KM 07. Hanya Ingin Berteman
Hari pertama tanpa Siska.
Tiana gugup?
Ya, sangat.
Ia sudah menuliskan apa saja yang harus dilakukan termasuk datang lebih awal dari Abyan. Walau telah mempersiapkan segalanya, Tiana tetap tidak percaya diri.
Laporan rencana harian sudah ia baca berulangkali hingga yakin minim kesalahan. Intinya tidak boleh memancing si mister freak untuk tantrum.
Suara denting lift terdengar dan pintunya terbuka. Abyan keluar dari sana, sejenak bertatapan dengan Tiana yang cepat memberikan senyum karir.
"Pagi, Pak." Abyan hanya memberikan satu anggukan kecil lantas masuk ke dalam ruangannya.
Cepat-cepat Tiana berlari menuju pantri, menaruh sekantung teh hijau di cangkir menambahkan dua sendok madu lantas mengisinya dengan air panas.
Sebelum menyerahkan cangkir teh hijau madu ke ruangan Abyan, Tiana pun tidak lupa meletakkan dua bungkus roti gandum panggang.
Tiana mengetuk pintu, setelah Abyan mempersilakan masuk. Tiana tersenyum lalu meletakan cangkir berisi teh dan piring kecil berisi roti.
"Hari ini Bapak ikut rapat pagi? Saya print dahulu materi rapatnya, ya, Pak."
Abyan tampak menarik nafas, Tiana mulai gelisah karena jelas Abyan terlihat jengkel. "Kenapa kamu bertanya hal yang enggak perlu? Jelas saya akan ikut rapat pagi dan jelas saya butuh materi rapat." Tiana menggigit pelan bibirnya, khawatir batas kesabarannya lenyap dalam sekejap mata. “Kenapa kamu masih di sini? Mau tunggu apa lagi?”
Tiana pergi secepat yang ia bisa. Berkali-kali ia menarik embuskan nafas. Berharap tingkat kekesalan dalam diri bisa turun walau satu level. Biasanya rapat pagi para manajer berlangsung antara satu sampai dua jam. Syukurlah, Tiana bisa sedikit melonggarkan belitan si Freak Abyan.
Mesin pencetak berdengung, Tiana bersiap meraih kertas yang akan keluar, tetapi pandangannya teralihkan pada seorang office boy yang berjalan mendekat dengan membawa baki.
“Pagi, Mbak,” sapanya dengan logat jawa kental.
“Mau ada tamu, Mas?” tanya Tiana dengan tatapan berpindah dari cangkir dalam baki ke wajah sang office boy.
“Oh, ndak, Mbak. Pak Abyan biasa, minta antar teh hijau,” jawabnya.
Tiana tercekat. Bukankah tehnya sudah ia hidangkan? “Disuruh Pak Abyan?”
“Iya, Mbak. Saya antar dulu, ya, Mbak?”
“Iya.”
Selepas sang office boy masuk ke ruangan Abyan, Tiana diam seribu bahasa. Namun, bibirnya tampak gemetar dan kabut di matanya mulai turun. Mengapa Abyan menolak sesuatu yang sudah Tiana siapkan? Apa salahnya?
***
Walau teh dan camilan yang disediakannya selalu tidak disentuh Abyan, tetapi Tiana tetap nekat menyajikan semua yang diminta Siska. Meski semua yang telah disiapkan selalu saja dibawa keluar oleh office boy, Tiana berpegang teguh, ia hanya menjalankan rutinitas harian Siska.
Hari ini semua check list pekerjaan hampir seluruhnya selesai. Tugas terakhir mengirimkan jadwal esok hari pada Abyan. Jemari Tiana berhenti menekan tiap tombol di keyboard ketika ia sadar kalau besok, seharian penuh jadwalnya berada diluar bersama Abyan.
Gelenyar nyata yang beberapa hari belakangan tidak pernah dirasakan Tiana, tiba-tiba merambati tengkuknya. Tiana mengangkat dagu ketika mendengar bel lift berdenting. Detak jantung Tiana berhenti sedetik ketika ia melihat sang anak SMA keluar dari dalam lift bersama dengan Alita.
Cepat-cepat Tiana coba membuang pandangannya, tetapi pertanyaan dari Alita membuat Tiana terpaksa harus mengangkat dagunya lagi.
“Pak Abyan ada di ruangannya?”
“Iya.”
“Sedang ada tamu?” Tiana cepat-cepat menggeleng. “Terima kasih, saya masuk.”
Suara langkah Alita terdengar menjauh. Namun, rasa dingin yang membekukan tengkuknya masih terasa kuat. Tiana yakin, apa pun itu, dia masih ada di dekatnya.
