KM 19. Tolong!
“Saya sudah bicara dengan Alita. Dia hanya meminta untuk sementara waktu kamu enggak masuk ke ruangan finance.”
Tiana masih tertunduk lesu sembari sesekali terisak. “Maaf sudah merepotkan.”
Abyan tidak menanggapi, ia masih sibuk menatap pohon jambu dari balik jendela mobil. Ada beberapa hal yang tidak bisa ia mengerti. Tatapan mata Tiana yang dilihatnya di kantin berbeda dengan yang baru saja ditatapnya, seolah-olah memang dua orang yang berbeda.
Kalau diingat, ini kali kedua Abyan merasakan hal serupa. Abyan melirik Tiana lantas kembali memejamkan mata. Entah apa yang ada di benaknya hingga ia nekat mendatangi rumah kos Tiana hanya untuk mengatakan bahwa Alita tidak menuntut hukuman berat untuk Tiana.
“Kalau saja, Alita adalah lelaki ….”
Abyan menoleh, dahinya mengerut, tetapi Tiana tidak kunjung melanjutkan kalimatnya. Hanya isak tangis yang kemudian memenuhi isi mobil Abyan.
“Kamu takut digosipkan sebagai penyuka sesama jenis?” tanya Abyan.
Tiana mengangkat pandangan, meremas lengan Abyan lantas mengangguk berkali-kali. “Aku lagi pendekatan sama Satrio,” raungnya disambut derai air mata.
Abyan melepaskan tangan Tiana. “Apa peduli saya soal itu?”
Sejenak tangis Tiana terhenti, matanya menatap Abyan beberapa detik dan ia tersadar kalau yang ada di hadapannya adalah orang yang juga membencinya.
Bibir Tiana gemetar, tangisnya meledak lebih kencang dari sebelumnya. Abyan panik, ia menoleh ke kiri-kanan karena takut suara tangis Tiana terdengar keluar dan yang terburuk ia akan menjadi korban keadaan.
“Jangan menangis! Percuma, tangisan kamu enggak akan mengubah keadaan!”
Tangis Tiana hilang dalam beberapa detik, tetapi kembali tumpah karena sadar ucapan Abyan benar. Apapun yang akan coba ia jelaskan, tidak akan ada yang percaya. Jadi, tangisnya percuma saja.
Abyan meremas kedua lengan Tiana. Menatapnya tajam hingga tangis Tiana menghilang. “Dengar, apa pentingnya Satrio untuk kamu sampai-sampai penilaian buruk dia menjadi yang paling kamu takutkan?”
Tiana coba melepaskan tangan Abyan, tetapi semakin ia coba lakukan, semakin kencang Abyan meremas lengan Tiana. “Kenapa memangnya?”
“Kamu suka sama dia?”
Kedua alis Tiana naik. “Kenapa memangnya?”
“Apa kamu enggak bisa cari lelaki selain dia?”
Tiana menggigit kencang bibirnya. “Iya! Memang! Aku enggak bisa! Memangnya apa peduli kamu?”
Melihat amarah yang nyata dari kilat mata Tiana, Abyan melepaskan lengan Tiana. “Ya, aku enggak peduli.”
Tiana diam, ia tersadar kalau baru kali ini ia melihat wajah Abyan sedekat ini. Tangannya bergerak mengusap pipi Abyan. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, ia ingin menolak Abyan dengan kata-kata yang lebih halus.
Mungkin yang terjadi padanya, alasan ia tidak juga menemui jodoh adalah karma dari rasa sakit hati Abyan. Andai saja, Abyan bisa mengatakan kalau Abyan sangat menyukainya, Tiana akan coba lebih lembut lagi atau malah menerimanya.
Air mata yang tadi sempat berhenti mengalir akhirnya jatuh lagi. “Ian, apa bisa sekali lagi kamu bilang suka sama aku? Apa bisa?”
Abyan melepaskan tangan Tiana dari pipinya. “Apa sekarang aku bisa pulang? Apa kamu bisa keluar dari mobilku?”
Tiana menyusut air mata dengan punggung tangan lalu keluar dari mobil dan berlari masuk ke kamar kos.
***
Karena keanehannya Tiana memang sudah terbiasa menjadi bahan gosip di kantor, tetapi kejadian beberapa hari lalu tentu tidak bisa dilupakan dalam waktu dekat. Setiap tatapan ingin tahu seakan menghunjam Tiana, beruntung jadwal kerjanya bersama Abyan hampir selalu di luar kantor.
Tiana mendongak ketika dinding kubikelnya diketuk. Senyum yang menyambut matanya membuat Tiana ikut tersenyum.
“Hai,” sapa Satrio.
Tiana tidak tahu harus membalas atau melarikan diri, ia diam sampai tangan Satrio dilambaikan tepat di depan wajahnya. “Hai,” balas Tiana kikuk.
