KM 20. Jangan Salah Jatuh Cinta
Tiana tidak akan bisa melupakan Alita yang tergeletak dengan mulut berbuih. Tiana tidak akan bisa melupakan umpatan Abyan pada pengemudi lain yang menghalangi laju mobilnya selama perjalanan menuju rumah sakit dan Tiana tidak akan bisa melupakan ucapan dokter yang mengatakan terlambat sedikit saja maka nyawa Alita tidak akan terselamatkan.
Kenapa bisa jadi begini, batin Tiana mengusap wajahnya.
Suara tangis Chandra menggema di dalam kepala Tiana. Amis bau darah mengisi rongga hidungnya. Tiana berpindah duduk ke bangku seberang, tetapi saat ia duduk, Chandra sudah ada di sampingnya lagi.
“Jangan menghindari aku.”
“Kenapa lo enggak diam saja di ruang ICU sana. Temani Alita,” ucap Tiana yang akhirnya bersuara.
Chandra menggeleng. “Aku enggak bisa.”
“Chandra, gue ingin bantu lo, tapi enggak begitu. Lo juga harus bisa menahan diri. Jadi, kalian itu sepasang kekasih?”
Chandra menggeleng lantas mengusap air matanya. “Bukan.”
“Lalu apa? Jujur, rasanya gue juga ingin mati. Gue dicap sebagai penyuka sesama jenis, Alita juga pasti digosipkan hal yang sama. Lo tahu sendiri kalau Alita bukan tipe yang bisa bicara sama orang lain, dia pasti pendam semuanya sendirian dan lo malah seperti itu.”
“Aku tahu. Ya, Alita memang enggak bisa bicara sama sembarang orang. Aku ingin kamu jadi temannya, aku ingin Alita bisa bicara tentang apa yang dia rasakan. Aku ingin Alita menganggap kamu sebagai teman.”
“Ya gue juga sedang usaha Chandra. Sabar.”
Chandra mengangkat kedua tangannya yang gemetar. “Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menyentuhnya lagi.”
Amarah dalam dada Tiana perlahan padam oleh air mata Chandra. “Gue mau keluar dari kantor.” Chandra menoleh, “gue akan usahakan Pak Abyan dan Alita berpacaran ketika gue keluar dari kantor. Gue janji. Walau gue enggak jadi teman Alita, Pak Abyan bisa jadi teman seumur hidupnya Alita. Mama Pak Abyan orang yang menyenangkan, Alita enggak akan pernah kesepian dan kesulitan lagi,” lanjut Tiana.
Perlahan seiring senyum terukir di wajah Chandra, darah serta luka-luka yang membasahi kepala Chanda menghilang sempurna.
“Kamu janji?”
Tiana mantap mengangguk. “Iya, asalkan lo juga janji bisa menahan diri.”
“Iya.”
“Tiana!” Sigap Tiana menoleh, Hesti tampak berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tiana. “Maaf, gue lama, tapi gue sudah berusaha untuk secepat mungkin sampai ke rumah sakit.”
Tiana menarik tangan Hesti untuk duduk di sebelahnya. “Yakin enggak ada yang tahu soal Alita?”
Hesti masih coba mengatur napas. “Iya, gue izin pulang ke atasan bilang ada urusan keluarga.”
“Semua bisa semakin heboh kalau tahu kondisi Alita seperti ini.”
Hesti mengeluarkan ponselnya. “Gue sudah menghubungi kontak darurat Mbak Alita dari data karyawan, tapi sepertinya baru bisa datang besok.”
“Kalau begitu biar malam ini, gue yang jaga Alita.”
“Enggak perlu.”
Hesti dan Tiana kompak menoleh. Entah sejak kapan Abyan sudah berdiri menyandar di pilar rumah sakit yang berada di ujung deretan bangku dekat lorong menuju unit gawat darurat.
Tiana bangkit dari bangku besi rumah sakit dan berjalan menghampiri Abyan. Cemas menyergap Tiana, kepalanya mulai bertanya, sejak kapan Abyan berdiri di situ? Apa Abyan mendengar percakapannya dengan Chandra? Apa Abyan tahu Tiana sedang berusaha menjodohkannya dengan Alita?
“Kenapa kamu liatin saya sampai kaya begitu?” sembur Abyan.
Tiana mengerjapkan mata lantas menggeleng. “Enggak kenapa-kenapa.”
“Kamu bisa pulang sekarang. Biar saya yang temani Ibu Alita sampai keluarganya datang.” Pandangan Abyan beralih ke Hesti. “kita tidak mungkin menyembunyikan masalah ini dari kantor. Ibu Alita masih dalam tahap observasi rumah sakit. Tentu personalia juga butuh surat keterangan sakit dari rumah sakit dan enggak mungkin rumah sakit menyembunyikan diagnosa Ibu Alita.”
Hesti terdiam sesaat. “Iya, Bapak benar.”
“Saya akan bantu hubungi manajer kamu dan manajer Ibu Alita. Saya harap mereka mau bantu untuk menutup masalah ini agar tidak terdengar orang selain kita.”
“Iya, Pak. Ya, ampun, untung ada Bapak Abyan,” ucap Hesti sembari mengelus dada.
Tiana setuju akan ucapan Hesti, ia kembali menatap Abyan. “Pak, saya saja yang menemani Alita.”
Abyan menarik diri dari dinding pilar lantas duduk di bangku. “Enggak perlu.”
