Memories

Mata membuka secara perlahan, dunia mulai memperlihatkan cahaya penerang, pemuda itu tersenyum sembari memperhatikan lekuk wajah sang kekasih, memberi candu begitu dalam hati. Jemari mengelus lembut pipi lelaki bersurai putih, pikiran menerawang, bertanya apa Tuhan mengijinkan kisah cinta yang tak mengikuti cara kerja magnet. Jenis mereka sama, mengartikan bahwa dunia akan menolak, tetapi hati terlanjur ingin meminta bersama. Ia bangkit dari tidur, mencoba bergerak tanpa suara agar Satoru tidak terbangun. Mengulas senyum lalu berlalu pergi.

Manik biru laut tersebut mulai menampakkan diri, dari tidur ke samping berubah lurus ke atas. Lengan ia letakkan pada mata seperti tak mengijinkan dunia melihat keindahan ciptaan Tuhan satu ini. Pemuda itu ingat, tentang kisah tragis pada masa lalu. Tentang dirinya yang membunuh sang kekasih kala itu, ia mencengkeram baju dengan kuat. Ikut menyalurkan rasa sesak pada tubuh. Hati berteriak meminta maaf setiap hari, berharap akan tersalur pada Geto Suguru. Padahal mereka telah hidup kembali. Padahal … Satoru ingin membuat cerita manis seperti yang ia inginkan. Bukan hal seperti ini.

Kenapa … ia harus mengingat semuanya? Satoru mengingat tetapi dia tidak.

Pemuda jangkung itu ingin lepas dari jeratan masa lalu, tetapi ingatan seakan mengajak ia menyiksa diri sendiri. Ia bertanya pada Tuhan, akankah Suguru mengingat juga? Pemuda itu tak mau hal seperti itu terjadi, dia tak ingin berpisah untuk kedua kalinya.

Ia bangkit dari tempat tidur, menuju ke toilet untuk membasuh muka. Setelah selesai ia kembali menuju ke arah kamar. Tangannya mengarah ke meja, mengambil catatan kecil yang berada di sana sejak tadi. Melihat tulisan yang mengatakan Suguru sedang keluar sebentar.

❅❆❅

Tubuh bersandar pada pagar besi, meratapi kenyataan tentang mimpi yang melewati hamparan luasnya memori. Mimpi yang berbaris paling depan, membiarkan luka menyayat seluruh hati. Bagaimanapun Suguru menolak kenyataan ia akan selalu merasa tertampar, menanyakan pada Tuhan kenapa dirinya harus mengingat semua ini. Ia tak ingin membenci lelaki yang sedang menjalin kasih dengannya, tapi ingatan tak mau bersahabat sama sekali. Dia tidak pernah berniat jatuh dalam relung masa lalu tapi ia seakan harus terduduk di sana. Suguru ingin tahu apa sang kekasih juga merasakan hal yang sama? Apa dia ingat semuanya? Jika memang ingat kenapa Satoru tak bercerita, bukankah mereka sudah saling berjanji? Selalu bercerita apapun yang terjadi ataupun segala hal yang mereka rasakan.

Sukuna yang sejak tadi diam di samping sang pemuda bersurai hitam tak mau menyahut banyak kala Suguru bertanya. Pemuda jangkung itu hanya menyahut ya atau tidak setiap kali Suguru bertanya. Ia juga menyimpan bebannya sendiri, pemuda tak beradab ketika di masa lalu tersebut juga mempunyai rasa takut. Dia takut jikalau saudara kembarnya tahu akan kebenaran masa lalu, kemudian membenci kakaknya sendiri. Yuuji Itadori sudah banyak terluka di masa lampau, biarkan dia kali ini merasakan kebahagian yang ia impikan sejak lama.

"Begitu miris 'kan? Padahal, dulu kita adalah orang yang memberi luka. Tetapi, sekarang malah kita yang terluka." Sukuna membuka suara, menyesap kopi kaleng yang ia beli tadi. Suguru terkekeh, membalas tuturan pemuda di sampingnya itu. Memperhatikan bulan yang tak membulat sempurna, layaknya hati yang tidak lagi membentuk dengan utuh. Telah rapuh lantaran terkikis masa lalu.

Seharian ini Suguru tak pulang, ia butuh penenang diri. Bukan alkohol, pemuda itu hanya perlu melihat indahnya bumi untuk menyejukkan hati yang masih rapuh tanpa penyembuh sempurna. Suara air yang memukul dinding seakan memanjakan telinga kedua manusia penuh luka tersebut, membiarkan mereka saling menyimak irama yang terbentuk asal. Dinginnya malam tak menjadi pemicu agar diri beranjak dari sana, pergi pulang untuk menghangatkan tubuh.

Ia begitu takut, dirinya terlanjur terjerat oleh rantai pengikat kenyataan. Dia tak mau berpisah dengan Satoru Gojo, tapi hati sudah terlanjur letih memendam duri tajam pemberi luka. Bisakah malam ini Suguru Geto mengakhiri segala luka?

❅❆❅

Pemuda berumur 17 tahun itu menerawang ke atas langit, memanjakan otak dengan ingatan waktu dulu. Ia ingat bahwa diri telah lama jatuh dalam jalan yang salah, mencintai seseorang tak seperti hukum alam membuat dia harus berpikir berulang kali. Suguru dan sang kekasih sudah tinggal bersama sejak awal masuk SMA, keadaan orang tua yang sama-sama sibuk membuat diri merasa bebas untuk melakukan segala hal. Seperti tinggal terpisah dan memilih berdiam dengan orang lain dan inilah yang terjadi. Ia tinggal dengan Satoru, saling bergantian mengurus diri, belajar mandiri dalam ikatan kenyataan bahwa magnet berkutub sama akan tolak-menolak. Dia benci dengan kenyataan ini, tapi hati terlanjur tak bisa berlari pergi.