“Kamu enggak kenapa-kenapa?”
Ingin rasanya Tiana menangis. Dari semua kegilaan ini, hanya Satrio satu-satunya yang bertanya, keadaannya. Hanya Satrio.
Tiana menggeleng. “Aku enggak kenapa-kenapa.”
“Maaf, ya, aku tahu kamu kirim pesan buat aku,” Satrio membalik ponsel. Layar ponselnya tampak semakin parah dari sebelumnya. “Aku enggak bisa balas, maaf ya. Dari kemarin kamu juga selalu keluar kantor. Jadi, kita belum bisa bicara.”
Tiana coba tersenyum. Ya, Tiana memang mengirimkan beberapa pesan pada Satrio, tetapi karena tidak pernah mendapat balasan, Tiana pikir Satrio sudah tidak mau mengenalnya lagi.
“Maaf Satrio, aku lupa kalau ponsel kamu rusak.”
Satrio menggaruk belakang kepalanya. “Iya, enggak kenapa-kenapa. Maaf, ya, karena aku belum bisa beli ponsel baru, kita jadi enggak bisa ngobrol. Aku sudah dengar masalah kemarin di kantin.”
Tiana tertunduk lesu. “Aku enggak bisa jelaskan.”
“Enggak apa-apa, kamu bisa cerita di saat kamu sudah bisa cerita. Aku akan menunggu dan kamu enggak perlu khawatir. Kejadian kemarin enggak mengubah apa-apa.”
Kepala Tiana mendongak. Tiana bisa bersumpah kalau kalimat yang diucapkan Satrio berhasil mencabut semua keresahan dalam hatinya.
“Sungguh?”
Satrio tersenyum lantas mengangguk. “Iya. Aku titip laporan untuk Pak Abyan, ya? Nanti kita bicara lagi.”
Senyum Tiana semakin melebar, ia bangkit meraih dokumen yang ditinggalkan Satrio. “Aku kasih ke Pak Abyan sekarang.”
Tanpa mendengar jawaban Satrio, Tiana bergegas masuk ke ruangan Abyan dan senyumnya hilang kala melihat wajah masam Abyan.
“Sudah bisa senyum lagi kamu?” sindir Abyan.
“Saya … ini laporan dari Satrio, Pak.”
Abyan meraih map, membukanya lantas melemparkannya kembali ke meja. “Katakan pada Satrio untuk ulang semuanya. Kalau buat laporan seperti ini saja enggak becus, minta dia tinggalkan kartu karyawan dalam amplop berisi surat pengunduran diri.”
Tiana meraih map. “Bapak belum lihat semuanya!” bela Tiana.
Dahi Abyan mengerut dalam. “Untuk apa? Hanya buang-buang waktu saja.”
“Pak, kalau Bapak enggak suka sama saya, tolong jangan persulit orang dekat sama saya, Pak.”
“Apa saya pernah mempersulit kamu?”
Sering, batin Tiana.
“Saya marah karena memang kamu melakukan kesalahan dalam bekerja. Wajar, 'kan?”
“Saya enggak pernah menang lawan Bapak!”
Abyan mencondongkan tubuhnya ke arah Tiana. “Daripada kamu sibuk senyum-senyum sendiri karena Satrio ajak kamu ngobrol, kenapa kamu enggak cari cara supaya kamu enggak dicap sebagai penyuka sesama jenis?”
Ingin sekali Tiana memukul wajah Abyan dengan map yang ia bawa. “Kenapa citra saya penting sekali buat Bapak?”
Abyan kembali menyandarkan punggungnya. “Oh, ya, penting. Kamu adalah sekertaris saya. Citra kamu penting. Kamu juga harus memikirkan Alita, kamu harus ingat dia adalah korban dan citranya hancur karena kamu.”
Tiana diam. Abyan benar. Walau semua ini terjadi karena ulah Chandra, tetapi Alita tidak bersalah. Selama berhari-hari, Tiana tidak ke departemen keuangan, Tiana juga enggan keluar kamar kos karena takut berpapasan dengan Alita.
Abyan benar. Bagaimana dengan Alita? Apa kabarnya? Alita pasti sangat terkejut, terlebih Alita sangat pendiam. Bisa-bisa terjadi sesuatu padanya.
“Tiana!”
Sontak Tiana berbalik, map yang ada di genggamannya terlepas. Wajah Chandra yang penuh luka, belumur darah ada di hadapannya.
“Chandra?”
Cepat Chandra melayang—mendekati Tiana yang sigap mundur hingga menabrak meja kerja Abyan.
“Alita! Tolong Alita!” Suara berat Chandra menyekat tenggorokan Tiana, ia tidak bisa berkedip menatap darah yang mengalir di pipi Chandra. “Tiana! Tolong Alita!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top