“Hei, kamu bisa dengar aku, ‘kan? Kamu bisa lihat aku, ‘kan?” Tiana menggigit bibirnya. Dua pertanyaan itu jelas terdengar dari sisi sebelah kanan. “Aku tahu jawabannya iya, ‘kan? Sekarang aku tahu dimana kamu berada. Jadi, jangan harap bisa menghindariku.”
Sontak Tiana menoleh. Matanya bertemu tepat dengan mata sang siswa SMA. Tiana tidak bisa berkedip. Terlebih ketika makhluk itu tersenyum seolah tahu kalau Tiana telah masuk ke dalam cengkeramannya.
Siswa itu berjalan menuju ruangan Abyan, tampak mengamati apa yang terjadi di dalam lantas kembali menghampiri Tiana.
“Aku tahu pada akhirnya aku akan dapat keajaiban dan kamu adalah orang paling beruntung yang bisa membantuku.”
Tiana coba mengembalikan semua akal sehatnya dan memfokuskan pikiran sembari bergumam dalam hati kalau makhluk yang ada di hadapannya adalah siswa SMA biasa.
“Kamu siapa?” tanya Tiana cepat terdengar membentak.
“Oh, iya, lupa kenalan. Aku Chandra.”
Pandangan Tiana beralih pada tangan Chandra. Bagaimana mungkin ia bisa balas menjabat tangan pucat itu?
Tiana kembali menelan rasa takutnya bulat-bulat. “Saya enggak mau tahu kamu siapa!”
Chandra malah tertawa pelan lalu menyugar rambut lurusnya. “Lah, kamu yang tanya aku siapa, kok malah judes. Pantas saja jomlo.”
Emosi Tiana tersulut sampai ia lupa kalau lawan bicaranya bukan manusia. “Maksudnya? Sembarangan!” sentak Tiana bangkit dari kursi.
Lagi-lagi Chandra malah tertawa. Ia hendak balas menyembur Tiana, sayangnya Alita dan Abyan keluar dari ruangan.
“Terima kasih konfirmasinya,” ucap Abyan.
“Sama-sama, Pak.”
“Hei, menurut kamu, mereka berdua cocok enggak? Kalau menurut aku, sih, cocok,” celetuk Chandra. Tiana kembali menghunuskan tatapan tajamnya pada Chandra. “Jangan judes-judes, Mbak. Nanti serius enggak bakalan dapat jodoh, bagaimana coba?” goda Chandra lagi.
“Memangnya kenapa kalau saya enggak dapat jodoh? Peduli amat sama pendapat kurang ajar lo!” timpal Tiana yang sontak mendapat perhatian dari Abyan juga Alita.
Keheningan di antara mereka lenyap oleh gelak tawa renyah milik Chandra. Ia kembali mendekati Tiana. “Hei, kita pasti akan ketemu lagi dan jadi teman baik. Jadi, lebih baik kamu enggak perlu menghindari aku. Kamu akan sering ke ruang finance. Aku tunggu.”
***
Ucapan Chandra terbukti nyata, semenjak hari itu, Tiana memang sering berjumpa dengannya. Bahkan sampai di rumah kos. Kemunculan Chandra bukan hanya membuat Tiana jengkel, hal yang paling membuat Tiana terganggu adalah tanpa sadar Tiana terlihat sering marah-marah atau bicara sendiri.
“Apa lo itu enggak punya urusan selain ganggu gue?” tanya Tiana mempercepat langkah menuju ruangannya.
Chandra yang tidak kesulitan menyesuaikan langkahnya dengan Tiana tertawa pelan. “Enggak ada. Justru menyenangkan sekali karena setelah sekian lama ada yang bisa aku ajak bicara.”
Tiana berhenti lantas menatap lekat Chandra. “Stop ganggu gue! Memangnya di kantor ini enggak ada yang bisa kamu ganggu selain gue?”
“Aku enggak niat ganggu kamu. Aku cuma ingin berteman.”
“Berteman? Maaf, ya, gue saja masih milih-milih menerima pertemanan antara manusia, nah ini? Lo mengerti, kan? Jadi, stop ganggu gue!”
“Aku enggak ganggu kamu. Aku cuma mau berteman.”
“Tapi gue enggak mau!” Tahu kalau ucapannya tidak akan digubris, Tiana kembali melangkah pergi.
“Baik, aku enggak akan ganggu, aku akan pergi.” Langkah Tiana terhenti, ia berbalik dan Chandra yang puas rencananya berhasil, tersenyum lantas mendekati Tiana. “Aku akan pergi setelah kamu penuhi dua syarat dari aku.”
“Syarat?”
Chandra mengangguk. “Hanya dua saja. Setelah semuanya terpenuhi, aku akan pergi. Aku janji.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top