KM 14. Tumbang
Baru saja Tiana hendak duduk ketika suara Abyan memanggilnya dari ruangan kerja. Tiana melepaskan tas lantas masuk ke ruangan Abyan.
“Pak, tumben pagi-pagi sekali sudah sampai kantor.”
Abyan berkacak pinggang. “Kenapa memangnya? Enggak boleh?”
Dalam hati, Tiana mengutuk dirinya sendiri karena berbasa-basi. “Maaf, Pak.”
“Setiap saat minta maaf melulu, enggak bosen? Jam sembilan nanti akan ada presentasi dengan Elastika Prima—”
“Elastika Prima? Bukankah jadwal presentasi dengan mereka ada di minggu depan?” potong Tiana.
“Kita enggak punya waktu untuk membahas hal itu dan saya ingatkan sekali lagi kalau saya enggak suka kamu potong ucapan saya.”
Tiana menelan ludah. “Baik, Pak, maaf, Pak.”
“Siapkan jamuan untuk mereka, kue dan makan siang. Kemungkinan ada empat orang termasuk Pak Juan yang akan mewakili Elastika Prima. Siapkan dengan baik. Nilai proyek dengan mereka cukup besar, saya enggak mau ada kesalahan bodoh bersumber dari keteledoran kamu.”
“Baik, Pak.” Tiana yang sudah berjalan menuju ambang pintu kembali berbalik mendekati Abyan. “Pak, materi presentasinya bagaimana? Saya—”
“Periksa email kamu. Cetak masing-masing materi delapan rangkap. Minta bantuan staf lain,” potong Abyan.
“Baik, Pak.”
“Ingat Tiana, jangan sampai ada kesalahan.”
Tiana mengangguk dengan mantap. “Baik, Pak.”
***
Sebagai atasan, Abyan memang menyebalkan. Malah sangat menyebalkan, tetapi Tiana harus mengakui lelaki itu memang menguasai pekerjaannya dengan sangat baik. Wajar kalau diusianya yang terbilang muda, Abyan sudah menduduki jabatan penting di kantor.
Presentasi bisa dibilang berjalan mulus. Sesuai perintah Abyan, Tiana coba fokus melupakan segalanya. Bahkan Tiana tidak meminta Satrio untuk membantunya merapikan materi presentasi karena takut perhatiannya terganggu.
Dari gerak-gerik tamu undangan, sepertinya mereka cukup puas dan hendak melanjutkan kerjasama. Abyan menutup materi presentasi dengan jabat tangan erat antara dirinya dengan petinggi Elastika Prima. Bahkan, Abyan sendiri yang mengantarkan tamu hingga ke lobi ketika mereka pamit pergi.
“Presentasinya luar biasa baik, sepertinya kita akan mendapatkan kontrak dengan mereka,” seru Tiana yang mengekor di belakang Abyan.
“Kamu bisa mengganti kalimat itu dengan ucapan bapak sangat hebat,” timpal Abyan.
Tiana terkikik pelan. “Iya, Bapak sangat hebat.”
Abyan membuka pintu ruangan, lantas duduk di sofa tinggal di sudut. Ia merebahkan punggung lantas memijat pelan pelipisnya. “Bisa bantu saya beli obat sakit kepala?”
Tiana mendekat cepat, refleks tangannya meraba dahi Abyan. “Bapak demam.”
Abyan menepis tangan Tiana, bangkit lantas pindah ke kursi kerjanya. “Tolong beli obat sakit kepala,” ulangnya.
Tiana tersenyum lantas mengangguk. “Baik, Pak.”
Bergegas Tiana keluar dari ruangan. Permintaan Abyan yang diawali kata tolong mungkin salah satu tanda kalau sikap Abyan bisa perlahan membaik padanya. Tiana tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
“Tiana.”
Tiana urung menekan tombol di lift. Senyumannya mengalahkan terang benderang neon seratus watt ketika Satrio setengah berlari menghampirinya.
“Satrio,” gumam Tiana merapikan rambut dan menarik sedikit roknya.
“Bagaimana presentasinya?”
“Baik, mudah-mudahan hasilnya seperti yang diharapkan.”
“Syukurlah, kamu mau ke mana?”
“Ah, ini, mau ke minimarket sebelah kantor. Aku mau cari obat sakit kepala.”
“Kamu sakit?”
Perubahan raut wajah Satrio yang jelas kentara cemas membuat Tiana tersipu. “Ah, enggak. Buat Pak Abyan, dia minta tolong beli obat.”
“Pekerjaan kamu memang menuntut kamu untuk selalu perhatian lebih sama Pak Abyan, ya? Pacar kamu enggak cemburu?”
Tiana tertawa pelan, tangannya memukul dada Satrio. “Pacar? Ah, kamu bisa saja. Aku enggak punya pacar?”
“Sungguh?”
Tiana tersenyum semakin lebar lantas mengangguk. “Iya.”
