Bunda?
Dentingan peralatan dapur dan aroma yang menggelitik perut memaksa netra ini terbuka. Aku meraba-raba nakas, mencari keberadaan ponsel kesayangan. Setelah mendapatkan benda berwarna merah maroon itu, kulirik tampilan layar yang menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Tanpa menunda waktu, aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menunaikan shalat subuh. Usai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, kulangkahkan kaki menuju dapur untuk membantu Mommy Vere.
Tampak adik dari ibuku itu sedang berdiri menghadap perlatan tempurnya. Apalagi jika bukan memasak untuk mempersiapkan sarapan kami.
"Morning, Mom. Masak apa hari ini?" tanyaku sembari mengecup pipi Mommy.
Mommy Vere menoleh dan tersenyum manis. "Morning, Sayang. Ini lagi masak nasi goreng sosis kesukaanmu. Sudah hampir selesai."
Benar-benar sosok ibu idaman, beliau setiap hari selalu memperhatikan asupan nutrisi yang dibutuhkan keluarganya. Tidak pernah mengenal lelah dan tanpa meminta imbalan. Betapa beruntungnya aku menjadi bagian dari keluarga ini.
"Apa yang bisa Viona bantu, Mom?"
"Hmm, bagaimana jika Viona membuat puding saja untuk makanan penutup?" Mommy menyodorkan sebungkus serbuk agar-agar instant padaku.
"Boleh, Mom."
Satu jam berlalu, tidak terasa hidangan pagi ini sudah tersaji di meja makan. Aku bersama Mom, Dad, dan Sisil berkumpul di meja untuk menyantap menu sarapan kami. Kebersamaan seperti inilah yang selalu kurindukan.
Banyak hal yang bisa dibahas, seperti hari ini contohnya. Kami membully Sisil yang baru saja mendapatkan boneka dari kekasih barunya. Gelak tawa dan candaan mengawali hari-hari yang penuh warna.
Mommy menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah anak-anak dan suaminya. "Sudah, jangan bercanda terus! Ayo cepat dimakan keburu dingin. Apa kalian tidak takut terlambat datang?"
"Oh ya, Viona. Bagaimana pertemuanmu dengan perusahaan recording itu?" tanya Mommy lagi.
Kali ini pertanyaan itu sukses membuatku tersedak dan menyemburkan minuman. Sisil menepuk- nepuk punggung, membantu agar diriku merasa lebih nyaman. Bagaimana ini? Astaga, pembahasan kali ini diluar perkiraan.
"Emm ... anu, Mom. Kemarin itu anu," kataku gugup sembari memainkan jemari.
Ekor mataku melirik Sisil, beruntungnya wanita itu paham akan kode rahasia. Dengan sigap saudara sepupuku itu memberi jawaban yang realistis.
"Kemarin pihak recording menunda pertemuan, Mom. Jadi kita pulang, deh," ucap Sisil sembari mengedipkan satu matanya ke arahku.
Mommy tidak menjawab, beliau hanya menganggukkan kepala sembari mengunyah nasi goreng. Memang, mommy bukanlah tipe wanita yang terlalu ikut campur, baginya apapun itu jika tidak menyalahi aturan tak masalah.
"Bagaimana jika kamu bekerja dengan teman, Dad. Dia memiliki sebuah sekolah musik yang cukup terkenal di Inggris." Daddy memberikanku tawaran.
"Tidak, Dad. Aku ingin mengembangkan sekolah musik milikku saja di Australia. Siapa tahu akan membuka cabang di sini," jawabku dengan cepat.
Ya, itulah impian terbesar dalam hidupku, mengembangkan sekolah musik sendiri dan mengasuhnya hingga dikenal oleh banyak orang. Dari pada harus ikut bekerja dengan orang lain, apa salahnya jika merawat apa yang sudah ada 'kan.
"Sayang, bagaimana pun kamu harus belajar dalam dunia bisnis. Jika tidak, siapa yang akan memimpin perusahaan ayahmu? Viona juga memiliki separuh saham di perusahaan Corlyn, lho," timpal Mommy tiba-tiba.
"Bukankah ada Sisil, Mom?" Aku memutar bola mata, melirik saudariku yang asik dengan pudingnya.