Tiana masih belum menyerah, ia ikut duduk di samping Abyan. “Ini semua salah saya. Jadi, saya yang harus menemani Alita, Pak.”
“Kalau Alita enggak mau bagaimana? Bagus, kamu sendiri tahu ini semua salah kamu.” Tiana mendesah kesal lantas menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku besi rumah sakit yang dingin. Melihat ekspresi Tiana, Abyan kembali melanjutkan kalimatnya. “Kenapa? Kamu marah? Enggak terima saya bicara seperti itu? Memang kenyataannya seperti itu, 'kan.”
“Iya,” timpal Tiana singkat.
Ujung bibir Hesti naik. Dilihat dari tempatnya berdiri, Abyan dan Tiana persis seperti sepasang kekasih yang sedang saling merajuk. Baru kali ini juga Hesti melihat Tiana begitu bebas berekspresi di depan lawan jenisnya.
“Kalian berdua sudah makan?” tanya Hesti yang kemudian mendapat jawaban gelengan kepala dari Tiana dan anggukan kepala dari Abyan. Hesti tertawa pelan. “Sepertinya Tiana memang butuh makan dan Pak Abyan butuh kopi. Kalian tunggu di sini, saya ke kantin dulu.”
“Hes, Ian belum makan, lo beli sesuatu juga buat dia, ya?” Panggilan tidak sopan Tiana pada Abyan membuat mata Hesti mengerling padanya. “Kenapa? Kita enggak lagi di kantor, 'kan? Memang si Ian ini belum makan. Kalau perlu gue aduin sama Tante Intan, biar kena omel sekalian!” gerutu Tiana tidak peduli akan ekspresi Abyan.
“Oke, kalau begitu gue beli dulu, kalian kalau mau berantem lagi, tunggu gue pergi, ya? Bye.”
“Enggak sopan sekali kamu sama saya. Saya itu atasan kamu,” ucap Abyan tepat ketika Hesti benar-benar menghilang di ujung lorong rumah sakit.
“Bodo amat, toh kamu sendiri tahu kalau aku mau resign dan kamu setuju. Kamu juga enggak bisa usir aku sekarang karena enggak mau bikin Mbak Ika kepikiran, 'kan?”
“Memangnya kamu sudah dapat pekerjaan baru?”
“Belum. Lebih bagus kalau aku enggak perlu kerja. Aku jadi ibu rumah tangga saja. Sekalian saja aku minta Satrio menikahi aku.”
“Memangnya kalian sudah resmi berpacaran?”
“Loh, kenapa memangnya?”
“Dia bukan orang baik.”
Tiana tertawa pelan lantas mencondongkan wajahnya ke arah wajah Abyan. “Terus siapa lelaki yang menurut kamu baik untuk aku? Kamu?”
Ujung telunjuk Abyan mendorong dahi Tiana. “Siapa yang minta aku untuk sekali lagi suka sama kamu? Sekarang kamu suka sama aku, 'kan?”
Tiana menarik ujung telunjuk Abyan dari dahinya lantas kembali mencodongkan wajah ke arah Abyan. “Jangan terlalu percaya diri. Maksudnya kemarin aku bicara seperti itu, supaya aku bisa menolak kamu sekali lagi, tapi memakai kalimat yang lebih baik.”
Abyan menajamkan pandangannya, ia ikut mencondongkan wajah ke arah Tiana. Tiana hendak menjauh, tetapi tangan Abyan sigap menahan kepala Tiana untuk tetap diam.
Jantung Tiana bergemuruh. Matanya tertancap pada mata Abyan. Ada rasa aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya mengisi dada Tiana. Wajahnya pun mulai menghangat.
“Sekarang siapa yang wajahnya sudah merah? Kamu atau saya?” tanya Abyan yang kemudian melepaskan kepala Tiana lantas berdiri pergi meninggalkan Tiana.
Tiana menarik embuskan napas kemudian mengipasi wajah dengan tangannya. “Wah, dia sudah gila!”
“Jangan jatuh cinta sama Abyan!” Tiana menoleh cepat. Chandra tampak tidak suka akan ekspresi Tiana. “Jangan jatuh cinta sama Abyan!” ulang Chandra.
Tiana menunjuk dirinya sendiri. “Gue?”
Chandra mengangguk. “Iya!”
“Gue? Maksudnya gue suka sama itu si cowok freak? Gue?”
“Iya!”
Tiana tertawa, bangkit dari kursi, mengipasi wajahnya lantas berjalan menjauhi Chandra. Gemuruh dalam dadanya semakin menjadi, perutnya mendadak mulas.
“Gila. Gue? Jatuh cinta sama Abyan? Memangnya enggak tahu, ya kalau gue ini lagi pendekatan sama Satrio? Gue? Sama Abyan? Gila kali!”
Dalam sekejap Tiana menghentikan langkahnya ketika melihat Abyan tampak sedang menelepon seseorang. Mata Tiana bergerak mengamati Abyan dari ujung kepala hingga kaki. Jantungnya kembali berdebar lebih cepat ketika Abyan tersenyum lantas menyugar rambutnya.
Entah apa yang menggerakkan kaki Tiana hingga ia berani mengikis jarak antara dirinya dan Abyan. Tangannya terjulur ingin menyentuh punggung Abyan.
“Mama masih ingat Alita?” Langkah Tiana terhenti, ia menarik kembali tangannya ke dada. “Ma, Mama ingin tahun ini Abyan menikah? Menurut Mama, Alita bagaimana?”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top