27 Dancing in the Flames

Pasukan Iko Santoso bergerak mengepung rumah sakit. Hal itu menyebabkan kericuhan di antara pasien, pengunjung, serta petugas medis yang ada di sana. J segera menyeret D agar mengikuti langkahnya.

"Aku nggak mau kembali, lepaskan!" D meronta membebaskan diri dan menyerang siapapun yang mendekat.

"D, calm down. Bos mau bicara denganmu. Ayo ikut." J berusaha membujuk lelaki itu demi mengurangi ketegangan yang terjadi di rumah sakit. "Kalau kamu nggak mau nurut ...."

"Apa? Kalian mau bunuh aku? Bunuh aja. Kalian cuma bajingan tengik yang menggunakan segala cara demi kepentingan kalian sendiri kan? Aku tak sudi ikut!"

"D, jangan bikin keributan!"

Lelaki itu tertawa, lalu kembali menyerang dengan membabi buta. Sampai di suatu titik, D berhasil merebut senapan dari anak buah Iko lalu menodongkannya ke kepalanya sendiri. "Bos kalian pasti ingin aku dalam keadaan hidup, kan?"

Wajah J segera berubah menjadi seputih kertas, lalu ia mengeluarkan kata-kata untuk membujuk lelaki di hadapannya itu. "Jangan gegabah, D. Kamu pasti masih ingin Raline hidup kan?"

Mendengar kalimat J, bukannya tenang, D semakin beringas. "Kalian membuatku membunuhnya, Bangsat! Lalu sekarang kalian ingin aku menyerah? Cukup sudah perbuatan bodoh ini!"

"Apa yang terjadi pada Raline, itu semua kesalahpahaman!"

"Percuma saja aku bertahan hidup, melakukan apapun yang bosmu suruh, tapi endingnya dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku takkan mau lagi dibodohi olehnya!" D menarik pelatuk dan bersiap melepaskannya. Namun, J sigap mendorong lelaki itu, yang berakibat peluru meletus dan terpelanting ke udara hingga menembus dinding. Kemudian J menendang pistol itu menjauh agar D tak bisa mengambilnya.

D bangkit dengan mengernyit kesakitan, kemudian ia hendak mencari cara agar ia bisa membunuh dirinya lagi. Ia tak peduli lagi dengan hidup, jika harus menjadi mainan pemuas nafsu Iko dalam membunuh orang-orang. Ia sadar, dengan ingatannya yang rusak, Iko akan mudah memasukkan "identitas" baru pada D dan membuat D melakukan apapun yang ingin Iko lakukan. D yakin, kemampuan menembaknya lah yang membuat Iko tak mau melepaskan dirinya.

Tak memiliki senjata, D kemudian memilih untuk memukul tangannya ke dinding agar cedera. Biar saja ia lumpuh atau tangannya tak bisa digunakan untuk membunuh orang lagi. Namun, sayangnya J segera memerintahkan anak buah lainnya untuk menembak kaki D demi membuat lelaki itu bisa dilumpuhkan. Kombinasi kelelahan dan keluarnya banyak darah menyebabkan D kembali memasuki kegelapan lain dalam hidupnya.

***

Tiga tahun yang lalu.

Wajah kuyu Tasya yang keluar dari ruangan dokter syaraf menjadi perhatian dari Iko yang tengah menjenguk salah satu mantan atlet tembak terbaik di Indonesia itu. Iko sering menjadi sponsor pelatihan atau perlombaan bagi kejuaraan olahraga, sehingga ia mengenal beberapa keluarga atlet bahkan akrab dengan mereka. Saat ini, Athalarik Darwis yang mengalami short term memory loss akibat kecelakaan bersama istrinya empat tahun yang lalu itu tengah menjalani pemeriksaan.

"Bagaimana perkembangan ingatannya, Tasya?" tanya Iko dengan mimik prihatin.

"Saya sudah nggak tahu lagi harus gimana, Pak Iko. Dia sama sekali nggak bisa mengenali saya, juga keluarganya. Saya sudah mencoba berbagai cara. Setiap pagi saya harus mengingatkan dia siapa, dulunya bagaimana. Saat ia sudah ingat dan berinteraksi, besok paginya dia akan lupa lagi. Bagaimana saya bisa menjalani hidup ... apalagi saya masih harus menghidupi anak saya... yang bahkan bapaknya aja nggak inget sama dia ...."

