KM 11. Boleh Pinjam?

“Menurut lo lebih cocok warna apa buat acara tunangan gue?”

Tiana melirik sedikit ponsel Hesti. Tampak sederet gambar kebaya aneka warna. “Menurut gue sih lebih cocok lo enggak nanya sama gue yang jomlo dari orok.”

Hesti memukul punggung Tiana. “Ngeselin! Serius Tiana! Kalau putih bagaimana? Tapi nanti malah mirip baju akad, ya?”

Tiana menoleh ke arah kamar Alita yang tertutup. “Terserah lo, biru juga bagus, lo suka warna biru, kan?”

“Biru, ya? Oke gue tampung idenya.”

“Hes, perasaan dari pagi Alita enggak keluar kamar.”

“Alita? Mbak Alita pulang. Biasanya sebulan sekali dia pulang ke rumahnya, dia pulang dari kemarin, biasanya minggu malam pulang.”

Tiana bergeser agar bisa leluasa memandang Hesti. “Memang rumahnya di mana?”selidiknya.

“Gue kurang tahu.”

“Loh, masa enggak tahu. Lo itu kan personalia.”

“Ya masa gue harus hafal alamat rumah semua karyawan, sih? Lagian, dia enggak pernah ngobrol juga, mana gue hafal dia tinggal di mana.”

Tiana mendesah lantas kembali menyandarkan kepalanya pada dinding. “Begini amat nasib gue ya, Hes. Niat gue nekat pindah kerja supaya dapat kenalan baru, mungkin dapat jodoh, tapi gue malah disuruh jodohin orang lain.”

Hesti berhenti mengotak-atik ponselnya. “Disuruh jodohin gimana? Sama siapa?”

Tiana menghela napas. “Percuma gue jelaskan juga. Lo enggak akan percaya sama gue.”

“Soal jodohin Pak Abyan sama Mbak Alita?” Tiana mengangguk. “Mending buat lo aja tuh si Pak Abyan. Dia itu anak tunggal dari keluarga mapan. Gue yakin lo enggak akan direpotkan soal urusan per-ipar-an.”

Tanpa ragu Tiana menoyor kepala Hesti. “Gila!”

“Lo yang lebih gila, bisa-bisanya sok mau comblangin orang lain.”

Tiana tidak mau mendebat Hesti. Dipikir dari sisi manapun, memang benar. Ini gila! Tiana kembali menoleh ke kamar Alita. Mengapa Alita? Mengapa Chandra begitu memikirkan Alita? Siapa dia? Apa hubungan antara Chandra dengan Alita?

Tepukan keras di paha membuat Tiana menoleh ke arah Hesti. “Kenapa, sih? Sakit!” gerutunya mengusap paha.

“Bengong mulu, kesambet baru tahu. Hati-hati, gue dengar sudah beberapa hari ini banyak kejadian mistis di kantor!”

“Halah, mistis-mistis.”

“Hussss, jangan sembarangan! Gue khawatir kalau lo kumat suka ngomong sendiri di kantor, enggak ada yang bantuin kemplang kepala lo! Hati-hati! Jangan bengong!”

“Iya! Bawel!”

Tiana kembali memalingkan wajah ke arah kamar Alita. Malas rasanya membahas tentang hal berbau gaib. Sampai detik ini, Tiana tidak tahu alasan mengapa ia bisa berkomunikasi dengan demit bernama Chandra.

“Gue kasihan sama Pak Udin. Gue kenal istrinya. Padahal mereka sudah lama menantikan kehadiran anak.”

“Udin siapa?”

Sekali lagi pukulan keras mendarat di paha Tiana.

“Sekuriti kantor. Lo enggak kenal? Itu yang kurus tinggi.”

Tiana coba mengingat. “Kenapa memangnya?”

“Hah? Lo enggak tahu?”

Dahi Tiana mengerut, ia menggeleng. “Enggak. Ada apa memangnya?”

