KM 23. Termakan Perasaan
“Kamu enggak bermaksud meminjamkan uang itu sama Satrio, 'kan?”
Nyaris saja ponsel Tiana terjatuh dari genggamannya. Ia mendongak dan senyum menyebalkan Chandra yang sudah cukup lama tidak dilihatnya muncul kembali. Tiana membalik ponselnya.
“Kenapa memangnya? Jangan ikut campur!”
Chandra melipat tangan. “Kalau nanti kamu kena sial, jangan salahkan aku dan bilang aku enggak memperingatkan kamu.”
“Tumben lo ke sini,” kata Tiana coba mengalihkan topik pembicaraan.
Senyum Chandra semakin melebar. “Abyan mau antar Alita pulang ke kosan. Sepertinya usahamu akan berhasil.”
Deg.
Apa pun itu, Tiana merasa dadanya terhunus tombak, tertembak peluru, atau apalah itu istilahnya yang membuatnya bahkan sulit bernapas. Tiana hanya mampu diam mendengarkan ocehan gembira Chandra dan lama kelamaan suara Chandra terdengar samar kemudian menghilang.
Bibir Chandra hanya bergerak-gerak tanpa ada suara yang keluar. Tiana coba mengerjapkan mata, kondisinya tetap sama. Rasa sesak itu malah naik ke ujung kerongkongan, membuat matanya terasa panas.
“Tiana? Tiana!”
Kursi kerjanya berputar. Kali ini tiba-tiba matanya menatap Abyan. Tiana bangkit hingga Abyan mundur selangkah.
“I-iya, Pak.”
“Pertemuan malam nanti dengan Bapak Wicak diundur. Kamu bisa pulang sekarang. Saya juga mau pulang.”
Jas yang tadi pagi dikenakan Abyan sudah disampirkan di lengannya, dasinya pun sudah tidak dikenakan, satu kancing kemeja yang paling atas juga sudah dibuka.
Ya, Abyan bersiap pulang.
Tidak mendapat jawaban dari Tiana, Abyan melangkah pergi menuju lift. Awalnya Tiana hanya mengamati langkah Abyan dan tepat ketika pintu lift terbuka, Tiana berteriak, “Ian!”
Abyan urung masuk. Ia membiarkan beberapa staf melewatinya lantas berbalik menatap Tiana. “Apa kamu enggak bisa panggil saya dengan sebutan selain itu di kantor?”
Tiana menggeleng, ia menarik kedua tangannya ke dada, berharap debaran di dalam sana bisa tidak terlalu menggila. “Kamu mau pulang? Kita … searah. Aku bisa ikut kamu?”
Abyan cepat menggeleng. “Enggak bisa.”
Entah apa yang mendorong Tiana untuk berlari mendekati Abyan. “Kenapa memangnya?”
Tatapan Abyan menukik tajam menusuk mata Tiana. “Apa urusannya sama kamu? Kenapa saya harus jawab pertanyaan kamu?”
Tiana mengerjapkan mata lalu tertawa walau ia sadar tidak ada yang perlu ditertawakan. “Aku, aku sekertaris kamu. Sudah sewajarnya kalau aku tahu ke mana saja atasan aku pergi.”
Satu alis Abyan naik. “Sejak kapan kamu peduli tentang pekerjaan kamu?”
Kali ini Tiana balas menatap tajam Abyan, bahkan ia berkacak pinggang. “Aku masih menjadi karyawan perusahaan ini. Kamu sendiri yang bilang kamu atasan aku dan aku bawahan kamu,” balasnya tidak mau kalah.
Abyan mengangkat pergelangan tangan, layar jam tangannya di arahkan pada Tiana. “Sudah lewat dari jam lima dan saya tadi bilang kamu boleh pulang, kamu enggak lembur. Jadi, sekarang kamu dan saya sudah bukan atasan dan bawahan. Sekarang saya permisi karena ketimbang meladeni kamu, saya ada urusan yang lebih penting.”