Sisil seketika membelalakan mata. "Enggak mau! Viona saja ya, Mom, Dad. Sisil 'kan masih ingin bersenang-senang."
Bibirku mengerucut mendengar ucapan Sisil. Ah, bagaimana mungkin aku bisa mengolah perusahaan? Memikirkannya saja tidak pernah!
"Dad dan Mom tidak mau tahu, ketika usia kalian menginjak dua puluh enam tahun. Kalian harus menjadi Direktur di perusahaan keluarga kita!" Daddy menekankan kata, tersirat wibawa dan ketegasan di dalamnya.
"Tapi, Dad ...." Aku dan Sisil merengek bersamaan.
Membayangkan saja sungguh mengerikan, menghabiskan waktuku dan Sisil untuk bekerja. Berkutat dengan lembaran kertas berisi dokumen yang tiada habisnya. Astaga, ini mimpi buruk!
"Tidak ada penolakan, Sweety." Mommy menggerakkan jari telunjuknya di depan wajahku dan Sisil.
Ketika Mommy bertindak begitu, artinya kami harus menjadi anak penurut. Ya, Dad memang tidak bisa dibantah. Aku dan Sisil mengembuskan napas kasar berbarengan. Menerima nasib yang akan menjemput masa depan kami dengan pasrah.
++++
Gemrisik dedaunan yang terkena belaian sang bayu membuatku merasa tenang. Pemandangan bagaikan hamparan permadani hijau membentang, memanjakan mata siapa saja yang melihatnya.
Saat ini aku berada di kebun belakang rumah dengan Mommy. Kubersandar pada bahu wanita yang selalu memberikan dukungan itu dengan manja.
"Sayang, kenapa kamu tidak mau bekerja di perusahaan milik ayahmu?" tanya Mom seraya mengusap kepalaku.
"Viona, suka atau tidak suka kamu harus menjadi pemimpin perusahaan suatu saat nanti. Mom dan Dad hanya ingin kamu bahagia sayang. Sisil dan Viona adalah harta berharga yang paling kami sayangi," tutur Mommy dengan lembut.
Netraku menatap ke dalam iris wanita yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Pantulan bayangnya tampak jernih di sana, meneduhkan kalbunya.
"Baiklah, Mom. Viona mau mengurus perusahaan, tetapi setelah Viona membuka cabang sekolah musik di sini, boleh 'kan?" pintaku dengan aksen kekanakan.
"Tentu saja boleh, Sayang." Mommy mengecup puncak kepalaku, perasaan penuh cinta yang hangat menjalari tubuh.
Tiba-tiba ponselku bergetar, sedikit mengganggu suasana tentram antara aku dam Mommy. Layar benda itu menunjukkan sebuah nama yang kukenal, Mike—sahabat karibku melakukan panggilan.
"Hallo, dengan Vio di sini," sapaku memulai pembicaraan.
"Ya, ya aku sudah tahu. Sweety, ayo kita hangout di mall! Sekalian bawa berkas pembukaan cabang sekolahmu," ucap Mike dari seberang.
"Hmm." Aku berdehem sembari mengerutkan dahi untuk berpikir.
Baiklah, ini tawaran yang bagus. Aku juga butuh sedikit angin segar setelah mendengar ultimatum Daddy, membuat kepala ini pening. Tidak ada salahnya 'kan cuci mata, memanjakkan diri sekali-kali.
"Oke Mike, tunggu di sana. Satu jam lagi aku akan segera menyusul."
"Yup, tentu aku akan menunggumu. Bye, Sweety. Sampai jumpa nanti," pamit Mike seraya memutus panggilannya.
Masih dengan menggenggam erat alat komunikasi itu, aku menarik kedua sudut bibir. Menciptakan lengkungan manis yang tampak cerah, secerah langit hari ini.
"Telepon dari siapa, Sayang?" tanya Mom dengan tatapan menelisik.
"Mike, Mom. Sahabatku di Australia sekaligus pemilik perusahaan recording. Kami sangat akrab sampai banyak yang mengira bersaudara, " celotehku dengan penuh semangat.
"Apakah kalian membuat janji untuk bertemu?" Mommy bertanya lagi, kali ini dengan senyum penuh arti.