“Minggu lalu istrinya kecelakaan di depan kantor. Meninggal Tiana! Lagi hamil lima bulan, Pak Udin hari ini baru masuk. Atasan gue nanti mau coba ngobrol sama Pak Udin, siapa tahu beliau mau dipindah ke cabang lain.”

Tiana diam, sedang tangannya sibuk mengusap-usap bekas pukulan Hesti di pahanya. Ucapan Hesti mengingatkannya akan sesuatu, tetapi … apa?

“Mudah-mudahan gosip kalau suka ada yang menangis sewaktu malam, itu cuma bohong saja. Kasihan Pak Udin,” tambah Hesti.

“Menangis?” cicit Tiana, “Ah, iya! Gue baru ingat!” seru Tiana yang spontan berdiri.

Tatapan Tiana ke arahnya membuat Hesti ikut berdiri lantas mundur selangkah. “Lo kenapa?”

“Pinjam motor lo?”

“Lo mau ke mana?”

“Cari Chandra!”

“Chandra? Chandra siapa?”

“Nanti gue cerita, mana kuncinya?”

“Di kamar gue.”

Tiana menarik tangan Hesti, mendorong paksa Hesti bergerak hingga ke pintu kamar. “Cepat! Mana?”

Tergesa Hesti membuka pintu kamar lantas memberikan kunci motor. “Sabar kenapa! Nih, hati-hati.”

Tiana menyambar kunci motor. “Pinjam sebentar.”

“Iya, hati-hati, jangan ngebut!”

“Iya!”

Sekarang Tiana ingat. Kemarin Chandra bicara soal wanita yang menangis karena meninggal seminggu lalu. Mungkin itu adalah istri dari Pak Udin. Sekuriti ramah yang selalu menyambut Tiana dengan senyuman juga sapaan hangat.

Baru saja Tiana hendak memegang pegangan pintu, tetapi daun pintu terbuka lebar. Baik Tiana dan Alita sama-sama terkejut.

Keduanya terdiam sampai Tiana bertanya, “Baru pulang?” Alita pergi melewati Tiana tanpa memberikan jawaban. “Gue disuruh berteman sama yang modelan begitu? Ish,” gerutunya pelan.

“Dia enggak seperti yang kamu bayangkan.”

Tiana melompat sampai punggungnya menabrak dinding. “Chandra?”

“Kamu masih kagetan saja kalau ketemu aku.”

“Ya bagaimana enggak kaget, lo muncul tiba-tiba, kayak hantu saja!”

Dahi Chandra mengerut. “Aku memang bukan manusia, lupa?”

Tiana diam sejenak. “Ah, sudahlah, gue baru mau cari lo.”

“Aku?”

“Iya.”

Chandra menyugar rambutnya. “Kangen, ya?”

“Dih, mau ngapain gue kangen sama anak SMA! Pedofil!”

“Aku enggak bertambah tua karena aku sudah mati Tiana. Aslinya kalau aku masih hidup, aku lebih tua dari kamu.”

Tiana meneguk kerongkongannya yang kering. “Maaf, gue lupa lagi.”

Chandra tersenyum lantas melipat lengan di dada. “Jadi, kenapa kamu cari aku?”

“Kemarin lo bahas soal wanita yang meninggal di depan kantor. Dia istri Pak Udin? Sekuriti kantor?”

Chandra mengangguk. “Iya, kenapa?”

Tiana mendekati Chandra. “Dia gentayangan?” bisiknya.

“Terlalu kasar menggunakan kata itu. Ada urusannya yang belum selesai.”

“Apa?” selidik Tiana.

“Memangnya kalau aku cerita, kamu mau bantu? Atau kamu setuju aku pinjam raga kamu?”

Tiana diam sejenak. Berurusan dengan satu hantu saja sudah pusing setengah mati, tetapi membayangkan sedihnya Pak Udin Tiana bisa nekat. “Aku mau bantu, tapi jangan bahas soal pinjam raga. Gue enggak mau!”

