Part 9
Cerita ini saya publish ulang beberapa bab. Yang dipublish di sini masih bentuk mentahan. Mungkin ada bagian yang ga masuk akal. Semua diperbaiki dalam versi buku termasuk ekstra part.
Oh iya, meski aku publish ulang tetep ga sampai end ya. Versi lengkapnya ada di e book, ya, masih available on playstore.
Selamat Membaca
***
Kinanthi menatap meja makan dengan helaan napas bahagia. Sudah terhidang mie goreng sayuran dan telur mata sapi untuk sarapan, sup jamur sosis, dan ayam goreng sebagai bekal makan siang Bayu. Selama ini Kinanthi selalu melihat mamanya menyiapkan bekal makan siang untuk papanya sebelum berangkat ke kantor. Sementara teh manis hangat sudah siap dalam teko. Aroma harum lemon ikut menyeruak diantara wangi seduhan daun teh.
Selesai salat subuh, Kinanthi sudah mulai berjibaku di dapur untuk memasak. Meski di kulkas, hanya ditemukan beberapa sayuran, jamur, kentang dan sedikit ayam, Kinanthi tak habis akal untuk menyiapkan hidangan lezat untuk suaminya. Bayu hanya meliriknya sekilas ketika akan ke kamar mandi.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bayu turun dengan pakaian rapi, pertanda siap berangkat kerja. Kinanthi sendiri mendapatkan cuti mengajar selama satu minggu.
"Sarapan dulu, Mas Bayu." Kinanthi mengundang Bayu untuk sarapan. Sementara Bayu hanya melirik sekilas ke arah meja makan.
"Aku biasa makan di kantor," sahut Bayu dingin tanpa melihat ke arah Kinanthi.
"Tapi makanannya sudah siap semua," rajuk Kinanthi.
"Kamu bisa membaginya dengan Pak Udin, atau nanti jika Parjo lewat untuk mengambil sampah," saran Bayu acuh tak acuh.
Kinanthi mengejar Bayu, tangannya tak lupa meraih kotak makan yang sudah disiapkan untuk bekal makan siang Bayu. Kinanthi berhadapan dengan Bayu dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Bayu.
"Apa sih yang ada di pikiran gadis ini," gerutu Bayu.
Namun Bayu membalas uluran tangan Kinanthi. Di luar dugaan Bayu, Kinanthi bukan bersalaman tetapi mencium tangan Bayu takzim. Bayu merasakan getaran menjalari tangannya hingga membuat hatinya berdesir halus. Sepanjang dia berhubungan dengan Citra, tak pernah sekalipun Citra mencium tangannya seperti yang dilakukan gadis ini sekarang.
"Kalau begitu ini saja, makan siangnya?" Kinanthi mengulurkan kotak makan berwarna biru laut dengan mimik wajah polos. Manik matanya berbinar memandang Bayu. Sementara Bayu hanya memandang sekilas kotak makan itu.
"Sudah kubilang, aku biasa makan di kantor," sergah Bayu sambil meninggalkan Kinanthi yang memandangnya sedih.
"Oh iya, besok tidak usah repot-repot lagi menyiapkan sarapan dan makan siang seperti ini, karena aku biasa makan di kantor," ungkap Bayu tanpa menoleh sedikitpun.
Kinanthi menghela napasnya sedih. Kerja kerasnya sejak subuh tidak ada artinya. Kinanthi tak tahu mengapa Bayu seolah begitu membeci dirinya. Apa kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Bayu sama sekali tak dipahami oleh Kinanthi.
Kinanthi memakan sepiring mie goreng sayur. Nafsu makannya hilang karena sikap kasar yang dilakukan oleh Bayu tadi. Masih ada sup jamur dan ayam goreng yang cukup banyak dan tak habis jika dimakan sendirian.
Kinanthi mengambil sebuah rantang makanan. Diisinya satu per satu rantang itu dengan nasi, ayam goreng, dan sup jamur. Kinanthi berniat mengantarkannya ke pos depan, untuk diberikan kepada Pak Udin satpam kompleks.
***
"Assalamualaikum." Kinanthi sampai di depan pos penjagaan perumahan.
"Waalaikumsalam." Seorang pria paruh baya keluar dari pos penjagaan. Seperti semalam, wajahnya terlihat ramah dan sabar.
"Maaf, mbak ini siapa? Warga baru ya?" tanya Pak Udin.
"Ah maaf, saya Kinanthi istrinya Pak Bayu yang tinggal di blok B nomor tujuhbelas." Kinanthi memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan rantang berisi makanannya yang dibawanya tadi.
"Wah iya saya lupa kalau Pak Bayu kan kemarin menikah ya, selamat menempuh hidup baru ya Bu. Apa ini?" sambut Pak Udin semringah.
