Isi Hati Kiki
Bu Miranda menarik pergelangan tangan Viona dengan lembut. Menggiring wanita itu untuk duduk di samping ruangan Varo. Wanita itu bingung harus memulai obrolan ini dari mana. Tampaknya mantan kekasih putranya itu juga terlihat kikuk, terbukti dari jarak duduk yang dibuat Viona dengan ibunda Racka.
"Di mana Racka, Viona?" tanya Bu Miranda memulai pembicaraan, walaupun sekadar basa-basi.
Viona tersentak, entah apa yang sedang ia lamunkan tadi. "Itu, tadi Racka ketika mengantar saya kemari dipanggil oleh salah satu perawat, katanya untuk menandatangani salah satu data pasien yang terlewat."
"Hmm, begitu. Bagaimana kabarmu, Viona?"
"Alhamdulillah, baik. Tante sendiri bagaimana kabarnya?" tanya Viona mengimbangi percakapan itu.
Ia tak menyangka akan bertemu dengan wanita yang telah melahirkan Racka itu. Bahkan membayangkannya saja tidak, rasanya bagaikan dua orang asing yang baru berjumpa. Hambar dan canggung pastinya, situasi macam apa ini?
"Tante seperti yang terlihat sekarang Viona, baik-baik saja," jawab Bu Miranda singkat.
Suasana mendadak hening, di antara keduanya seperti tidak mampu merangkai kata lagi. Namun, rona wajah Bu Miranda mendadak sendu. Wanita itu menatap lantai berwarna putih tempatnya berpijak, seakan mengumpulkan puing-puing keberanian.
"Viona, Tante belum pernah mengucapkan ini sebelumnya padamu." Bu Miranda mengangkat wajah, menoleh ke arah wanita yang berada tepat di samping kanannya itu pilu.
"Maafkan, Tante. Maaf, karena telah membuatmu merasakan kehilangan Racka. Tante merasa sangat keji telah memisahkan kalian." Bulir bening lolos begitu saja, jatuh membasahi pipi yang tampak keriput itu.
Pemilik iris pekat itu beringsut dari posisinya, ia sedikit mendekat. Ingin rasanya merengkuh bahu wanita yang mungkin seusia dengan ibu kandungnya. Namun, ia mengurungkan niat itu dan kembali menyimak dengan seksama.
"Banyak hal yang telah tante dan Papa Racka lakukan, tetapi keadaan perusahaan tak kunjung membaik. Bagaikan serangan kanker yang terus menggerogoti inangnya, begitu pula keadaan perusahaan kami kala itu."
Nenek Varo itu menarik napas dalam. Pandangannya lurus ke depan, seakan melang-lang buana.
"Bahkan papa Racka rela mengindahkan kesehatannya demi bangkitnya perusahaan itu, setiap hari beliau lembur tanpa mengenal waktu. Membahas dan mencoba berbagai cara untuk menanggulangi krisis ekonomi. Namun, semua sia-sia saja."
Dadanya berdenyut hebat, Viona bisa merasakan bahwa apa yang diceritakan oleh ibu dari mantan kekasihnya itu bukan rekayasa. Tiap helaan napas dan tangisnya seperti membuka kembali lembaran pilu. Seandainya ia berkata jujur juga, mungkin Racka tidak akan menderita.
"Lalu, suatu hari Papa Racka mendapat tawaran dari keluarga Kiki, mereka bisa membantu menopang kembali perusahaan kami yang hampir gulung tikar itu. Namun, dengan syarat menikahkan putrinya dengan putra kami," sambungnya masih dengan air mata yang berderai.
Di sini isak tangis itu kian menjadi, terdengar seperti raungan kecil. Hati Viona seperti tersayat sembilu, ketika nama ibu biologis Varo disebut. Wanita itu memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Sepertinya berusaha untuk mengendalikan emosi.
"Awalnya Tante tidak setuju, tetapi melihat kondisi Papa Racka yang sakit-sakitan. Akhirnya, mau tidak mau tante mengambil jalan pintas itu. Tante tidak punya pilihan lain, Viona. Tante berada di jalan buntu dan tak memiliki pegangan apapun kala itu," ujar Bu Miranda dengan suara sengau.
Tak tahu mengapa Viona semakin terhanyut oleh suasana, mungkin jika dirinya berada di posisi Bu Miranda juga akan melakukan hal yang sama. Wanita mana yang tega melihat anak dan suaminya hidup berkekurangan. Keputusan yang begitu menguras emosi dan batiniah.
Bu Miranda tiba-tiba meraih jemari Viona, ia menggenggamnya erat.