"Betul. Mike akan membantu Viona untuk mengurus sekolah musik, Mom. Beruntung sekali Viona mendapatkan sahabat seperti dirinya."
Ketika aku kembali pulang demi perusahaan recording yang aku impikan. Mike dengan senang hati membantuku mengelola sekolah musik milikku di sana.
"Mommy turut bahagia, cepat ganti pakaianmu! Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama, Sayang," titah Mommy sembari menatapku lekat.
Aku beranjak dari posisi nyaman, sebelumnya tentu kukecup terlebih dahulu pipi Mommy. Kemudian, bergegas menuju ruang tidur untuk bersiap-siap. Setelan kaos berkerah V dan celana jeans menjadi pilihan. Rasanya pakaian ini yang paling cocok digunakan saat santai.
Tanpa membuang waktu, segera kupacu kendaraan menuju tempat yang sudah kami sepakati. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku telah tiba di sana. Banyak orang bersliweran dengan membawa berbagai macam kantong belanjaan. Ya, inilah surga para wanita, tempat melepas kejenuhan sesaat.
Aku memilih sebuah restoran jepang yang berada di dalam mall dan segera menghubungi Mike. Entah, sekarang dia ada dimana.
"Hai, Sweety"
Aku mendongak, menatap Mike yang sudah berdiri di hadapanku. Lelaki itu memakai baju Polo dan celana selutut bermotif polkadot. Mike mencium pipiku sebagai salam, begitu pula sebaliknya. Hal ini biasa kami lakukan saat berada di Australia.
"Mike, aku merindukanmu!" pekikku sembari memeluknya erat lelaki bermata biru itu.
Mike mengerling nakal. "Santai, Sweety. Ingat ini tempat umum, lho."
"Astaga, sifat playboymu ikut terbawa ke sini!" hardik Viona sembari mencubit kecil lengan Mike.
Sahabat karibku itu menggeliat. Entah merasa geli atau kesakitan. "Ayo pesan makanan, aku lapar sekali."
"Huum," jawabku singkat.
Mike melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Kami pun memilih sushi dan ramen yang menjadi menu andalan resto itu. Makan siang kita di isi canda tawa dan membahas prosedur pendirian sekolah.
Beruntung sekali aku bisa bekerjasama dengan Mike yang notabennya memiliki perusahaan Recording dan merambah ke management artis Australia yang sudah melahirkan penyanyi sekaligus artis disana.
Nada dering ponsel Mike berbunyi, membuat kami terdiam dan berhenti mengunyah. Ia meraih benda itu dan menerima panggilan.
"Hallo, Honey?"
"....."
"Baik, aku ke sana setelah selesai makan dengan Vio, ya?"
"....."
"Ya, ya. Kapan-kapan kita bertiga makan bersama," ucap Mike tersenyum.
Melihat gesture Mike yang berbinar ketika menerima telepon itu. Membuat pikiranku bertanya-tanya, siapa yang meneleponnya? Jangan-jangan itu selingkuhan Mike!
"Siapa, Mike?" tanyaku saat Mike sudah memasukkan kembali ponselnya kedalam saku.
Ia tersenyum. "Jane, siapa lagi?"
Manik mataku seakan ditaburi bintang, berbinar penuh antusias. "Dia di Indonesia?"
"Yup! Aku akan segera menjemputnya sebelum dia mengomel," kelakar Mike sembari tertawa.
"Oke, hati-hati. Sampaikan salamku untuk Jane, ya."
Aku mengangguk, bayangan wajah Jane melintas di pelupuk. Hanya wanita itu yang bisa menaklukkan hati Mike. Membuat playboy kelas kakap itu tergila-gila.
Sang mentari mulai redup sinarnya, waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang. Sebelumnya tentu membereskan berkas-berkas yang berserakan.
Aku melangkah dengan santai melewati arena bermain anak-anak yang masih berada dalam lokasi mall. Tiba-tiba ....
"Bundaa!" teriak seorang anak kecil memeluk kakiku.
Manik mataku membulat sempurna. Astaga, bagaimana bisa anak ini memanggilku begitu, hah? Menikah saja belum, bagaimana caranya bisa mempunyai anak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top