"Cuma sedikit sarapan, Pak," jawab Kinanthi.
"Wah masak sendiri ini, Bu?" tanya Pak Udin yang mendadak memanggilnya dengan sebutan bu.
Kinanthi hanya tersenyum mendengar pertanyaan Pak Udin. Andaikan Pak Udin tahu bahwa itu semua sarapan dan makan siang yang oleh Bayu bahkan dilirik saja tidak.
"Penganten baru itu harusnya sibuknya di kamar, bukan si dapur." Pak Udin mengerling jenaka menggoda Kinanthi.
"Pak Udin, saya pamit dulu ya." Kinanthi berpamitan kembali ke rumahnya sebelum diajak mengobrol lebih panjang lagi oleh Pak Udin.
***
Seharian Kinanthi bosan di rumah sendirian. Biasanya di jam yang sama, Kinanthi masih berkutat dengan laporan perkembangan siswa yang didampinginya atau sibuk mengatasi siswa yang tantrum.
Hari ini hanya dihabiskan oleh Kinanthi dengan menonton televisi, memesan bahan makanan melalui aplikasi lalu memasak rawon sebagai hidangan makan malam. Mau keluar untuk berbelanja juga tidak mengantongi izin dari suaminya. Jangankan mengantongi izin, berbicara saja hanya seperlunya.
Karena bosan, Kinanthi memutuskan merapikan beberapa barang yang berserakan di ruang depan dan lantai atas. Matanya tertuju pada beberapa foto yang terbingkai dan tertata rapi di meja dan partisi ruang kerja Bayu.
Rasa nyeri merayapi relung di hati Kinanthi. "Pernikahan apa yang sedang kujalani ini?" Kinanthi merasakan pilu dalam hatinya. Dirapikannya kertas-kertas yang berserakan di meja kerja Bayu. Foto-foto Bayu bersama keluarga, teman-teman, dan juga Citra tak luput dibersihkan olehnya meski dengan tangan bergetar.
Kinanthi keluar dari ruang kerja Bayu ketika rasa sesak dan perih yang menjalari hatinya sudah tak tertahankan. Mungkin situasi inilah yang dimaksud kakak iparnya kala itu sebagai tak ada jalan untuk kembali ke belakang.
Saat menutup ruang kerja Bayu, Kinanthi tersentak oleh seorang lelaki yang sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan di dalam?!" sergah Bayu.
"Aku a a aku hanya membersihkan ruangan ini," jawab Kinanthi terbata-bata karena gugup.
Dengan kasar Bayu menyeret Kinanthi menuju dapur. Bayu meremas tangan Kinanthi yang hanya pasrah mengikuti kemana Bayu membawanya. Gadis itu merasakan ngilu di pergelangan tangannya.
Bayu menghempas tubuh Kinanthi ke sebuah kursi dapur. Kinanthi hanya bisa terduduk, kepalanya menunduk, dan matanya terasa panas. Butiran bening hampir menyeruak dari sudut matanya ketika Bayu mendekatinya.
Kedua tangan Bayu menekan meja dapur yang ada di belakang Kinanthi. Wajahnya hanya berada beberapa senti dari wajah Kinanthi. Kinanthi hanya merapatkan punggungnya pada sandaran kursi. Bayu mendengus pelan di hadapan Kinanthi. Sesaat mereka hanya saling berpandangan. Kilatan kemarahan di mata Bayu terbaca jelas oleh Kinanthi.
"Lain kali, jangan pernah lagi memasuki ruang kerjaku. Mengerti?!" Bayu menyergah Kinanthi. Sorot matanya masih menampakkan kemarahan. Kinanthi hanya bisa mengangguk dengan wajah ketakutan.
Bendungan yang sekuat tenaga dibangun oleh Kinanthi seketika jebol setelah mendapatkan perlakuan dari Bayu saat ini. Matanya hanya bisa memandang pilu ke arah Bayu. Kinanthi menangis tanpa suara. Hanya air mata yang menganak sungai di pipinya itu sudah cukup mewakili untuk memberikan informasi bahwa dirinya sedang bersedih.
"Ya Allah lelaki seperti apa yang telah kunikahi ini," keluh Kinanthi dalam hati.
Bayu tersadar kemudian menjauhi Kinanthi. Beberapa detik Bayu berdiri dengan tatapan kosong. Di hadapannya ada seorang gadis sedang tergugu karena ulahnya. Tanpa kata, Bayu berlalu menuju kamarnya.
***
Di dalam kamar, Bayu menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur.Kedua tangan Bayu meremas kepalanya. Bayu mengutuk dirinya atas apa yang ia lakukan tanpa sadar tadi. Emosinya memuncak ketika mendapati gadis itu lancang memasuki ruang kerjanya.