Lift kembali berdenting, pintunya terbuka lebar, Abyan masuk dan perlahan pintunya menutup kembali. Tiana masih diam dalam posisi yang sama. Ia menggigit kencang bibir sedangkan dadanya tampak naik turun.
“Hoi, bengong.”
Punggungnya menegak, bulu kuduknya kembali berdiri. Tiana menoleh dan senyuman Chandra menyambutnya.
“Apa?” sentak Tiana membuat orang-orang yang berdiri di sekitar lift memandangi Tiana.
“Kamu kenapa marah?”
Tiana memijak lantai keras-keras lantas kembali ke meja kerjanya. Ia membereskan lembaran berkas di atas meja, memasukkan charger berikut ponsel ke tas lalu berjalan cepat ke dekat lift.
Ngeselin!, batin Tiana.
“Tiana, berarti sepertinya Abyan enggak mengantar Alita saja, ya? Sepertinya mereka mau mampir,” ujar Chandra yang sudah ada di sampingnya lagi.
“Gue enggak tahu dan gue enggak peduli!”
“Sepertinya satu tugas kamu akan selesai. Akhirnya Abyan mau mengingat masa lalu kami.”
Tiana batal menekan tombol lift. “Masa lalu kalian? Memangnya ada apa dengan masa lalu kalian?”
Chandra malah terkekeh dan Tiana ingin menonjok wajah itu. “Rahasia. Pokoknya satu-satunya lelaki ideal untuk Alita adalah Abyan. Dari awalan nama mereka saja sudah berjodoh, sama-sama a.”
“Bodo amat!”
***
Tiba di kamar kos, Tiana membanting tasnya ke kasur lantas mengipasi wajahnya dengan tangan. Bolak-balik ia berjalan di depan kasur sambil sesekali mengintip ke arah kamar Alita yang lampu kamarnya masih padam.
“Tarik napas Tiana, tenang.” Tiana diam sejenak. “ngawur itu demit gila! Memangnya kalau awalan nama enggak sama, berarti bukan jodoh? Semisal huruf t dengan a? Kenapa memangnya?” Tiana mengacak-acak rambutnya sendiri. “Gue kenapa, sih? Bukannya ini bagus? Bukannya memang rencananya begini?”
Tiana duduk di tepian ranjang. Teringat kembali kalimat terakhir dari Abyan.
Saya ada urusan yang lebih penting.
“Cih! Jadi, Alita lebih penting?” Tiana menghempaskan tubuhnya lantas menendang-nendang udara. “Ngeselin! Dasar Ian babon! Kenapa, sih, enggak terus babon aja! Gendut! Jelek! Ngeselin!”
Hesti tiba-tiba membuka pintu, ia urung memuntahkan apa yang ada di kepalanya karena melihat kedua kaki Tiana terangkat. “Lo … lagi ngapain?”
“Ah, itu, ini … olahraga, pegal, iya, olahraga,” kekeh Tiana menggerakkan kaki di udara seolah sedang menggowes sepeda.
Hesti masuk, menutup pintu, lalu menarik kaki Tiana. “Duduk, buruan, gue ada kabar gembira.”
Sesuai permintaan Hesti, Tiana menurut duduk. “Apa?”
“Gila, akhirnya setelah sekian lama, lo enggak jadi top nomor satu bahan gosip di kantor.”
“Apa?”
“Pak Abyan pacaran sama Mbak Alita!”
Suara petir yang hanya ada di kepala Tiana menggelegar dahsyat. Gaya gravitasi di sekeliling Tiana menghilang. Alas empuk tempat berpijak tubuhnya lenyap. Tiana merasakan dirinya ditarik paksa jatuh ke dalam lubang gelap tak berdasar.
Pacaran? batin Tiana.
Apa pun gosip yang dibawa Hesti jarang sekali meleset, berarti apa yang didengar Tiana hampir seribu persen akurat. Terlebih bukannya Intan juga mengatakan kalau Abyan memasukkan Alita ke dalam daftar calon istri? Mengapa cepat? Ya karena Intan memaksa Abyan untuk menikah di tahun ini.
