KM 10. Cemburu, Nih?
Abyan menyesap pelan kopi, matanya tertuju pada Tiana yang sibuk berdiskusi dengan tim lapangan. Melihat Tiana menyampirkan rambut yang jatuh menutup wajah membuat Abyan menarik segaris tipis bibirnya.
Sadar ia tersenyum karena mengagumi wajah Tiana, Abyan tersedak hingga jadi pusat perhatian. Salah seorang staf yang berada paling dekat dengannya refleks meraih kotak tisu di tengah meja lantas menyodorkannya pada Abyan.
“Terima kasih,” ucap Abyan berusaha menenangkan diri.
Seharusnya hari ini ia ada janji bermain golf dengan salah satu klien, tetapi karena terus membayangkan Tiana sendirian di kantor, Abyan tidak tega. Ia membatalkan janji dan nekat ke kantor. Namun, apa yang ia dapatkan?
Tiana malah asyik berduaan dengan lelaki lain.
Abyan mengutuk dirinya sendiri ketika kembali menjadi sorotan karena menggebrak meja.
“Bapak kenapa?” tanya Tiana heran mendekati panik Abyan.
Abyan meletakkan cangkir kopi, berdeham lalu bangkit. Sembari menatap arloji ia berkata, “Sudah lewat dari jam makan siang. Kita makan dulu. Saya traktir supaya kalian semakin semangat bekerja.”
Ajakan Abyan disambut sorak gembira meninggalkan Tiana yang tampak gelisah. Setengah mati Tiana memberanikan diri mendekati Abyan setelah semua staf bersiap keluar ruangan. “Pak.”
Abyan menoleh, ekspresi ramahnya hilang. “Apa?”
“Pak, saya izin makan di kantor saja, ya?”
“Kamu bawa bekal?”
Tiana menggeleng. “Enggak, Pak. Nanti saya pesan online. Kasihan Satrio di atas sendirian.”
“Satrio?” Tiana mengangguk. “dia sudah pulang.”
“Pulang?”
“Saya enggak minta dia untuk datang ke kantor.”
“Bapak ngusir dia? Pak, tapi dia punya pekerjaan yang belum selesai, Pak!”
“Seharusnya pekerjaan itu sudah selesai sebelum hari ini tiba dan kemarin masih hitungan hari kerja. Jadi, yang tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu siapa? Kenapa kamu terkesan menyalahkan saya?”
Yakin perdebatan ini hanya akan menaikkan tekanan darahnya, Tiana merogoh ponsel, berniat menghubungi Satrio, tetapi Abyan cepat merebut ponsel Tiana.
“Pak!”
Ujung bibir Abyan naik. “Satrio doubel o ditambah lambang hati berwarna merah muda di belakang namanya. Hmm, saya jadi penasaran, nama saya di kontak kamu beri tulisan apa.”
Sebelum sempat Abyan mengotak-atik ponsel, Tiana merebut ponselnya. Bisa kacau kalau Abyan tahu Tiana memberikan sebutan Bos Dari Neraka untuk nama Abyan.
“Ini ranah pribadi saya, Pak!”
Tiana sadar kalau suaranya meninggi, Tiana tahu kalau semua orang yang hendak keluar kembali menatapnya, Tiana juga yakin akan semakin bermasalah dengan Abyan, tetapi ini sungguh keterlaluan.
Mungkin Satrio memang ada pekerjaan, tetapi Tiana yakin Satrio ke kantor semata-mata untuk menemaninya dan sekarang si bos edan ini bisa-bisanya mengusir Satrio tanpa mengatakan apa-apa pada Tiana.
Abyan menyandarkan punggung ke dinding, kedua tangan masuk ke saku celana. “Lalu?”
“Lalu? Bapak mengerti batasan enggak, sih?” Abyan menggeleng. “Saya memang bawahan Bapak, tapi Bapak yang bilang kalau sekarang itu jam makan siang, berarti saya bukan bawahan Bapak dari jam dua belas sampai jam satu nanti! Jadi saya permisi!”
Berkali Tiana coba hubungi Satrio. Namun hasilnya nihil. Ia juga sudah memeriksa ke lantai lima departemennya dan tidak menemukan Satrio di sana. Ucapan Abyan mungkin benar. Satrio sudah dipaksa pulang.
Jemari Tiana akhirnya menuliskan pesan untuk Satrio.
Kamu ada di mana? Aku minta maaf. Aku mohon nanti kamu hubungi aku.
Pesan darinya tercentang satu. Nomor telepon Satrio tidak aktif.
Tiana memijat dahinya lantas mengedarkan pandangan ke jalanan, berharap melihat Satrio dan pandangannya berhenti tepat ke seberang jalan. Terpaku pada pohon rindang besar di depan deret ruko.