"Keterlaluan kau Bay, keterlaluan. Harusnya kamu bisa menegurnya dengan baik bukan memarahinya hingga menangis seperti tadi," rutuk Bayu pada dirinya sendiri.
Satu-satunya kesalahan yang dibuat gadis itu adalah menyetujui ide konyol kakak iparnya. Harusnya dia bisa menolaknya. Jika tak ada mempelai pengganti, pasti pernikahan ini tidak akan terjadi. Meskipun harus membuat kedua orangtuanya malu dengan pembatalan acara pernikahannya.
Namun Bayu menyadari jika tak seharusnya ia bersikap seperti tadi. Bayu bangkit dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi. Didapati rumahnya sepi. Kamar Kinanthi yang berada di sebelah kamarnya juga sunyi. Sedangkan di dapur juga tak terlihat ada aktivitas.
"Kemana gadis itu?" tanya Bayu dalam hati.
Bayu menyadari kesalahan yang telah ia lakukan tadi dan bermaksud meminta maaf atas sikapnya. Bagaimanapun juga gadis itu tak bersalah dan tak layak diperlakukan seperti tadi. Tetapi Bayu terlalu gengsi jika harus mengetuk pintu kamar Kinanthi.
Bayu masuk kamar mandi sekedar ingin menyegarkan tubuh yang penat. Rasa lelah dan tekanan pikiran membuatnya mudah terpancing emosi. "Mungkin aku bisa meminta maaf jika bertemu dengannya besok." Bayu menggumam sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Ketika keluar dari kamar mandi, Bayu terperanjat ketika Kinanthi sudah sibuk kembali di dapur. "Oh sudah selesai mandinya? Kita makan dulu, Mas." Kinanthi mengundang Bayu makan malam dengan wajah semringah. Meski masih ada sisa sembap di matanya, namun wajah gadis itu kembali ceria seperti biasa ia lihat sejak kemarin.
"Ah iya baik, aku .... " jawab Bayu terbata.
"Sini aku yang menjemurkan handukmu," ucap Kinanthi tanpa menunggu persetujuan Bayu sudah mengambil handuk dari tangan Bayu.
Tak dipungkiri aroma rawon yang terhidang di meja makan begitu menggodanya. Lambungnya sudah berontak minta diisi karena sejak siang tak ada makanan apapun yang mampir di perutnya.
"Aku membuat rawon, kamu suka?" tanya Kinanthi mengagetkan Bayu.
Di meja sudah terhidang semangkuk kuah berwarna hitam pekat namun aromanya sungguh menggoda. Bayu juga melirik beberapa piring di sebelah mangkuk itu, ada perkedel kentang, empal, dan juga sambal.
Dengan patuh Bayu mengikuti Kinanthi dan duduk di salah satu kursi makan. Bayu juga menerima piring berisi nasi, empal yang telah disuwir, dan taburan bawang merah goreng serta taoge.
"Mau pakai sambal, Mas?" tanya Kinanthi.
Bayu kembali mengangguk. Aroma rawon bagai menghipnotis dirinya. Sikap berapi-api yang ditunjukkannya tadi seolah tersiram oleh kehangatan sikap Kinanthi yang melayaninya dengan baik.
Bayu menyuapkan satu sendok rawon itu ke dalam mulutnya. Aromanya begitu menyihir dirinya. Lidahnya menari kala rawon itu menyentuh indra pengecapnya. Ini rawon terenak yang pernah ia nikmati. Bahkan restoran favoritnya bersama Citra yang menurutnya menghidangkan rawon terenak, masih kalah dengan masakan Kinanthi ini.
"Gimana Mas, enak?" tanya Kinanthi.
"He em ini rawon terenak yang pernah kurasakan," jawab Bayu bersemangat. Suasana menjadi cair kala mereka menikmati hidangan bersama.
"Maafkan aku," kata Bayu tiba-tiba.
"Maaf? Untuk apa?"
"Maafkan aku," ulang Bayu.
Kinanthi masih tak percaya dengan apa yang telah didengarnya. Lelaki seperti Bayu bersedia meminta maaf. Jelas ini hal yang sangat langka.
"Aku yang salah, Mas. Harusnya aku tidak lancang masuk-masuk ke wilayah pribadimu tanpa bertanya lebih dulu."
"Tetapi tak seharusnya aku bereaksi berlebihan seperti tadi," ucap Bayu.
"Sudahlah Mas, sudah berlalu. Yang penting sekarang kita nikmati makan malam ini," ujar Kinanthi tersenyum bahagia.
Makan malam pertama mereka berjalan mulus. Mama Kinanthi sering berkata taklukkan pria melalui perutnya sepertinya memang benar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top