“Tiana! Tiana!” panggil Hesti menepuk-nepuk pipi Tiana hingga akhirnya Tiana berkedip dan kesadarannya kembali. “Kenapa? Lo kaget, ya? Saking senangnya, lo enggak bisa ngomong apa-apa, ya? Tadi, Mbak Alita masuk ke dalam mobil Pak Abyan. Mereka pulang bareng! Jarang banget gue lihat Pak Abyan senyum-senyum kaya begitu dan lo tahu, kata atasan gue, Pak Abyan tanya ke dia apa suami istri boleh satu kantor? Oh, my, my, akhirnya lo bisa lepas juga dari Chandra! Hebat! Walau lo enggak bisa cari jodoh buat diri sendiri, tapi jago cari jodoh buat orang lain!”
Satu tepukan keras mendarat di paha Hesti, Tiana refleks bangkit, berjalan menuju jendela, menyingkap sedikit gorden. Lampu kamar Alita masih padam.
“Berarti belum pulang.” Tiana berbalik menatap Hesti yang sibuk mengusap-usap pahanya. “Lo tahu mereka kemana?”
Hesti menggeleng. “Dua orang dewasa, matang, dimabuk cinta, enggak mungkin dong kalau cuma nonton bioskop doang. Di sekitar sini banyak hotel, loh,” kekeh Hesti yang kemudian dapat lemparan bantal alas duduk dari Tiana.
Tiana menggigit bibir, kedua tangannya dilipat ke dada, matanya terpejam coba berpikir jernih, tetapi yang ada di dalam kepalanya adalah bayangan senyum Abyan dan Alita.
“Enggak bisa!” Tiana meraih tas lalu keluar dari kamar.
Langkahnya terhenti karena dari jauh melihat mobil Abyan mendekat. Cepat Tiana bersembunyi di balik pagar. Berjongkok, merapatkan lutut persis seperti anak ayam diterpa hujan.
Deru mobil Abyan terdengar semakin dekat, kemudian menghilang dan terdengar pintu terbuka. Tiana menekan dadanya, berharap jantungnya mau berdetak stabil.
“Terima kasih sudah mau mengantar dan terima kasih peralatan lukisnya. Aku pikir kamu sudah lupa kalau aku suka melukis.”
“Aku baru tahu kalau Alita bisa bicara selancar dan sebanyak itu,” cicit Tiana menempelkan telinganya di sela pagar.
“Enggak. Aku masih ingat. Bahkan mamaku masih menyimpan lukisan kamu.”
“Salam untuk mama Intan.”
Tiana meremas tangannya sendiri. “Mama? Bisa-bisanya dia panggil tante Intan dengan sebutan itu,” gumam Tiana.
“Iya, tolong sampaikan ke Bunda Euis, minggu depan kami akan datang ke Bandung, tapi kalau ternyata minggu ini kami bisa pergi, itu lebih baik. Niat baik harus disegerakan.”
Jantung Tiana melengos jatuh.
“Niat baik harus disegerakan? Maksudnya bagaimana?” gerutu Tiana menggigiti kuku jempolnya sendiri.
“Kalau begitu, aku masuk.”
“Gawat,” cicit Tiana berlari masuk ke dalam rumah kos.
Tiana menutup pintu, sedikit ia menyingkap gorden, Alita tampak membuka pintu dan tak lama lampu kamarnya terang benderang.
“Lo kenapa, sih?”
Tiana berbalik. “Hesti? Lo masih di kamar gue?”
“Gue mencium bau-bau mencurigakan. Lo kenapa?”
Tiana tersenyum, menyampirkan anak rambut lalu mendekati Hesti. “Enggak ada apa-apa.”
“Lo kaya enggak senang usaha kita jodohin Pak Abyan sama Mbak Alita berhasil. Hati-hati, kena karma. Jangan-jangan lo suka sama Pak Abyan, ya?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top