KM 04. Siswa Magang (?)

"Memang enggak bisa tuh orang kalau enggak nyiksa gue," gerutu Tiana coba menggapai tombol lift dengan satu tangan sedangkan tangan lain penuh membawa tumpukan berkas. "bisa-bisanya dia nyuruh gue sendirian bawa berkas segini banyak ke atas dari parkiran," omelnya lagi sembari menatap urutan angka-angka lantai lift yang mulai turun.

Semakin dekat, entah mengapa tiba-tiba Tiana mundur beberapa langkah. Ia menoleh ke kiri dan kanan karena merasa tengkuknya dibelai angin. Perasaannya semakin tidak karuan. Terlebih debar jantung Tiana mulai naik hingga membuatnya sesak.

Perlahan pintu lift terbuka. Satu-satu per satu orang di dalamnya keluar melewati Tiana yang diam mematung dengan mata tertancap pada seorang siswa sekolah menengah atas yang keluar paling terakhir.

Siswa itu sempat menatap Tiana, tetapi Tiana tidak mampu membalasnya. Hanya ekor mata yang mengikuti langkah siswa itu.

"Kenapa kamu masih di sini?" Suara dari orang yang dibencinya membuat Tiana sontak menoleh. Abyan mengendurkan dasi lantas kembali menekan tombol pintu lift dan tak lama pintunya terbuka. "Kamu mau sampai kapan berdiri di situ?"

Nada suara Abyan biasa saja. Tidak ada bentakan sama sekali, tetapi entah mengapa tiba-tiba tangis Tiana meledak begitu saja.

***

"Kamu mau diantar pulang?" Siska duduk di sebelah Tiana, lantas menyentuh dahi Tiana. "Kamu demam."

Tiana menggigit bibir lantas menggeleng. "Enggak apa, Mbak. Aku cuma kaget."

"Pak Abyan bentak kamu?"

Tiana kembali menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya, saya juga enggak tahu kenapa."

"Kamu pucat. Saya minta Satrio atau supir kantor antar kamu pulang, ya? Atau kalau enggak kita ke klinik dulu, bagaimana?"

"Enggak perlu, Mbak."

"Kamu kenapa? Enggak mungkin kamu enggak kenapa-kenapa. Kamu pucat gitu Tiana."

"Saya ... tadi lihat-"

"Ika, batalkan jadwal meeting saya dengan Pak Danu."

Refleks Ika menatap Abyan yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. "Baik, Pak," jawabnya lalu memutar kursi kembali menghadap layar monitor.

Abyan beralih menatap Tiana yang berusaha sekeras mungkin agar tidak menatap si bos freak.

"Ambil tas kamu. Kita pulang." Perintah Abyan membuat Tiana menoleh padanya. "Saya enggak perlu ulang ucapan saya, 'kan Tiana?"

Tiana mengerjapkan mata. "Iya, Pak."

"Ambil tas kamu. Saya antar kamu pulang."

"Enggak perlu, Pak," tolak Tiana mentah-mentah.

Abyan diam sesaat. "Ini bukan tawaran."

Tiana merasakan senggolan di pinggangnya dan tak lama Siska berdeham. Tiana paham akan kode dari Siska, tetapi sungguh ia sedang tidak mau berdekatan dengan Abyan.

"Terima kasih, Pak, tapi-"

"Kamu pikir saya juga suka melakukan ini? Kamu sendiri tahu jadwal kerja saya padat, tapi saya enggak bisa diam saja dengar isu kalau saya yang buat kamu begini."

"Pak."

"Setelah antar kamu, saya harus kembali ke kantor. Semakin cepat kita pergi, akan semakin bagus."

Siska membuka laci lalu mengeluarkan tas milik Tiana. "Kalau ada apa-apa, kabari, ya Ti."

Tiana menarik nafas dalam-dalam, meraih tas lantas bangkit. "Baik, Mbak."

"Hati-hati, ya."

"Ika, jangan lupa batalkan meeting saya dengan Pak Danu."

"Baik, Pak."

Tiana mengekor di belakang Abyan. Banyak yang berkecamuk dalam kepalanya. Memikirkan hal aneh yang telah terjadi padanya saja sudah memusingkan. Sekarang ditambah harus memikirkan percakapan apa yang pas dibicarakan selama lima belas menit berkendara menuju kos.

"Enggak perlu cari topik pembicaraan. Saya juga enggak mau berbasa-basi. Kamu tunjukkan jalannya."

Sekali lagi Tiana menoleh ke arah atasannya yang sedang memasang seat belt. "Baik, Pak."

Tiana menarik nafas dalam-dalam lalu mulai mengarahkan jalan menuju rumah kos. Selain itu, hingga tiba di sana tidak ada pembicaraan lain. Anehnya Tiana malah merasa semakin canggung.