Suguru berhenti melangkah kala netra bertemu dengan manik sebiru laut, lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya itu tengah bersandar pada pintu. Mungkin menunggu ia pulang.

Mulutnya terasa keluh, takut untuk sekedar bertanya, "Kenapa?" Suguru berucap lirih. Satoru tahu, sekarang dia tak terlihat seperti dirinya yang biasa, selalu berisik dan tak bisa serius kecuali dalam situasi tertentu dan sekarang ia telah memasuki mode serius.

"Bukankah aku yang seharusnya bertanya?" Bukannya membalas pemuda bersurai seputih salju malah bertanya balik. Dalam hati Satoru begitu takut, tak ingin apa yang dia pikirkan akhir-akhir ini terjadi. Dia tak mau Suguru pergi hanya karena duri ingatan masa lalu. Sangat, ia sungguh tak ingin segala seperti itu terjadi. Lelaki jangkung tersebut hanya ingin dirinya saja yang menyimpan luka, sudah cukup Suguru merasakan sakitnya ketika di masa lalu. Walaupun kenyataan tentang diri yang lebih merasakan sakit terlalu menampar diri, kadang membuat Satoru ingin berhenti berjuang. Tapi dia terlanjur terikat, tak ingin melepas sedetik saja.

Satoru menghela napas, "Sepertinya kau pulang terlalu malam, Suguru."

Suguru tahu bahwa ia sedang ditekan sekarang, agar tak berdusta melalui kata. Tapi, apa boleh sekali saja mengelak sebuah tamparan kebenaran?

"Aku hanya—."

"Jangan berbohong!" Ia berteriak, kepala tertunduk, mencoba menahan sesaknya dada. Saraf otak seakan tak berfungsi dengan lancar, terbukti dengan napas yang begitu sulit diatur. Membuat diri mengingat bibir, menyalurkan rasa sakit pada bagian lain. Jangan pada perasaan, ia sudah cukup lelah merasakan banyaknya beban di bagian sana. Sekali saja Satoru ingin memohon, janganlah buat pikiran negatif yang selalu berkelana dalam relung memori menjadi nyata.

Pemuda bersurai hitam itu mencoba bermimik senetral mungkin, ingin berdusta tapi bibir terlalu berat untuk mengucap.

"Aku tahu, mungkin kau juga tahu."

Ahh … siapapun itu … tolong biarkan Satoru mencoba mencerna segalanya. Apa ini akan benar-benar berakhir?

Ia mengangkat kepalanya, membiarkan netra saling bertemu, bercengkerama bersama sunyinya malam. Mengepal tangannya begitu erat, tak peduli dengan segala rasa sakit yang tersalur begitu saja.

Jemari mencengkeram bahu Suguru erat, membiarkan sang kekasih merasakan apa yang dia rasakan.

"Kau … ingin pergi? Bukankah … kau sudah berjanji padaku!"

Air yang terasa asin keluar dari mata, menandakan bahwa segala yang tertahan telah mencapai batas akhir.

"Aku memang berjanji tentang kita yang akan terus bersama. Tapi … apa kau tidak lelah, Satoru?"

"Tidak!"

Suguru melebarkan tangannya, bergerak membentuk sebuah pelukan. Tangan kirinya bergerak ke arah surai putih sang kekasih, mengelus lembut lalu ia baringkan pada bahunya. Membiarkan Satoru menangis bersama sunyinya malam, menyisakan suara tangir menjadi nada pada malam hari.

"Aku akan pergi, jadi mohon lepas segalanya."

Satoru tak menyahut, ia terus menangis dalam pelukan sang pemuda. Hati keduanya rapuh, mungkin akan semakin parah jika mereka terus bersama.

Sejak 4 bulan terakhir Suguru telah menyimpan segala luka, terlalu menyayat hingga diri memilih berhenti. Lalu … bagaimana dengan Satoru? Mungkin dia lebih merasa sakit dibanding sang pemuda. Karena itu pula dia lebih memilih kembali ke jalan yang memang harus ia tempuh.

Sejak awal memang tak ada takdir mereka yang saling mengikat. Jika dibilang ingin memuaskan nafsu birahi itu seperti tak mungkin, mereka tidak pernah saling menyentuh lebih. Hanya berciuman, itupun hanya sekali, ciuman sekilas yang berhasil menyalurkan rasa manis sementara.

"Aku tidak ingin kita saling menyakiti tanpa berniat menyakiti, jadi … ayo berpisah. Demi aku dan kau. Walaupun tak rela melepas kita harus tetap melepas. Kenyataan memang terlalu menyayat, karena itu pula kita harus mengakhiri. Ayo hentikan kisah cinta tanpa restu ini, kemudian mencari sesuatu pelepas lara hati. Kita berteman bukan saling mencinta, Satoru. Sampai jumpa besok, dengan awal baru."

Sunyi malam menemani kebisuan yang ada, menyisakan tangisan dan senyuman. Sikap netral yang ada membuat mimik tak menunjukkan luka walau terluka. Sekarang kisah kasih berakhir, mencari jalan kisah baru. Awal akan bertemu akhir dan inilah akhir yang kita punya, Satoru Gojo.

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top