Chandra tersenyum. “Ya sudah, aku tunggu di depan kantor tengah malam nanti.”

“Te-tengah malam?”

Chandra mengangguk. “Dia agak pemalu. Kalau tengah malam, energinya lebih kuat. Oke? Aku tunggu di sana.”

Seiring lambaian tangannya, tubuh Chanda perlahan menghilang.

Tiana mencari pegangan lantas menyandarkan diri ke daun pintu. “Kenapa, sih? Kenapa, sih gue selalu suka cari masalah sendiri?” cicit Tiana.

***

“Gue enggak mau! Gue tunggu di sini!”

Tiana melepaskan seat belt lantas menguncir rambutnya. “Gue sudah bilang, lo enggak perlu ikut. Gue cuma mau pinjam motor lo aja, tapi lo bandel. Malah minta ikut, pakai mobil segala,” cerocos Tiana.

Hesti menahan lengan Tiana. “Enggak mungkin gue biarin lo tengah malam sendirian naik motor keluar kosan Tiana! Ti, dilihat dari sisi manapun ini bad idea. Lo nurut sama gue, kita cek besok pagi atau siang atau sore. Pokoknya sewaktu matahari bersinar Ti.”

“Chandra bilang tengah malam. Sudah, ah, sudah telanjur. Lo tunggu di sini.”

“Chandra, Chandra, Chandra, dari tadi lo sebut nama itu terus. Memangnya dia siapa? Jangan bilang dia yang sering lo ajak ngobrol?”

“Anggap saja dia teman imajiner gue.”

Hesti merenggut kepalanya sendiri. “Imajiner? Plis, come on Tiana.”

“Ah, lo bawel, jadinya bagaimana, nih? Mau ikut gue apa enggak?”

“No! Big no! Gue tunggu di sini, gue liatin lo dari sini, kalau lo enggak terjangkau sama pandangan mata gue, gue telepon damkar atau basarnas sekalian buat cari lo!”

Tiana tertawa pelan. “Iya, tunggu sebentar ya. Ingat, jangan sampai sekuriti kantor tahu kita di sini, nanti bisa jadi bahan gosip di kantor. Oke?”

“Iya! Bawel!” Tiana mengusap lengan Hesti lantas keluar dari mobil. “God, kayaknya gue salah ajakin dia kerja di sini, kenapa itu anak jadi aneh?” gerutu Hesti kemudian mengusap belakang lehernya. “Tuh, ‘kan, merinding begini, sumpah Tiana kalau bukan karena gue sayang lo, gue masa bodo sama lo,” lanjutnya sembari memandangi punggung Tiana.

Chandra yang sudah menunggu di pinggir trotoar melambaikan tangannya, Tiana berjalan lebih cepat.

“Aku kira kamu enggak datang.”

Tiana membetulkan tudung jaketnya. “Datanglah. Jadi, dia di mana?”

“Tuh, di sebelah kamu,” jawab Chandra menunjuk ke sebelah Tiana dengan dagunya, sontak Tiana berpindah ke sebelah Chandra.

“Di situ?” tanya Tiana gemetar.

Chandra mengangguk. “Kenapa? Kamu enggak bisa lihat dia? Memang agak sedikit seram. Berdarah begitu,” ujar Chandra mengusapkan tangan di wajah sebelah kirinya.

“Enggak perlu dijabarkan Chandra!” Tiana menggigit pelan bibirnya. “Mbak, apa … yang bisa saya bantu?”

Bulu kuduk Tiana sontak berdiri, gelenyar nyata merambati tengkuknya ketika tiba-tiba ia mendengar dengan nyata suara tangisan.

“Tiana bisa bantu, jangan menangis.” Tiana refleks menoleh ke arah Chandra, ternyata Hesti benar, ini memang bad idea dan Tiana tidak seberani itu. “Tiana, dia boleh pinjam raga kamu? Sebentar saja?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top