"Sudah sampai. Kalau besok kamu masih sakit, kabari Siska."

Tiana mengangguk. "Baik, Pak."

Tiana keluar dari mobil, mundur beberapa langkah lantas masuk ke rumah kos setelah mobil Abyan tidak tampak lagi di ujung jalan.

Tiba di kamar, Tiana langsung menghempaskan tubuhnya ke pembaringan.

Langit-langit kamar yang berhiaskan stiker bintang ditatap Tiana. Ia ingat lagi wajah pucat siswa SMA yang dilihatnya keluar dari lift. Ada sesuatu memaksa dirinya untuk terus bertanya siapa dia? Mengapa hatinya begitu sakit menatap wajah itu?

"Kenapa aku begitu, ya?" cicit Tiana. Dering ponsel dalam tas membuat lamunannya buyar. Ia bangkit meraih ponsel. "Halo."

"Lo ada di mana? Ada apa? Lo enggak kenapa-kenapa, 'kan?" cerocos Hesti di ujung sambungan.

"Gue udah di kosan Hes."

"Kosan? Lo balik? Lo kenapa? Sorry, gue baru telpon."

"Enggak tahu," jawabnya kembali menghempaskan diri ke pembaringan.

"Enggak tahu? Gue baru selesai rapat, terus dengar berita ini dan lo cuma bisa bilang enggak tahu?"

"Iya. Sudah ya, gue mau tidur dulu. Nanti gue cerita."

"Beneran Pak Abyan bentak lo di depan lift?" tanya Hesti yang kali ini to the point.

"Kata siapa?"

Terdengar desah kasar di ujung sambungan. "Dari tadi lo enggak jawab semua pertanyaan gue Tiana!"

Tiana mengusap bulir peluh di dahinya. "Nanti gue cerita. Gue agak demam, gue mau tidur dulu."

"Lo sakit?"

"Iya, sepertinya begitu."

"Gara-gara Pak Abyan?"

"Bukan. Pokoknya nanti gue cerita. Sampai ketemu nanti sore, bye."

Tiana memutuskan sambungan lantas menaruh ponsel di bawah bantal. Matanya kembali menatap langit-langit kamar. Wajah pucat siswa SMA yang dilihatnya melintas kembali. Tiana memejamkan erat matanya. Namun, wajah sang siswa masih ada di hadapannya.

"Sialan," cicit Tiana.

***

Tiana masih belum bisa melepaskan diri dari wajah si siswa SMA yang beruntungnya tidak lagi ia temui di kantor. Perasaannya masih belum membaik, apalagi ketika Hesti berkata tidak ada siswa SMA yang sedang magang di kantor.

Entah harus bersyukur atau kembali menyusun surat pengunduran diri karena masalah baru bisa membuatnya sedikit santai menyikapi sikap sinting sang atasan.

"Tiana, kamu yakin sudah enakan? Saya kira kamu enggak masuk hari ini." Tiana menoleh, entah sejak kapan Siska sudah berdiri di sampingnya. "Saya bantu bawa salinan berkasnya, ya?" lanjut Siska meraih beberapa tumpuk dokumen di meja sebelah mesin fotocopy.

"Jangan, Mbak. Berat. Nanti saja saya yang bawa. Maaf, ya, Mbak, kemarin bikin heboh," sesal Tiana merebut kembali tumpukan berkas dari tangan Siska.

"Enggak apa-apa. Cuma, jujur saja, saya penasaran kemarin kamu kenapa."

Tiana menggeleng. "Saya enggak kenapa-kenapa, Mbak. Sepertinya karena kurang tidur saja," jawab Tiana sebisanya karena jujur ia pun tidak tahu mengapa ia bisa seperti itu.

"Yakin?"

"Iya, Mbak."

"Kalau begitu, saya balik ke meja duluan, ya?"

"Iya, Mbak. Saya juga sudah mau selesai."

"Oke."

Melihat punggung Siska yang menjauh, membuat Tiana melupakan niatnya untuk mengundurkan diri. Siska sudah sangat baik dan waktunya di kantor sebelum cuti melahirkan semakin sedikit. Pikirnya kalau ia berulah, kasihan Siska.

Dengung mesin fotocopy berhenti, lembar dokumen terakhir keluar. Tiana meletakkan berkas ke atas meja lantas menyusun lembaran-lembaran di-tray mesin fotocopy sesuai dengan no urut halaman.

Cekatan Tiana memilah lantas menyatukan lembaran menjadi dokumen utuh. Ia tersenyum kala tiga tumpuk berkas sudah tersusun rapi di atas meja.

"Banyak juga, sepertinya harus dua kali balik," gumam Tiana.

"Aku saja yang bawa."

Tanpa perlu menoleh, Tiana jelas tahu siapa pemilik suara empuk itu. Sontak degup jantungnya naik dan rasa menggelitik di perut muncul. Sebelum berbalik, naluri Tiana memaksanya merapikan helai rambut yang padahal tidak berantakan.

