Part 5
Masih betah nongkrong di sini?
Semoga ga mengecewakan, ya. Cerita ini kira-kira bakal dipublish sekitar 20 an part saja karena sudah terbit. Kalau mau versi lengkap atau ga sabar baca kelanjutannya, bisa beli e book nya yang masih tersedia di playstore.
***Selamat Membaca***
***
Kinanthi menggandeng Reno keluar dari kelasnya. Bocah berusia delapan tahun itu nampak sangat dekat dengan Kinanthi. Sudah tiga bulan Kinanthi menemaninya di kelas sebagai shadow teacher atau guru pendamping. Reno merupakan siswa yang mengalami Sindrom Asperger, kemampuan komunikasinya tetapi ia sangat pemalu dan introvert. Hanya Kinanthi yang mampu meluluhkannya hingga mau masuk kelas di hari pertamanya di sekolah itu.
Seperti biasa, Kinanthi mengantarkan Reno menuju ke halaman dimana ia dijemput oleh sopir pribadi ayahnya. Reno akan berpamitan, mencium tangan Kinanthi dan mengatakan beberapa patah kata yang sangat baku sebagai salah satu cirinya.
"Ibu, saya akan pulang dahulu," ujar Reno berpamitan.
Kinanthi tersenyum sambil mengangguk, tangan kirinya mengelus lembut kepala bocah itu sementara tangan kanannya bersalaman dengan Reno. Ada geletar kebahagiaan tersendiri kala bersama anak-anak yang selalu polos.
Kinanthi kembali menuju ke Ruang Guru untuk menyelesaikan laporan pekerjaannya. Kinanthi mengucek matanya saat melihat sesosok wanita yang duduk di ruang tamu. Dia sangat mengenali sosok itu.
"Mbak Hanum." Kinanthi memekik tak percaya mendapati kakak angkatnya datang ke sekolahnya.
"Hai Dek, apa kabar?" tanya Hanum.
"Baik. Mbak Hanum ada perlu apa kesini? Kenapa tidak ngabari dulu atau biar aku yang datang ke rumah?" Kinanthi memberondong Hanum dengan banyak pertanyaan.
Hanum hanya tersenyum seraya memeluk adik tersayangnya itu. Adik angkat yang delapan tahun sebelumnya dibawa oleh kedua orangtuanya. Adik yang menurutnya merupakan jawaban dari keinginannya memiliki seorang adik perempuan.
"Jam berapa kamu bisa pulang? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
"Sekarang bisa, wait tunggu sebentar yak." Kinanthi segera bergegas menuju meja kerjanya dan membereskan beberapa file pekerjaannya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia akan menyelesaikan pekerjaannya di rumah.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Kinanthi dengan ceria.
Jantung Hanum seolah berkejaran dengan langkah demi langkah mereka. Beberapa kali Hanum menatap wajah Kinanthi yang nampak tersenyum bahagia.
"Kamu begitu bahagia bertemu denganku, tapi apa yang akan aku katakan ini apa akan tetap membuatmu bahagia?" Hanum berkata dalam hati.
Langkah demi langkah kakinya semakin berat berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Hanum memarkir mobilnya di sebelah pos keamanan sekolah. Artinya mereka butuh berjalan beberapa langkah menuju ke mobil. Namun bagi Hanum rasanya bagai berjalan menempuh ribuan kilometer. Semakin lama kakinya semakin berat berjalan.
"Mbak Hanum baik-baik saja?" tanya Kinanthi yang khawatir melihat wajah Hanum sedikit pias.
"Kita ke warung mie langganan?" Kinanti bertanya ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Hanum hanya menggeleng.
Setelah mobilnya melaju menjauhi sekolah tempat Kinanthi mengajar, Hanum baru mulai bisa mengendalikan dirinya. Namun jantungnya masih terus berpacu. Semakin cepat berbanding lurus dengan kecepatan mobilnya.
"Kita ke tempat yang lebih private ya, Dek?" tanya Hanum kemudian.
