Memories of Yesterday
Luna mendorong pintu kamar di depannya dengan hati-hati. Ia takut menimbulkan suara, karena melihat sang ayah yang sudah pulas tidur di ruang kerjanya. Luna kembali berjalan mengendap-endap menuju rak buku paling besar. Ayahnya memiliki tiga rak buku di ruang kerjanya, dua di antaranya rak berukuran standar dan satunya lagi lebih besar dari keduanya. Di rak buku besar, Luna bisa melihat banyak pilihan buku, mulai dari buku teknologi, kedokteran, pangan, sampai buku yang berhubungan dengan tanaman.
Ayahnya begitu menyukai buku sampai akhirnya memiliki banyak koleksi seperti sekarang ini, dan hobi itu ternyata menurun kepada Luna. Alasan Luna harus masuk ke ruang kerja ayahnya secara diam-diam, karena ia ingin bisa bebas memilih buku apa pun yang ada di dalam sana. Kalau ayahnya bangun, ia bahkan tidak diizinkan menginjak ruangan ini. Ayahnya memang tidak pelit ketika meminjamkan buku apa pun yang diminta sang putri, tetapi entah kenapa ia tidak pernah diberi izin masuk ke dalam ruang kerja sang ayah.
“Kenapa aku tidak pernah boleh masuk ke ruang kerja Ayah?”
“Karena kau pasti akan mengambil semua buku Ayah, Sayang.”
“Aku tidak seserakah itu, Ayah. Aku hanya ingin puas berkeliling di ruang kerja Ayah dengan pemandangan buku yang melimpah.”
“Katakan saja buku apa yang ingin kau baca! Nanti akan Ayah bawakan semua untukmu.” Luna memberengut, tetapi tidak bisa membantah ucapan ayahnya. Ia tidak ingin menjadi anak yang nakal di mata ayahnya tentu saja. Namun, rasa penasarannya kali ini sudah membuncah. Rasanya sulit sekali untuk dihentikan agar ia bisa tidur nyenyak malam ini.
Luna berhenti di deretan buku-buku bertema tumbuh-tumbuhan. Ia selalu penasaran dengan proses tumbuhnya sebuah tanaman terutama pada bunga. Ia bahkan sudah menanam beberapa bunga favorit di taman kecil di rumahnya sebagai bentuk rasa sukanya selama ini. Luna kemudian memandang ke arah sofa di mana sang ayah sedang berbaring. Lantas ia waspada saat memperhatikan ayahnya tiba-tiba bergerak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia lalu berjalan ke belakang rak buku demi mencari tempat nyaman untuk membaca. Namun, sebuah buku besar mengalihkan perhatiannya. Barangkali buku bersampul hitam itu lebih menarik di bandingkan buku yang ada di tangannya.
Lantas, Luna meraih buku berukuran besar itu dengan hati-hati. Namun karena terlalu besar, tangannya tidak cukup kuat untuk meraihnya dengan satu tangan. Luna berniat mengambilnya dengan bantuan tambahan tangan kirinya. Ia lalu melepaskan buku itu. Rak buku di depannya terbelah menjadi dua. Luna terkejut. Apakah ini alasan sang ayah menyembunyikan “isi” ruang kerjanya.
Luna berjalan masuk saat rak buku terbuka lebar. Ia sama sekali tidak mengenal tempat ini. Ia seperti sedang bertualang di negeri dongeng. Semuanya terasa seperti mimpi. Apa mungkin saat ini Luna sedang bermimpi. Luna mencubit pipinya dengan tangannya sendiri dan merasakan sakit. Ia mengaduh. Artinya, ia sedang tidak bermimpi bukan?!
“Kau belum siap, Sayang?” pertanyaan dari seseorang di belakangnya membuat Luna terlonjak dari tempatnya berdiri. “Kenapa wajahmu seperti kebingungan melihat ayahmu sendiri?”
“Ayah?”
“Benar. Dan sekarang ayahmu ini sedang menunggu anaknya yang tak kunjung selesai berdandan padahal acara kami sebentar lagi akan dimulai.”
“Acara apa?”
“Kau ingin bercanda dengan Ayah rupanya, tapi sayangnya kali ini kau harus serius, Sayang. Beberapa tamu kita sudah hadir dan sedang menunggumu. Ibumu juga sudah mencarimu sejak tadi. Ayah harap kau segera merias diri untuk menjadi wanita tercantik di malam anniversary pernikahan Ayah dan Ibu.”
Luna membeku di tempatnya berdiri, bahkan ketika lelaki yang mengaku sebagai ayahnya sudah meninggalkannya sendiri. Perempuan itu lalu memandang ke sekeliling ruangan mencari beberapa bukti bahwa ia memang adalah anak dari lelaki itu.
Sepasang matanya berhenti tepat di depan foto keluarga yang ketiga objeknya tengah tersenyum bahagia dengan latar di taman bunga. Ya, itu foto dirinya bersama dengan ayah dan ibunya. Luna bahkan mengingat waktu pengambilan gambar tersebut yakni saat dirinya baru lulus SD.
Usai berganti baju dan berdandan dengan kemampuan amatirnya, Luna berkeliling di tempat acara, masih di kawasan rumahnya. Sepertinya lelaki yang mengaku sebagai ayahnya merupakan orang yang memiliki banyak uang. lihat saja rumahnya mewah sekali. Luna berdecak sambil terkagum-kagum mengamati bangunan di sekitarnya. Nuansa pesta yang meriah dihiasi lampu-lampu indah serta bunga-bunga cantik yang tentu saja kalah cantik dibandingkan toko bunganya di rumah menambah gemerlap suasana pesta malam ini.