“Wah, lega dengarnya.”
Sekali lagi Tiana memukul dada Satrio. “Ih, kenapa lega?”
Satrio menggaruk belakang kepala. “Aku minta maaf, ya, pasti akhir-akhir ini kamu sulit hubungi aku, ya?”
Senyum Tiana hilang. “Iya, aku belum minta maaf sama kamu soal kejadian waktu itu. Pak Abyan keterlaluan sekali minta kamu untuk pulang.”
Sedetik Satrio tampak bingung, tetapi ia kembali mengendalikan ekspresinya. “Enggak apa-apa, kok. Maaf, ya, ponsel aku jatuh.”
Tiana refleks melihat ponsel yang Satrio ambil dari saku celananya. Satrio tidak berbohong, memang layar ponsel Satrio tampak retak dan hitam separuh.
“Ini enggak bisa diperbaiki atau bagaimana gitu?”
“Ponsel ini keluaran jadul, sparepartnya sudah enggak ada lagi. Sementara, ya dinikmati saja sampai aku ada uang untuk beli ponsel lagi. Kalau bulan depan, aku belum bisa beli karena ada keperluan. Aku sudah ngobrol sama Pak Abyan, mau mengajukan pinjaman kantor.”
“Begitu, ya?”
“Eh, maaf, kamu pasti enggak nyaman karena aku bicara banyak.”
Tiana tersenyum. “Enggak apa-apa.”
“Aku minta maaf, ya, kalau kamu kirim pesan, aku enggak balas karena ponsel aku kondisinya begini.”
“Iya, enggak apa-apa.”
Satrio kembali menggaruk belakang kepalanya. “Padahal aku selalu menunggu chat kamu.”
Pipi Tiana kembali hangat. “Sungguh?”
Mantap Satrio mengangguk. “Iya. Aku nyaman bicara sama kamu, sampai enggak sadar bisa bongkar semua masalah aku.”
Tiana menyampirkan anak rambut ke belakang telinga, pelan dan manja ia kembali memukul dada Satrio. “Ah, kamu bisa saja.”
Satrio tersenyum. “Sungguh.”
Jantung Tiana yang sedari tadi berdegup kencang tidak akan bisa lagi menanggung beban kebahagiaan bila ia terus berlama-lama dekat Satrio. “Aku ke bawah dulu, ya. Mau beli obat, nanti kita ngobrol lagi.”
“Tunggu.” Satrio menarik tangan Tiana. Darah Tiana berdesir hingga ke ubun-ubun ketika ia melihat tangan Satrio melekat di kulit tangannya. “Sepertinya aku ada obat. Kamu tunggu di sini, aku ambil dulu.”
Tubuh Tiana lemas, ia bersandar di dinding. “Aduuh, manis sekali dia.”
Tak lama Satrio datang, memberikan satu strip obat pereda sakit kepala. “Ini, cepat kasih Pak Abyan, nanti dia marah karena kamu lama.”
“Iya, aku kasih obatnya dulu. Nanti kita ngobrol lagi, ya.”
“Iya.”
Tiana bergegas masuk ke ruangan Abyan. Namun, sebelumnya ia kembali menoleh, lambaian tangan Satrio membuatnya tersenyum.
Tiana mendorong daun pintu, matanya mencari di setiap sudut ruangan, tetapi Abyan tidak tampak.
“Dia kemana? Perasaan dari tadi Pak Abyan enggak keluar ruangan? Apa ke pantri? Ah, masa gue enggak sadar, sih?” cicit Tiana menutup pintu.
Aroma parfum maskulin Abyan masih tertinggal kuat. Harum yang membuat Tiana merasa nyaman. Tiana ingat kembali ucapan Siska dan Hesti yang selalu memuji-muji ketampanan, kecakapan serta semua hal positif yang menjadikan Abyan sebagai lelaki bibit unggul.
Tiana tiba-tiba tersenyum, tetapi cepat Tiana menampar pelan bibirnya sendiri.
“Stop Tiana, dia atasan yang menyebalkan. Ih, kemana itu orang, ya? Katanya sakit.” Tiana merogoh kantung celana, menghubungi Abyan dan terdengar dering ponsel Abyan dari atas meja. Tiana memutus panggilan, berjalan mendekati meja. “Pak!”
Cepat Tiana berjongkok di samping Abyan yang sudah tergelak di lantai tak sadarkan diri. Tiana menepuk-nepuk pipi Abyan.
“Pak, bangun, Pak, Bapak. Aduh, bagaimana ini?” Tiana kembali menepuk pipi Abyan. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. “Pak! Pak Abyan!”
Tiana melonggarkan tali dasi Abyan, melepaskan ikat pinggang. Dengan tangan gemetar Tiana meraba dada Abyan. Entah karena gugup atau tangannya yang gemetar, Tiana tidak bisa merasakan debar jantung Abyan.
“Pak? Pak Abyan! Pak! Bangun!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top