26 Death
Raline. Hanya ada nama itu yang bersarang di ingatannya. Lelaki itu tak tahu siapa dia, bagaimana wajahnya, hanya ada nama. Serta perasaan hangat setiap kali menyebut namanya dalam hati. Lelaki itu dipanggil D. Entah singkatan dari apa. Ia tidak tahu dirinya anak siapa, atau apa yang sebelum ini ia lakukan. Ia hanya tahu bahwa ia adalah anak buah Iko Santoso, seorang pengusaha. Ia hanya menjalankan apa kata sang bos. Meskipun begitu saat ia diminta memegang senjata senapan, tangannya akan bergerak dengan cekatan, tanpa perlu ia menguras pikirannnya untuk mencari tahu bagaimana cara senapan bekerja. Seolah ada otak di dalam tangannya yang lebih kuat ketimbang otaknya yang sekarang yang bahkan tidak ingat apa yang ia lakukan kemarin malam.
Setiap pagi saat bangun tidur, ia diharuskan menonton video perkenalannya, di mana di video itu ada dirinya sendiri yang berbicara.
"Kamu pasti bingung dengan kondisimu sekarang. Namun, kamu penderita penyakit short term memory loss. Kamu tidak ingat siapa dirimu, keluargamu, bahkan apa yang kamu lakukan kemarin. Jadi namamu adalah D. Saat ini kamu adalah pasukan pelindung Iko Santoso." Video tersebut menampilkan foto sang bos. "Kamu hanya perlu tahu apa yang diperintahkan oleh bos. Jangan bertanya, jangan membantah. Hidupnya hanya untuk melaksanakan misi yang diberikan olehnya."
Begitulah ia kemudian membentuk jati dirinya. Seorang pelindung, yang mengerjakan apa kata bosnya. Namun, terkadang ... di dalam kepalanya muncul sebuah nama yang entah mengapa sangat mengganggunya. Raline. Raline Prameswari. Sudah, itu saja. Tidak ada data lain tentang nama itu. Apakah dia istrinya? Atau putrinya? Atau adiknya? Entahlah. Nama itu muncul setiap kali D sedang melaksanakan misinya, terutama di saat ia menantikan saat yang tepat untuk menembakkan peluru. Raline. Siapa dia?
Video yang ada di ponselnya hanya ada mengenai Iko Santoso dan misinya. Selain itu, tidak ada. Lelaki itu tidak bisa bertanya kepada rekan kerjanya yang lain, karena mereka selalu menutup mulut rapat-rapat. D hanya tahu setiap kali ia mengingat nama itu, tubuhnya terasa nyaman, sekaligus gelisah. Ia gelisah karena tidak tahu apapun tentang Raline, dan mengapa tubuhnya merasakan hal ini.
Karena itu, saat ia diminta mengerjakan misinya kali ini, ia hanya patuh dan taat. Tanpa tahu nama targetnya, ia berangkat dan bersiap membidik sasarannya. Ia hanya tak menduga, bahwa justru nama yang mendadak muncul di ingatannya, kini berwujud nyata, dan memanggil namanya. Namun dirinya telah menjadi malaikat maut bagi orang yang selama ini ia cari tahu.
Jadi, ia berlari melemparkan senapannya. Tanpa memedulikan seruan atau peringatan dari rekan kerjanya yang berteriak melalui earpiece yang menempel di telinganya. Ia terus berlari menjemput perempuan yang bersimbah darah di jalanan akibat ulahnya.
"Raline!" Ia berseru tanpa berpikir. Saat ia berhasil mencapai gadis itu, mata Raline terpejam dan telah kehilangan kesadaran. D mendekap tubuh itu erat-erat, memeluk dan menciuminya. Di kepalanya tidak ada yang tersisa mengenai gadis itu, hanya saja dalam hatinya ia merasa menyesal sekaligus kehilangan saat melihat gadis itu tak berdaya. "Don't leave me, don't leave, Baby!" Bahkan air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Katakan, untuk apa ia menangis kepada orang yang tidak ada dalam pikirannya selain hanya sebuah nama? Namun, mungkin di dalam relung ingatannya, di suatu tempat terdalam, ada bayangan gadis itu yang terus menari dan menumbuhkan tanaman cintanya di sana. D mungkin tidak mengingatnya, tetapi seluruh sel yang ada dalam tubuhnya menyimpan semua kenangan tentang Raline.