Satu senyuman menyambut tatapan Tiana. Chandra melambaikan tangan. Tiana yang berbalik badan hampir terjengkang karena wajah Chandra ada tepat di hadapannya.
“Sialan!”
“Dia sudah pulang.” Tiana tidak berkomentar. “Maksud aku, dia itu cowok yang kamu taksir.”
“Satrio?”
Chandra mengangguk. “Tiana, lebih baik kamu cari cowok lain yang seperti Abyan.”
Tiana terbahak sampai tenggorokannya kering. Tegas ia memandang Chandra. “Abyan? Walau seluruh cowok di muka bumi ini musnah, gue enggak akan pernah ngelirik itu orang!”
Dahi Chandra mengerut. “Aku melihat dan tahu apa yang kamu enggak lihat dan enggak tahu.”
“Enggak usah sok tahu!”
“Kayaknya kamu itu enggak suka sekali sama aku.”
Wajah Tiana tiba-tiba cerah. “Nah, itu tahu. Jadi,” Tiana menyatukan kedua telapak tangannya. “Mulai sekarang enggak usah lagi muncul di depan gue, oke?”
Chandra berkacak pinggang. “Aku itu orang yang paling menepati janji dan kita sudah sepakat. Semakin cepat kamu selesaikan kesepakatan kita, semakin cepat aku pergi dari sini.”
“Kenapa harus gue, sih?”
“Karena kamu yang bisa berkomunikasi sama aku.”
“Lagian kenapa harus Alita? Dia itu tipe orang yang lebih senang sendiri. Mengerti kata sendiri, ‘kan?”
“Kamu itu enggak kenal Alita.”
Dahi Tiana mengerut. “Ya jelas gue enggak kenal. Bagaimana bisa kenal kalau orangnya saja memang menutup diri?”
“Aku bisa kasih tahu tentang Alita.”
“Gue enggak tertarik!”
“Kalau kamu enggak berhasil, selamanya kita akan bersama.”
Dada Tiana mendadak nyeri.
Selamanya?
Se-lama-nya.
Selamanya!
Nilai pelajaran bahasa Indonesia Tiana saat sekolah dahulu tidak buruk. Ia mengerti arti kata selamanya dan Tiana tidak mau terjebak selamanya bersama Chandra.
“Terserah lo! Iya, gue akan bantu lo dan selesaikan kesepakatan kita!”
“Nah, begitu dong. Eh, kamu bisa lihat wanita yang di seberang sana?”
Refleks Tiana menoleh ke arah yang Chandra tunjuk. Namun, dengan cepat pula ia kembali menatap Chandra. Bisa melihat satu makhluk astral saja sudah sangat mengganggu, apalagi bisa lihat lebih dari ini.
“Seminggu yang lalu dia kecelakaan di situ. Dia menangis terus. Kamu enggak bisa bantu dia? Katanya ada barang yang tertinggal di sana.”
“Dengar, ya. Gue juga enggak tahu kenapa gue bisa lihat lo dan maaf-maaf, gue bukan malaikat penolong makhluk gaib!”
“Ya sudah, kalau kamu enggak mau bantu, aku saja yang bantu dia, tapi melalui kamu.”
Dahi Tiana mengerut dalam. “Maksudnya bagaimana?”
“Sepertinya aku bisa pinjam raga kamu.”
Meski dari kejauhan Abyan memperhatikan tiap ekspresi Tiana. Tanpa sadar ia makin penasaran.
“Ternyata benar, ya, dia suka bicara sendiri.”
Abyan menoleh, mereka yang sedang berbisik sontak mengalihkan pembicaraan. Abyan tidak suka Tiana jadi bahan obrolan. “Kalian tunggu saja di dalam mobil. Saya panggil Tiana dulu.”
Ragu Abyan mendekati Tiana yang tampak seperti sedang berdebat.
“Kamu sudah bisa pergi untuk makan siang?”
Tiana menoleh. “Saya mau makan di kantor saja. Terima kasih,” jawabnya ketus.
“Ya, saya juga dengar tadi kamu bicara seperti itu, tapi mereka mau kamu ikut. Enggak enak katanya.” Abyan terpaksa berbohong. Bagaimanapun, sepertinya membiarkan Tiana sendiri bukan ide bagus. “Ayo, kasihan mereka sudah lapar,” bujuk Abyan lagi.
Terpaksa Tiana bergegas pergi bersama Abyan.
“Tiana!” Sekali lagi Tiana menoleh. “Kalau enggak mau bantu, kasih tahu aku, nanti aku pinjam raga kamu.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top