"He em," jawab Kinanthi.
Mata Kinanthi melirik ke arah Hanum tak nampak tegang di belakang kemudi mobilnya. "Mbak Hanum baik-baik saja?" Kinanthi kembali menanyakan hal yang sama seperti ketika mereka masih berada di halaman sekolah.
Hanum hanya mengangguk. Matanya masih lekat menatap jalanan di depannya. Jemarinya kuat mencengkeram kemudi di hadapannya. Kinanthi tahu bahwa Hanum sedang cemas. Tetapi Kinanthi memilih menunggu sampai di tujuan untuk menanyakannya.
***
Mereka berdua sampai di sebuah rumah makan di pinggiran kota. Hembusan angin dari bambu kuning yang ditanam di pintu masuk tadi membawa udara yang sejuk. Cukup menyejukkan hati Hanum yang sedang bimbang untuk melanjutkan rencana kedua mertuanya atau tidak.
Mereka berdua sudah duduk di sebuah joglo lesehan rumah makan Jawa itu. Hanum dan Kinanthi memilih beberapa menu. Sebenarnya lambung Kinanthi sudah memberontak meminta jatah untuk diisi. Tetapi ketika melihat Hanum yang hanya memesan jus jeruk, ia mengurungkan niatnya memesan bothok jeroan dan ayam panggang kesukaannya.
Beberapa kali Hanum hanya bisa menarik napasnya. Lidahnya tercekat untuk mengatakannya kepada adiknya.
"Kinanthi memang baik untuk Bayu, tetapi Bayu belum tentu bisa menjadi suami yang baik untuk Kinanthi," ucap Bandi tadi malam setelah kedua orangtuanya kembali ke rumah utama.
Semalaman Hanum tak bisa tidur memikirkan perkataan suaminya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, ia sudah menyanggupi untuk meminta Kinanthi menjadi mempelai pengganti untuk Bayu.
"Hhmm." Hanum hanya bisa berdehem.
"Ada masalah apa sih Mbak? Aku lihat Mbak Hanum tidak seperti biasanya." Kinanthi meremas lembut telapak tangan Hanum yang terasa dingin. Kinanthi sadar, kakaknya itu pasti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat.
"Begini, kamu ingat Bayu? Adik iparku." tanya Hanum.
Kinanthi mengangguk perlahan. Lelaki tinggi dengan badan cukup atletis yang ia temui saat acara resepsi pernikahan Hanum tiga tahun lalu. Lelaki tampan yang menggandeng seorang gadis cantik yang wajahnya sering muncul di televisi.
"Harusnya dia menikah minggu depan," ujar Hanum lesu.
"Harusnya?" tanya Kinanthi bingung.
"Iya harusnya. Jika tunangannya tidak memilih pergi ke luar negeri mengejar karirnya." Hanum menarik napas panjang lagi.
"Lalu?" Kinanthi kembali bertanya karena bingung. Dia tahu pasti ini menjadi pukulan bagi keluarga mereka.
"Terlalu banyak yang harus kami tanggung jika pernikahan ini sampai gagal," keluh Hanum.
"Ada seribu undangan yang telah sampai ke penerimanya, belum lagi gedung, catering dan semuanya. Ayah dan Ibu mertuaku tak tahan jika harus menanggung malu putranya ditinggalkan begitu saja oleh calon istrinya." Hanum menambahkan ceritanya. Kinanthi hanya bisa mendengarkannya khidmat.
Tiba-tiba Hanum meraih tangan Kinanthi. "Dek, maukah kamu menjadi mempelai pengganti untuk Bayu?" Nada suara Hanum bergetar saat menanyakan hal tersebut.
Jus jeruk yang berada di mulutnya mendadak berpindah haluan masuk ke tenggorokannya. Kinanthi terbatuk-batuk setelah mendengar permintaan kakaknya.
"Maksud Mbak Hanum bagaimana?" tanya Kinanthi setelah berhasil mengatur napasnya.
