25 Fallen
Pertanyaan Tasya sungguh membuat dahi Raline berkerut. Jadi benar, bahwa D adalah Atha? Raline mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto D yang dikirim oleh peneror misteriusnya. Ia tak sampai hati menunjukkan foto D bersama dirinya di galeri. Cuma itu satu-satunya foto D yang sendirian.
"Y-yang ini kah?"
Tasya meraih benda pipih di tangan Raline dan mulai mengamatinya dengan saksama. Perlahan, raut wajahnya berubah sendu, sementara air matanya mulai menetes di pipi. "Atha ...."
Jantung Raline seakan berhenti berdenyut. Ini sudah cukup menjadi bukti bahwa D adalah Athalarik Darwis, sang mantan atlet tembak yang kini bertransformasi menjadi bodyguard, sekaligus (mungkin) pembunuh. Gadis itu berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, meskipun kesedihan Tasya mulai ikut merambati dadanya juga.
"Sekarang dia di mana, Mbak?" tanya Raline perlahan. "Mbak bilang tadi Mas Atha ada keperluan. Sebenarnya saya bukan fans, saya cuma sedang memastikan keberadaan beliau."
Mata perempuan ayu itu menatap Raline dan memancarkan rasa rindu. "Sebelumnya, saya minta maaf. Karena Mbak Raline adalah orang asing, jadi saya tidak berani menceritakan yang sebenarnya. Beberapa fans memang datang dan pergi untuk bertemu, tetapi saya selalu bilang bahwa Mas Atha masih keluar atau ada urusan."
"Jadi ... Mbak Tasya sendiri belum pernah bertemu beliau?"
Tasya menggeleng. "Akhir-akhir ini belum. Pihak keluarga ... belum mendengar kabar dari Mas Atha."
"Se-sejak kapan?" Raline memasang ekspresi heran.
"Tiga tahun yang lalu."
Kini gadis berambut panjang itu menekan dadanya dengan cemas, karena tak yakin dengan keselamatan kekasihnya. Apakah ini saatnya untuk menyerah dan melanjutkan hidupnya?
***
Di tengah hiruk pikuk kendaraan, seorang lelaki berjaket hitam dan bercelana kulit hitam, memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ia sudah memutuskan akan menyelesaikan misinya hari ini. Tidak boleh gagal.
Pandangan lelaki itu lurus ke depan, dengan helm rapat yang menangkis suara deru angin yang akan mengganggu pendengarannya. Fokus.
Hingga ia sampai di lokasi. Sebuah gedung terbengkalai selalu menjadi tempat yang baik untuk eksekusi. Meskipun suaranya akan bergema karena berada di ruangan kosong. Ia menyiapkan semua peralatannya, dan bersiap membidik. Target terlihat sedang berjalan menuju sebuah kafe, kepalanya tertunduk. Dari balik lensa, lelaki itu menatap sang target, lalu perlahan mengunci sasarannya.
Entah apa yang terjadi, sang target itu tampak memandang ke atas, ke posisi lelaki itu bersembunyi dari balik lensa. Meskipun sebenarnya sang target tak bisa benar-benar melihat, tetapi lelaki itu seolah merasa tengah bertatapan mata dengan sang target. Matanya sendu, seolah menyimpan semua kesedihan yang ada di dunia. Hati lelaki itu sungguh tersentuh.
Namun, tidak. Ia tidak boleh lengah atau merasa kasihan dengan target. Karena kasihan hanya akan membuatnya lemah dan tak bisa membidik dengan benar. Jadi ia memasang pelatuk, lalu menunggu. Lima hitungan. Napas lelaki itu memburu, terbelit oleh suasana tegang yang mendadak tersaturasi di udara.
"Satu ... dua ... tiga ...."
"Raline!"
Sebuah suara terdengar dan target menoleh mencari sumbernya. Jantung lelaki itu mencelus, merasa ada yang salah dengan apa yang ia lakukan sekarang, tetapi peluru telah melesat menuju tubuh target.
"Astaga, Raline!"
Tubuh target terkapar di jalanan, darah mulai mengalir dan membasahi aspal. Lelaki itu masih memandanginya melalui lensa, menatap bagaimana wajah targetnya yang kini tampak kesulitan bernapas. Anehnya, wajah sang target tersenyum, tangannya mengusap bekas tembakan yang bersarang di perutnya, lalu menunjuk ke arah lelaki itu. Ia tersenyum.
Lelaki itu tertegun. Mengapa ... ada rasa familiar yang menyerangnya sekarang? Seolah target mengenalnya. Mata lelaki itu tak bergerak di balik lensa, memerhatikan bahwa bibir targetnya bergerak. Lelaki itu tahu ia tak mungkin mendengarnya karena jarak mereka terlalu jauh dan target sudah susah untuk mengucapkan sesuatu. Namun, seolah ada yang menyuntikkan semangat padanya, lelaki itu bisa membaca apa yang hendak dikatakan oleh sang target. Bahkan bisa mendengar suara, yang ia kira hanyalah halusinasinya semata.
