereka, ya?”
Darah Tiana berdesir lebih cepat. Ia tidak sanggup berkata apa-apa sampai panggilan terputus. Suara notifikasi kembali terdengar. Sial tangan Tiana bergerak sendiri mengunduh gambar yang dikirim Hesti.
Senyuman Abyan di gambar itu nyata. Tatapan Abyan di gambar itu asli.
Tiana bangkit, menyambar tasnya lantas berlari keluar kamar.
***
Hanya memastikan, bukan cemburu, enggak suka sama Abyan.
Hanya memastikan, bukan cemburu, enggak suka sama Abyan.
Hanya memastikan, bukan cemburu, enggak suka sama Abyan.
Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan bibir Tiana bergerak menggumamkan kalimat-kalimat itu dan sesaat setelah tiba di sana, Tiana segera berlari mencari keberadaan Abyan seperti orang gila.
Di lantai satu tidak ada, Tiana bergerak naik menuju lantai dua. Namun, ketika ia menoleh ke arah eskalator yang bergerak menuju lantai satu, tubuhnya tiba-tiba membeku.
Tawa Intan yang selama ini ia pikir hanya diberikan untuknya, rangkulan Intan yang penuh kasih sayang, Intan berikan pada Alita dan Abyan yang berdiri di belakang mereka tampak menenteng tas belanjaan.
Tiba di ujung eskalator, kepala Tiana memintanya untuk kembali turun, tetapi ia hanya diam menatap keceriaan Abyan, Intan yang melibatkan Alita, bukan dirinya.
“Aku akan memberi kelonggaran. Kesepakatan kamu menjadi teman Alita, aku akan menghapusnya. Kamu benar, yang terpenting adalah Abyan menikahi Alita.”
Tiana menoleh, senyum Chandra menyambutnya. “Chandra.”
“Aku enggak akan mengganggu kamu lagi. Kamu senang, ‘kan?”
Ya, seharusnya begitu.
Rencananya memang begitu, Abyan memang harus menikahi Alita agar Tiana terbebas dari Chandra. Lagi pula, bukankah ia juga sudah semakin dekat dengan Satrio?
Setelah semua kesulitan, bukankah seharusnya Tiana berbahagia?
Tiana meraba pipi lantas menatap tangannya yang basah. Tiana sadar. Ia tidak bahagia, ia tidak senang. Ia tidak mau Abyan menikahi Alita.
“Mereka enggak boleh bersama.”
Air wajah Chandra berubah. “Apa?”
Tiana menyeka air mata. “Iya, gue enggak peduli kalau harus selamanya terjebak sama lo, tapi Abyan enggak boleh menikahi Alita!”
Chandra hendak merangkul Tiana, tetapi seseorang menarik tubuh Tiana hingga Tiana hampir terjerembab. Tiana limbung, lantas berbalik menatap wajah yang langsung ia kenali.
“Halo, takdir mempertemukan kita di waktu yang sangat tepat.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top