"Eh, Satrio, mau fotocopy dokumen juga?" tanya Tiana sembari melengkungkan senyum yang kemudian ia sesalkan karena pasti tampak aneh.

Satrio meletakkan dokumen di rak paling atas sebelah mesin fotocopy lantas mengangguk. "Iya," jawabnya singkat. Namun, membuat Tiana meleleh karena senyum sempurna dilengkungkan Satrio memanaskan logikanya.

"Aku sudah selesai, kok. Silakan," lanjut Tiana mundur selangkah.

Satrio menggaruk belakang kepalanya. "Sudah selesai, ya? Aku kira masih lama, aku telat, ya? Harusnya kita bisa ngobrol lebih lama."

Apalah daya bagi si perawan jomlo yang enggak pernah dengar gombalan dari perjaka. Tiana tahu tampangnya pasti sangat konyol, tetapi ia tidak bisa menahan diri tersenyum-senyum seperti orang gila.

"Kita ... bisa ngobrol lain waktu," balas Tiana ragu.

Binar dalam mata Satrio semakin terpancar. "Wah? Sungguh? Kapan? Pulang kerja nanti bagaimana? Aku tahu tempat makan enak di sekitaran sini, tapi kamu sudah lebih baik, kan? Kemarin kamu pulang duluan, ya? Aku cari kamu, tapi kata Mbak Ika, kamu sudah pulang diantar Pak Abyan."

Tiana diam sejenak, tidak menyangka Satrio bisa bicara sebanyak itu dalam tempo lumayan cepat. "Kamu ... ajak aku pergi nanti pulang kerja?"

Satrio tersenyum lantas mengangguk. "Iya, boleh?"

Meski sadar pasti raut wajahnya memerah. Namun, Tiana tidak bisa berkata apa-apa selain tertawa pelan guna menyembunyikan buncah bahagia diajak nge-date. Kencan pertama dengan lelaki berwajah imut, Satrio Aji.

Tiana mengangguk-angguk. "Iya, boleh. Aku juga enggak ada janji apa-apa nanti sepulang kerja."

"Kita ada rapat bersama Pak Saputra jam lima sore." Imajinasi makan berdua runtuh dalam sekejap mata ketika Satrio bergeser dan wajah Abyan muncul menatap tajam Tiana. "Saya butuh dokumen-dokumen itu. Segera!" lanjut Abyan menunjuk tumpukan dokumen di sebelah Tiana lantas berbalik pergi.

Tiana tidak bisa melepaskan lamunannya buyar begitu saja. "Pak! Tunggu! Bukannya jadwal rapat dengan Pak Saputra besok pagi, Pak?"

Punggung Abyan tampak menegak, ia berbalik lantas mendekati Tiana. Sebelum bicara, ia menatap Tiana dari ujung kepala hingga kaki. "Di mana ponsel kamu?"

Tiana memang benci tatapan intimidasi Abyan, tetapi yang paling ia benci dari si freak ini adalah Abyan bisa bicara tanpa ada nada di dalamnya. Datar dan dingin persis seperti kutub Utara.

"Ponsel saya di meja, Pak," jawab Tiana berusaha memberikan kesan tenang dalam intonasi bicaranya.

Abyan mendekat, hingga Tiana mundur menabrak meja. Lelaki itu mencondongkan wajah tepat di depan wajah Tiana. "Apa Siska enggak pernah bilang kalau ponsel harus selalu dibawa? Saya enggak mau berdebat, saya butuh dokumen-dokumen itu sekarang. Kamu mengerti?"

Tiana mengangguk-angguk tidak mampu bicara bahkan bernafas sampai Abyan pergi dan benar-benar tidak terlihat lagi.

"Kalau kamu sudah ada waktu, kamu bisa kabari aku."

Seutas udara menghampiri Tiana, ia menoleh. Senyum Satrio yang meninggalkan dua lesung pipi di wajahnya membuat perasaan Tiana membaik.

"Maaf."

Satrio tertawa pelan lalu meraih tumpukan dokumen di sebelah Tiana. "Maaf untuk apa? Pekerjaan kamu memang pasti banyak menyita waktu. Bahkan setelah jam kerja berakhir, kamu juga pasti masih harus bersama Pak Abyan. Aku tahu, kok. Enggak apa-apa. Nanti aku chat kamu, ya? Sekarang, sebaiknya kita antar dokumen-dokumen ini."

Senyumannya saja sudah sangat memikat, apalagi tawa renyah dari Satrio. Meski tanpa pelet, jelas Tiana sudah terhipnotis, terlebih ada dugaan kalau Satrio juga 'tertarik' padanya.

"Satrio." Berondong manis incaran Tiana kembali berbalik. "Kamu sudah punya pacar?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top