"Percayalah pada Tante, Viona. Tante sangat menyesali hal itu, semua karena keadaan yang terus mendesak. Perusahaan itu adalah hasil dari keringat darah papa Racka. Titik di mana suami tante memulai segalanya dari nol, hingga perusahaan itu berdiri tegak dan menjadi saksi perjuangan."
Tangan tua itu semakin erat meremas jemari Viona, bahu yang tampak ringkih itu berguncang. Generasi penerus keluarga konglomerat itu merasakan setiap sensasi sakit yang Bu Miranda kisahkan. Pilu dan menusuk sanubarinya, apalagi ini adalah kebenaran atas segala penderitaan yang pernah ia alami.
"Sudah sejak awal Vio memahami hal itu, Tante. Saya paham benar posisi Tante yang ketika itu merangkap sebagai ibu sekaligus kepala keluarga. Wanita mana yang tega melihat hasil jerih payah suaminya hancur begitu saja. Mungkin, saya pun juga akan melakukan hal sama, jika bertukar posisi dengan, Tante." Viona melepas semua bebannya, ia membalas genggaman tangan wanita yang telah membesarkan Racka itu.
Bu Miranda menatap Viona dengan bulir bening yang masih terus membasahi pipinya.
"Terima kasih, Viona."
Kemudian wanita itu merogoh tas tangan yang ia bawa, menarik secarik kertas yang sudah tampak sedikit lusuh. Lantas menyerahkan benda itu kepada Viona.
"Apa ini, Tante?" tanya Viona sembari mengernyitkan Alis.
Bu Miranda menyeka air matanya, kemudian tersenyum getir.
"Itu adalah surat dari mendiang Kiki untukmu, Viona. Mendiang Kiki memberitahu tante untuk mengambil surat itu di laci kamaranya, tepat sebelum maut merenggut nyawanya. Namun, baru hari ini tante menyampaikannya kepadamu. Maafkan segala kesalahan tante, Viona. Terlalu banyak dosa yang telah tante perbuat."
"Tidak apa-apa, Tante. Ini sudah takdir, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Semua sudah berlalu," ucap Viona dengan bibir bergetar.
Viona menerima secarik kertas itu dengan tangan gemetar, ia membuka lipatan yang terlihat menggaris bagian tengah kertas. Perlahan, tapi pasti Viona mulai membaca goresan pena yang ditulis dengan tangan mendiang Kiki.
Viona, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Namun, tidak ada sedikitpun keberanian di hatiku. Sehingga tulisan rapuh ini tercipta ....
Sebagai mantan kekasih Racka saat itu, aku belum bisa move on darinya. Hatiku tak bisa menerima bahwa Racka bahagia bersama wanita lain. Akhirnya, dengan menghalalkan segala cara, aku erayu dan menawarkan diri pada keluargaku untuk melakukan perjodohan dengan iming-iming membantu perusahaannya.
Ah, betapa bodohnya aku, berharap dia akan mencintaiku lagi. Namun, semua kebahagiaan itu hanyalah fatamorgana. Pernikahan itu hanya sebatas di atas kertas.
Tahukah kamu, Viona? Dia menjamah tubuh ini, tetapi itu hanya demi keturunan. Ia bahkan meninggalkanku begitu saja ketika selesai, mungkin Racka menganggapku hanya sebagai wanita murahan. Sampah yang tidak berguna!
Hari-hari berlalu dan aku tersadar harapan mulai sirna, seperti apapun usaha yang kulakukan. Racka tetap mencintaimu, raganya memang di sini, tapi tidak dengan hatinya. Ia tampak seperti jasad tak bernyawa. Itu begitu mengguncang jiwaku, mungkinkah ini karma?
Saat ini aku sedang mengandung, jika suatu saat aku tidak dapat menjaga malaikat kecil ini. Maukah kamu menggantikan posisiku untuknya? Menjaga dan merawat apa yang seharusnya menjadi milikmu.
Aku sungguh sangat menyesal, maafkan aku Viona ... maaf.
Tanpa sadar, bulir bening menetes dari sudut netra Viona. Dadanya terasa sesak, ternyata Kiki pun tidak merasa bahagia. Gelap hampa tidak berwarna, sampai ia berpulang pun terus menyimpan penyesalan dan kekecewaan.
Terlintas wajah polos Varo, jagoan kecil yang selalu memanggilnya bunda. Nyeri, mengapa cinta begitu banyak melukai hati? Memberi pengharapan yang tinggi lalu mengempaskannya ke tanah. Tanpa peduli seberapa hancur jiwa yang mencinta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top