Iko menepuk pundak Tasya, menenangkan perempuan itu. "Sabar ya, Tasya. Kalau kata dokter bagaimana? Apa ada harapan untuk dia sembuh?"

Tasya menggeleng lemah. "Saya tahu, sebagai istri saya harus bisa tabah dan sabar. Kalau dia sakit stroke, atau apa. Saya masih bisa merawat dan menjaganya, Pak. Tapi ini ... dari luar dia kelihatan baik-baik saja. Bahkan kemampuan menembaknya masih di atas rata-rata. Hanya saja ... jelas dia nggak bisa kalau disuruh tetap menjadi atlet atau melatih. Bagaimana kalau dia akan melupakan semua orang di sekitarnya?"

Pernyataan Tasya membuat Iko menegak waspada. "Dia ... masih bagus menembaknya?"

"Refleknya memegang senjata masih ada, Pak. Kemampuannya berbicara dan melakukan hal lain juga cukup normal. Hanya saja dia lupa identitasnya, juga kami sebagai keluarganya."

Tak lama setelah itu, Iko pun menawarkan pekerjaan kepada Athalarik. Pengusaha terkaya di Indonesia itu pun menyampaikannya secara pribadi kepada Tasya. "Dia cuma bantu-bantu saya saja di kantor, kok. Bukan pekerjaan berat. Tapi semua kebutuhannya, kebutuhan kalian bertiga, saya bersedia menanggung. Bahkan kontrol ke rumah sakit juga akan saya sediakan. Syaratnya, dia mungkin akan jarang pulang. Semuanya demi kebaikan kamu dan juga dia, Tasya."

"Tapi ... ingatannya .... "

"Tenang saja. Kami akan membantu memberikan lingkungan yang nyaman dan dokter terbaik, agar dia bisa kembali pulih, Tasya. Percaya sama saya." Iko memegang erat tangan istri Athalarik itu dan menyunggingkan senyum ramah. "I'll do my best for my man."

***

Athalarik terbangun di tengah mobil yang sudah babak belur menabrak pohon besar. Kaca depan mobil pecah berhamburan. Ia merasakan cairan lengket di kepalanya, dan saat ia mengusap cairan tersebut ternyata itu darahnya. Ia menoleh ke sisi penumpang dan mendapati mata Tasya—istrinya—tengah terpejam. Lelaki itu panik dan menyentuh pipi perempuan itu.

"Sayang, bangun, Sayang." Suaranya serak memanggil sang istri. Namun, Tasya sama sekali tidak mendengar. Mata Athalarik waspada mengamati perempuan itu, dan rupanya ia masih hidup. Atha merasa bersedih karena harus mengalami peristiwa ini, mengingat bayi dalam kandungan istrinya. Tangan lelaki itu menyentuh perut Tasya, membelainya lembut. "Anakku..."

Atha berharap bayinya bisa selamat, tumbuh besar sampai dewasa. Ia sudah membayangkan bermain dengan anaknya kelak, mengenalkan dunia yang ia cintai yaitu senapan dan olahraga. Selama ini, ia sudah membayangkan akan berlari dan menggendong buah hatinya, tak sabar menunggu ia lahir. Namun, kesadarannya perlahan menghilang, sampai ia menyerah pada kegelapan.

Ketika ia membuka mata, aroma antiseptik menyerang indera penciumannya. Lalu saat ia mencoba mengenali di mana ia berada, lambat laun kekosongan mulai menyerang benaknya, dan ia merasa kebingungan. Ia masih bisa merasakan emosi dengan normal, karena itu ia sekarang mulai panik dan gelisah.

"Siapa aku? Di mana aku? Apa yang sudah terjadi?" Kepalanya mulai merangkai pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja. 

Pengetahuan dan wawasan saling berkelindan, yang masih bisa ia cerna dengan baik. Suatu keadaan seperti amnesia, yang pernah ia baca, membuat ia yakin ia mengalaminya.

"Aku amnesia. Jadi, apa yang bisa kulakukan agar aku ingat?"