"Aku tahu ini adalah ide yang konyol, tapi aku mohon tolonglah kami." Hanum memelas memohon kepada Kinanthi.
Kinanthi terdiam menunduk mengaduk-aduk jus jeruknya menggunakan sedotan. Entah mengapa jus jeruk itu tak menarik lagi. Perutnya yang tadinya kelaparan juga mendadak kenyang. Kalimat Hanum tadi sepertinya tak hanya masuk ke telinganya tetapi memacu asam lambungnya naik dan membuat perutnya penuh.
Hanum dan Kinanthi sama-sama diam. Terpekur memandang gelas masing-masing, bersama dengan pikiran masing-masing. Hanum pasrah jika adiknya marah kepadanya dan menolak permintaannya. Sedangkan Kinanthi merasa bagai berada di tengah lautan terombang-ambing oleh ombak yang bisa membawanya kemana saja.
Jodoh kadang datang tanpa permisi dan tak bisa dipilih. Tetapi menjadi mempelai pengganti, bahkan didengar saja sudah tidak nyaman. Apalagi di usianya yang ke duapuluhtiga dirinya belum memikirkan untuk berumah tangga.
"Aku pikirkan dulu, Mbak." Kinanthi akhirnya membuka suaranya. Nada suaranya terdengar lesu.
"Pernikahannya tujuh hari lagi. Aku tahu ini terlalu mendadak untukmu. Tapi anggaplah ini sebagai permintaan tolong seorang kakak kepada adiknya." Hanum memohon.
Kinanthi mengangguk, tanpa kata ia mengambil tas nya dan beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya gontai. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang tadi dibicarakannya bersama Hanum. Namun hatinya berusaha menolak percaya atas apa yang telah dikatakan Hanum.
"Kita pulang?" tanya Hanum singkat.
Kinanthi hanya mengangguk. Saat ini yang ingin ia lakukan hanya pulang dan menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Ia tidak mau sampai gegabah dalam mengambil keputusan.
*****
Malam itu Kinanthi masih tak bisa memejamkan matanya. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Sudah dini hari, namun otak Kinanthi masih penuh berisi kata-kata Hanum tadi siang.
Ada banyak alasan bagi Kinanthi untuk menolak permintaan Hanum. Pertama dirinya belum siap menikah, kedua Kinanthi tak yakin Bayu mengenal baik dirinya, bagaimana mungkin mereka menikah jika tak saling mengenal dengan baik. Dan alasan lain sebenarnya ada asa terpendam kepada Prastyo, kakak angkatnya.
Namun dibalik semua alasan penolakan itu, ada satu hal yang membuatnya tak bisa benar-benar menolak permintaan Hanum. Kasih sayang dan kebaikan keluarga Bimantara terutama Hanum selama ini. Mereka memberikan rumah dan keluarga bahkan membayar hutang-hutang almarhum ayahnya.
Masih terbayang jelas di pelupuk mata) Kinanthi, bagaimana wajah sendu Hanum yang meminta pertolongannya. Sekarang Kinanthi benar-benar mengalami pergolakan bathin antara menerima permintaan Hanum atau menolaknya.
"Salatlah, Nduk. Jika kamu dalam kebimbangan, biarlah Allah yang menuntunmu menemukan jalan terbaik." Kinanti teringat pesan ayahnya. Meski hanya limabelas tahun ia menjalani kehidupan bersama almarhum ayahnya, namun banyak pelajaran yang ia dapatkan dari sosok ayahnya yang tangguh.
Kinanthi beranjak mengambil wudu dan segera memakai mukenanya. Dilaksanakan salat sebanyak dua rakaat kemudian dilanjutkannya dengan doa meminta diberikan kemantapan dalam menentukan pilihannya.
Seusai salat, hati Kinanthi terasa agak ringan. Tiba-tiba matanya terasa berat. Rasa kantuk yang sejak tadi tak juga datang, tiba-tiba menghampirinya. Kinanthi memejamkan matanya sambil masih memeluk mukena.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top