Seorang gadis berambut pendek menyentuh tangannya, meminta agar D melepaskan tubuh Raline yang hendak dibawa paramedis yang baru saja datang. "Mas D, sabar, Mas. Biar Raline bisa ditangani oleh medis."
D serta merta menoleh. "Kamu ... tahu namaku?"
Gadis itu mengangguk. "Saya tahu semua cerita tentang Mas D dan Raline. Saya akan ceritakan semuanya, Mas. Tapi sekarang mari kita fokus untuk keselamatan Raline."
Ambulan segera membawa tubuh gadis itu ke rumah sakit. Di IGD, D mondar-mandir gelisah menunggui di lorong, sementara para dokter jaga memeriksa dan berusaha membuat Raline tetap hidup. Saat ada dokter yang meminta untuk tanda tangan persetujuan operasi, D tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya. "Saya suaminya. Lakukan saja apa yang dianggap perlu."
Gadis yang menemani D, bernama Alice, tak mencegah lelaki itu. Ia hanya duduk diam di kusi bangsal rumah sakit dengan ekspresi cemas. D membuang ponsel dan alat komunikasi dengan rekan kerjanya ke tempat sampah, tak peduli lagi dengan bos dan semua hal yang membuatnya berada dalam posisi sekarang. Kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Saat D akhirnya lelah dan memilih duduk di sebelah Alice, gadis itu akhirnya memecahkan keheningan di antara mereka. "Raline selama sebulan ini, seperti cangkang kosong, Mas. Wajahnya senyum, tapi hatinya nggak bahagia. Mas D menghilang begitu saja, nggak bisa dihubungi. Raline sudah cari ke semua tempat, bahkan tanya ke bos Mas D. Tapi nggak ada jawaban."
"Dia mencariku?"
"Iya. Waktu itu kalian pernah tinggal seapartemen. Lalu Mas D mendadak nggak pulang. Sampai berhari-hari. Raline cemas. Ia takut terjadi apa-apa sama Mas D, terutama karena penyakit Mas D yang nggak bisa ingat apa-apa setelah bangun tidur."
Wajah D memucat saat ia menoleh ke arah Alice. "Jadi ...."
"Iya, kami semua tahu Mas D punya penyakit itu. Dan kemungkinan, karena itulah Mas D mudah dimanfaatkan oleh bos Mas D. Raline sempat bilang kecurigaannya, bahwa video yang Mas D tonton setiap hari adalah video doktrin agar Mas D hanya percaya kepada Pak Iko, dan taat dengan beliau. Mungkin. Sebab Raline tak pernah melihat videonya seperti apa."
Kedua tangan D terkepal. Ia merasa sangat marah karena dibodohi selama ini. Ia tahu ia menghabiskan setiap pagi setelah bangun tidur untuk menonton video perkenalan yang bisa saja adalah settingan Iko.
"Saat kalian bersama, Mas D selalu menyimpan dan merekam video tentang Raline, Mas. Raline sempat mendengar saat Mas D merekam itu. Raline berpikir betapa besar cinta Mas D buat dirinya, sampai mati-matian Mas D melakukan semua hal agar tidak bisa lupa sama dia."
Alice menatap maat D lekat-lekat. "Benarkah demikian, Mas?"
Lelaki itu membisu. Semua pikirannya berkecamuk, membuat pertahanannya runtuh seketika. Ia ingin memutar kembali waktu di mana ia bisa tidak membidik Raline hari ini. Andai ia bisa menukar nasib, ia ingin dirinya saja yang berada di antara jalur maut, bukan gadis yang mencintainya mati-matian. Ia ingin menjadi lelaki normal yang bisa mencintai seorang perempuan tanpa perlu cemas akan melupakan perempuan itu suatu hari nanti. Seperti yang ia lakukan sekarang. Namun, mengapa Tuhan memberikan ujian ingatan ini kepadanya?
*episode26*
Nah, yang kemarin merasa deg-degan kok tamatnya begitu aja nih? Sekarang udah tenang ya. Insha Allah setelah ini aku posting bab terakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top