"D, I found you. I love you."
***
Kehidupan berjalan seperti biasa. Raline melanjutkan hidup, masih menjadi budak korporat dengan samaran asisten CEO yang bernama Pak Dirga. Ia telah menutup lembaran cintanya bersama D, dan berusaha untuk menyatukan dirinya yang sudah remuk tak berbentuk. Ia berkerja dengan sangat keras, tak peduli lembur hingga larut malam. Dengan ia bekerja, ia akan lupa semuanya tentang kekasihnya. Yang rupanya adalah suami orang. Raline akan memperjuangkan cintanya tetapi ia tak kuasa harus menjadi perebut suami orang. Apalagi sang istri masih setia menunggu kabar sang suami dan merawat buah hati mereka. Pupus sudah kisah cintanya, dan hatinya sudah terbakar habis hingga menjadi abu.
"Pak Dirga minta semua berkas ini dikirim ke PT Tembaga Sakti sore ini maksimal ya, Lin." Alice menunjuk tumpukan kardus yang ada di dekat mejanya. "Telepon Pak Danu buat nganter kamu, jangan pake kurir biasa nanti malah ilang di jalan. Pak Dirga udah wanti-wanti agar berkasnya benar-benar sampai pihak sana. Fotoin juga yang nerima siapa, pastikan namanya sama."
"Oke, siap." Raline segera mencatat semua instruksi itu dan memasukkannya ke dalam list pekerjaannya hari itu. Kemudian ia mengecek bahwa Nyonya Dirga sudah memesan sebotol wine untuk makan malam bersama klien dan akan diantar siang itu ke lokasi restoran. Raline memastikan bahwa penjualnya sudah mengirim barang yang benar, dan mengonfirmasi bookingan makan malam yang sudah ia pesan beberapa hari sebelumnya.
Kesibukan membuat hatinya mati rasa. Ia tak punya waktu untuk bersedih atau meratapi kesialannya karena bertemu dengan lelaki yang salah. Benar, ia hanya bertemu lelaki yang salah, bukan salahnya ia jatuh cinta dan mengerahkan semua yang ia punya dalam dirinya sampai habis tak bersisa.
"Lin, Pak Dirga OTW kantor. Pesenin kopinya dong. Aku nitip juga." Cengiran Alice membuat gadis itu tersenyum.
"Bayarin punyaku juga ya?"
"Iya deh. Tapi besok kamu gantian traktir aku ya?"
Raline pura-pura merengut. "Ih, udah untung lho aku mau turun beliin."
"Ih, gitu aja perhitungan. Ama temen sendiri lho ini." Alice juga pura-pura sewot, tetapi ia sama sekali tak keberatan. "Ya udah, buruan ya, Say."
Acungan dua jempol diarahkan Raline kepada Alice, lalu gadis itu buru-buru berlari keluar lift dan turun ke bawah. Saat-saat seperti inilah yang membuatnya rapuh. Meskipun hanya beberapa detik. Ingatan dan kenangan mengenai D mendera benaknya, mengirimkan berton-ton kesedihan yang disimpan rapat. Pintu lift terbuka, Raline segera mengusap kedua matanya yang sempat berembun lalu berlari menuju kafe langganannya.
Jalanan saat itu sangat ramai dengan banyak orang berlalu lalang. Kali ini, Raline melambatkan langkah, menghirup semua aroma yang menguar dari restoran dan kafe yang ada di sekitar situ. Terik mentari menyengat dahinya, hingga ia mendongak ke atas. Ada sensasi familiar yang menguar, hingga ia merasa bahwa ada D di sana, tengah mengamatinya. Apakah lelaki itu berada di sana, untuk mengerjakan misinya? Raline menggeleng dan menepis semua dugaan itu.
"Raline!"
Sebuah suara memanggilnya. Gadis itu menoleh. Rupanya ALice tengah mengacungkan dompet gadis itu yang ketinggalan. Raline menepuk kening, karena ia terburu-buru keluar sampai lupa membawa benda itu. Namun, belum sempat ia menghampiri Alice, perutnya seakan tersengat sesuatu. Gadis itu merasakan panas yang membakar, saat ia menyentuh perutnya, ada cairan merah pekat yang membasahi tangan. Kesadarannya menipis saat ia jatuh terjerembap ke atas aspal. Ia memandang ke arah gedung yang terbengkalai, di mana ada jendela ruangan yang terbuka di sana. Itu pasti D, kekasihnya. Raline sudah merasa kewarasan mulai menjauh darinya juga saat ini. Jadi ia menunjuk ke arah itu dan berbisik seolah mengirimkan pesan terakhirnya untuk lelaki yang sudah menorehkan namanya di dalam hati Raline dan tak mau pergi. "D, I found you. I love you."
*tamat?*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top