“Luna, Ibu menunggumu dari tadi. Kenapa kalung yang ibu berikan tidak dipakai, Sayang?”
“Anu, itu …” Luna memandang perempuan di depannya tanpa bicara. Ia seakan terpana dengan kecantikan alami yang terpancar dari cara bicara perempuan itu. Jadi, ia benar-benar bisa bertemu dengan ayah dan ibunya saat masih muda seperti ini.
“Ya sudah, tidak apa. Sekarang kau ikut Ibu, ya. Ibu kenalkan dengan beberapa teman Ibu. Mereka sudah sering menanyakanmu, tapi karena kau terlalu sibuk sekolah dan sulit ditemui jadi sekarang waktu yang tepat.”
Luna berjalan beriringan dengan sang ibu. Rasa hangat mendesir di hatinya ketika melihat sang ibu tersenyum saat menggandeng tangannys lembut. Luna berkenalan dengan beberapa teman ibu dan anak yang mereka bawa. Kebanyakan usianya di atasnya. Ia bisa langsung berbaur ketika diajak berbincang tentang beberapa hal menarik. Namun, kehangatan itu tak berselang lama saat penerangan tiba-tiba padam.
Luna mencari sosok ibu dan ayahnya, tetapi karena penerangan yang minim ia hanya bisa berdiam diri. Ia harap, penerangan akan segera menyala. Luna berjalan mundur hingga punggungnya bertemu dengan tembok. Ia mendengar orang-orang mulai berteriak memanggil nama keluarganya masing-masing. Luna kebingungan dan berniat memanggil ayah dan ibunya juga, tetapi tiba-tiba mulutnya dibekap seseorang dari belakang. Setelah itu, ia kehilangan kesadaran.
Luna bergerak gelisah. Matanya perlahan terbuka. Udara dingin terasa menusuk sampai kulitnya.
“Lepaskan anak dan istriku!” Teriakan ayahnya seketika menyadarkan Luna kembali. Ia melihat ke sekeliling. Mereka sedang berada di jalan raya. Jalanan yang sepi membuat suasana di sana makin mencekam. ditambah orang-orang bertopeng dengan pakaian serbahitam mendominasi ibu, ayah, dan dirinya. Luna melihat ibunya menangis tersedu-sedu dengan tangan yang diikat. Luna pun demikian. Sementara ayahnya terlihat marah di hadapan seorang lelaki yang tengah membawa senjata api.
“Sebenarnya, apa yang kau mau, Remi!” Luna mendengarkan ayahnya bicara sambil merasa gelisah dan takut. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka melakukan ini kepada keluarganya?
“Cepat, tanda tangan ini!” Lelaki yang disebut ayah dengan nama Remi itu menyodorkan sebuah kertas kepadanya. Ayah memperhatikan tulisan di sana dengan wajah serius bercampur amarah.
“Tidak akan,” ujar ayah tegas. "Kalau saja aku tahu kau bermuka dua, tidak akan kujadikan kau orang kepercayaanku."
Luna melihat orang bernama Remi itu tertawa lalu berkata, "Sejak dulu, kau memang paling payah dalam hal menilai orang."
Setelah mendapatkan arahan, tiba-tiba Luna dan ibunya diseret menuju ke sebuah mobil. Luna ikut menangis ketika melihat ibunya mengamuk. Sementara sang ayah berusaha melawan, tetapi satu letusan melesat ke kakinya membuat ibu menjerit. Tubuh Luna mendadak gemetar. Saat satu peluru hendak menembus kaki ayah lagi, ibu memberontak dengan sekuat tenaga hingga bisa berlari menubruk tubuh ayah tanpa rasa takut. Pada akhirnya, besi panas itu berhasil menembus punggung ibu.
Luna menjerit. Ia berusaha memberontak bahkan menendang dan memukul para penjahat yang ada di sampingnya dengan tenaga seadanya. Namun, tenaganya tak cukup kuat saat sebuah benda menghajar kepalanya. Luna pun jatuh.
“Luna!” Perempuan itu terkejut saat namanya dipanggil. “Ayah panggil-panggil dari tadi kok malah melamun.”
Luna melihat sang ayah di sampingnya. Ia lalu melihat lagi ke depan. Layar televisi sedang menayangkan sebuah berita kriminal. Di sana disebutkan bahwa pelaku penculikan serta pembunuhan satu keluarga akan dihukum mati bulan depan.
“Ayah!” panggil Luna sambil memandang sang ayah di atas kursi roda.
“Ada apa, Luna?”
“Tadi.” Sang ayah masih menunggu Luna bicara. “Aku sudah ingat semuanya.” Tangisnya pecah. Ayahnya mendekat lalu memeluk Luna berusaha menenangkan sang anak.
Enam bulan setelah kejadian tragis itu, Luna kehilangan ingatannya. Namun, sang ayah tidak berusaha mengembalikan ingatan putrinya. Walau bagaimanapun, itu merupakan kenangan buruk.
Memories of Yesterday. © 2024 Sulizlovable. All Rights Reserved.
Thank you for coming and reading 💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top