Di tengah semua kebingungan itu, melesatlah sebuah nama yang entah dari mana datangnya. Raline. Raline Prameswari. Lelaki itu terbangun dan hendak bangkit dari brankar tetapi ia dicegah oleh seorang perempuan yang menatapnya dengan penuh syukur.

"Astaga, Sayang! Kamu ... sudah sadar?" Air mata mengalir turun dan membasahi pipi perempuan itu, yang kini memeluk dan mendekapnya erat. "Ya Tuhan, aku beneran ... nggak ngerti. Aku khawatir banget selama ini, dan aku kangen banget sama kamu!"

"Ra ... Raline?" tanya Atha akhirnya, mengidentifikasi bahwa nama perempuan itu adalah Raline yang mendesak ingatannya.

Perempuan itu mengurai pelukan dan menatapnya dengan aneh. "Raline? Kamu ingat ... Raline? Bukannya aku?"

"Kamu ... siapa?"

Wajah perempuan itu menegang. Setelah itu ia kembali tersedu sedan. "Aku Tasya, Mas Atha. Istrimu. Ibu dari anakmu."

"Jangan bercanda!" tukas Atha dengan nada ketus, kemudian ia tersadar bahwa ia tak seharusnya melakukan hal itu. Entah sepertinya ada perasaan yang tidak mengenakkan saat ada orang yang memberitahu siapa dirinya, terasa seperti pembohongan.

"Mas Atha!" Tasya kemudian mengusap air matanya. "Aku tahu sebagai istri aku banyak kurangnya, tapi dari sekian banyak orang yang ada dalam hidupmu, kenapa kamu nggak inget sama aku? Tapi kamu bahkan inget nama Raline? Kamu nggak sadar betapa menyakitkannya itu buatku?"

Atha tertegun. Bahkan saat ia sendiri tidak bisa mengetahui siapa Raline dan apa hubungan di antara mereka, ia sadar apa yang ia lakukan adalah kesalahan. "Maafkan aku, Tasya." Dengan canggung, ia mencoba memeluk dan menenangkan perempuan yang tengah menangis itu. Namun, sampai akhir tangisan perempuan itu, Atha tidak merasakan sesuatu yang akrab dan nyaman tentangnya. Semuanya hanyalah kekosongan semata.

***

Setelah menjalani perawatan selama enam minggu, Raline akhirnya bisa dinyatakan sehat. Ia diperbolehkan bekerja karena tentunya banyak pekerjaan yang menumpuk. Pak Dirga menekankan bahwa ia sudah berbaik hati memberikan gaji penuh padahal Raline tidak bekerja selama dirawat. Gadis itu hanya tersenyum dan menerima nasibnya sebagai budak korporat. Meskipun dirinya masih lemah dan sering merasakan sakit di bagian perutnya, tetapi ia bekerja seperti biasa.

Raline pun mendengar cerita dari Alice mengenai D atau Athalarik yang dikepung oleh anak buah Iko Santoso dan membuat rumah sakit ricuh. Juga ketika Athalarik ditembak dan dirawat di rumah sakit lain. Alice sempat mencari tahu dan ternyata saat ini Athalarik dikembalikan ke keluarganya, yaitu Tasya dan putranya. Raline tersenyum getir saat tahu, tetapi ia bisa apa? Sejak awal, terlalu banyak halangan dalam hubungannya dengan Atha, dan ternyata ia masih memiliki istri dan anak. Itu adalah sebuah penghalang sempurna yang Raline takkan mau menerjangnya. Ia tak sudi merusak hubungan pernikahan seseorang. Ia hanya berharap bahwa seandainya ia tahu lebih cepat, ia takkan mau menerima lelaki itu dalam hidupnya.

Ancaman dan teror dari nomer tak dikenal menghilang semenjak itu. Raline juga tak lagi diikuti oleh orang pada saat berangkat atau pulang kerja. Mungkin setelah Atha tak lagi dalam hidupnya, semua masalah itu menghilang begitu saja. Raline merasa lega bahwa ia bisa menjalani hidupnya dengan normal, tanpa ada masalah.

Sebulan berlalu. Raline benar-benar sudah pulih dan menjalani pekerjaannya seperti biasa. Namun yang mengejutkan Pak Dirga memutuskan kerjasama dengan Iko Santoso, karena Pak Dirga menemukan banyaknya kecurangan yang dilakukan Iko terutama pada rekanan perusahaannya yang ada di Cina. Bahkan Pak Dirga sempat menyatakan kecurigaannya bahwa kecelakaan Alice di Cina, penembakan Raline beberapa waktu lalu adalah ulah Iko untuk menakuti Pak Dirga. Raline bernapas lega karena ia takkan lagi tersangkut dengan lelaki menyeramkan itu lagi.

Sore hari, Raline berada di sebuah restoran, sembari mengecek agenda perjalanan sang bos yang hendak bertolak ke New York seminggu lagi. Pak Dirga memintanya untuk menyiapkan itu sementara sang bos tengah bertemu dengan klien di ruangan terpisah di restoran itu. Raline berfokus pada pekerjaannya, saat seorang pelayan tak sengaja menjatuhkan pesanan minuman Raline di lantai.

"Astaga! Saya minta maaf, Bu. Saya akan ganti." Pelayan itu segera membersihkan noda minuman serta gelas yang pecah.

Raline berkali-kali mengucapkan tidak apa-apa, tetapi lelaki yang panik itu masih saja meminta maaf sembari membereskan kekacauan yang ia buat. Sampai akhirnya, ada lelaki mengenakan jas yang menghampiri mereka dan menyuruh pelayan itu segera mengambilkan Raline minuman yang baru.

"Tidak apa-apa kok sungguh ...." Raline terperanjat. Wajah lelaki itu sangat familiar. Gadis itu menelan ludah lalu menunduk, tak mau lagi mengingat hal-hal yang sudah terjadi. Athalarik masih saja menampilkan pesona yang sama, senyuman yang memabukkan, bahkan ketika Raline tahu lelaki itu sudah pasti takkan mengenalinya.

Lelaki itu tersenyum. "Raline. Raline Prameswari."

Gadis itu mendongak dan terperangah. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi dengannya sekarang. "Gi-gimana ...."

"Hai," ujar lelaki itu mengulurkan tangan. "Namaku Darren." Ia duduk di hadapan Raline dan tersenyum, matanya memancarkan kerinduan yang teramat dalam. Raline terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Tangan Darren menggenggam tangannya, saat lelaki itu berbisik, "Tenang saja, aku ... takkan melupakan kamu lagi."

*tamat*

Alhamdulillah, akhirnya tamat beneran. Tapi ini versi wattpad ya. Aku tahu banyak peer yang belum dibahas, tapi sekali lagi dari awal ini adalah event Karos Maraton bersama Mantan, di mana semua karya ini akan diterbitkan. Jadi, aku memutuskan untuk menyelesaikan peernya di versi buku cetak.

Jadi di buku cetak nanti akan ada tambahan bab, di antaranya adalah masa lalu Tasya dan Atha alias D. Lanjutan dari hubungan pernikahan mereka setelah kejadian Raline, juga sebelum adanya Raline. Tentu bakal sangat panjang, secara mereka menikah udah lama dan punya anak juga.

Yang paling penting adalah bagaimana Iko dan Atha setelah kejadian ini, karena perjalanan mereka masih panjang dan nggak mudah, dan Iko nggak mungkin ngelepas Atha begitu saja. So, yang pengen tahu ending yang sebenarnya, bisa tunggu versi cetaknya ya. Akan ada sekitar 10 bab tambahan yang bisa kamu pantengin dari cerita ini. Dengan versi happy ending, baik untuk Atha alias D, Raline dan Tasya.

Terakhir, kasih tahu pendapat kamu tentang cerita ini dong. Ini adalah jalur comeback ku setelah delapan bulan vakum nggak nulis. Jadi mungkin masih banyak bolong-bolongnya. Apa kalian suka cerita yang tegang-tegang begini, atau yang manis-manis aja? Kasih tahu aku ya, aku beneran pengen tahu pendapat kalian. Kalau aku nulis cerita yang baru, kalian mau aku nulis apa?

Dan akhirnya, makasih buat semuanya yang udah baca cerita ini, ngevote dan komen. Memang kayak nggak ada artinya, tapi bacain komen kalian itu bikin aku semangat nulis lagi lho. So, love you so much and see ya at the next stories!





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top