24 Searching
Pencarian D sudah mencapai minggu kedua. Raline sudah mengerahkan semua upayanya bahkan akhirnya dengan pertimbangan yang matang, ia melaporkan kehilangannya ke polisi. Sayangnya, meskipun memiliki penyakit short term memory loss, D masih dianggap orang dewasa yang kompeten, karena itu hilangnya D tidak terlalu diperhatikan. Mereka masih menduga bahwa D bisa saja pergi atas kemauannya sendiri.
Raline tak kuasa membendung tangis setiap malam saat ia berada di apartemen D. Meskipun hubungan mereka terhitung singkat, tetapi ia merasa lelaki itu adalah belahan jiwanya. Ia tak sanggup harus kehilangan D sekali lagi, setelah apa yang ia perjuangkan.
Gadis itu sempat bertanya kepada Meisya, tetapi D sepertinya juga sudah tidak bekerja semenjak hari ia menghilang. Hal ini semakin menambah kegundahan Raline. Ia sudah tak tahu lagi harus berbuat apa.
Hingga akhirnya, Raline berhasil mendapatkan alamat Athalarik Darwis, mantan atlet tembak yang wajahnya mirip dengan D. Ini adalah upaya terakhir Raline untuk menemukan keberadaan kekasihnya. Ia sudah memantapkan niat untuk menerima apapun yang terjadi.
Kediaman Athalarik adalah rumah bertingkat dua, serta pagar tinggi menjulang hingga ke atap. Ragu-ragu, Raline memastikan bahwa ia berada di alamat yang benar, sebelum memutuskan untuk memencet bel. Tak lama kemudian, seorang perempuan mengenakan kemeja berlengan pendek berwarna biru keluar dan menyambut Raline. Rambutnya disanggul ke atas dengan rapi, seolah hendak menghadiri acara.
"Iya, mau cari siapa?"
"Anu, saya ...." Raline menggigit bibir. "Benar ini rumahnya Pak Athalarik Darwis."
Wajah perempuan berkemeja itu tampak terkejut. Namun, ia perlahan mengangguk. "Benar. Ada perlu apa ya?"
"Saya bisa ketemu?" tanya Raline akhirnya setelah memberanikan diri.
"Sebentar ya, Bu. Saya tanya dulu ke tuan rumah." Perempuan itu bergegas masuk ke dalam, meninggalkan Raline yang dengan gelisah menunggu. Butuh lima menit bagi perempuan itu untuk mempersilakan Raline masuk dan duduk di ruang tamu. Setelah bertanya hendak minum apa, perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah.
Detik demi detik dilalui Raline dalam kesunyian, karena ruang tamu tersebut nyaris kedap suara. Tak terdengar aktivitas apapun di dalam, seolah memang ruangan ini dikhususkan untuk bercengkerama tanpa terganggu. Tidak ada foto keluarga, atau apa yang menunjukkan bahwa rumah ini milik sang atlet.
Tak berapa lama, seorang perempuan dengan kemeja putih bergaris dan rok selutut berwarna biru keluar dan menyalami Raline. Rambut perempuan itu panjang dan agak ikal di bagian bawahnya. Raut wajahnya tampak sedikit lelah tetapi tak mengurangi kecantikan alaminya.
"Dengan siapa saya bicara?" Perempuan itu menampilkan ekspresi ramah. Suaranya seperti lagu mellow yang mengalun, membuat siapapun yang mendengarnya akan mudah terhanyut.
"Saya Raline."
"Salam kenal ya, Mbak Raline. Saya Tasya." Perempuan itu tersenyum sekali lagi, yang membuat Raline semakin kikuk. Tak lama, perempuan bersanggul tadi keluar mengeluarkan dua buah minuman yang diletakkan di depan kedua orang tersebut. "Silakan diminum, Mbak Raline."
Raline meraih gelas tersebut dan menyesap isinya, hanya sekadar untuk menyenangkan tuan rumah. Setelah itu, ia tanpa basa-basi menyatakan maksud kedatangannya. "Anu, sebenarnya ... saya sedang ingin bertemu dengan Pak ... Athalarik Darwis."
Mendengar perkataan Raline, perempuan itu menarik napas panjang. "Kalau boleh tahu ... apa saya boleh tanya, Mbak Raline ada keperluan apa hendak bertemu dengan Mas Atha?"
"Saya ... saya fansnya." Raline sudah mempersiapkan jawaban jika ada yang bertanya keperluannya. Ia mempelajari biografi Athalarik semalaman untuk mengatasi pertanyaan itu. "Saya cuma pengen ketemu dan ... minta foto."
Jawaban yang sangat umum, tidak mencurigakan. Tasya manggut-manggut dan meskipun ekspresinya kini tampak sedih, ia masih menyunggingkan senyum. "Makasih ya, udah jauh-jauh datang kemari. Tetapi maaf banget, Mas Atha sekarang nggak bisa ditemui."
Raline tersentak. "Maksudnya Mas Atha lagi keluar rumah? Atau sedang ada perlu?"
Gelengan kepala lemah Tasya segera menjawab pertanyaan gadis itu. "Jujur saja ya, sudah banyak orang yang datang ke rumah ini dan ingin ketemu, tetapi ... saya sendiri tidak bisa memberitahu tentang Mas Atha."
"Oh, kalau memang Mas Atha lagi repot, nggak papa kok. Saya cuma mau ketemu aja, kalau memang nggak bisa ya sudah." Meskipun disusupi rasa kecewa, Raline merasa lega bahwa D atau Athalarik berada di rumahnya. Ia akan mencari cara untuk bertemu sekali lagi untuk memastikan bahwa mereka berdua adalah orang yang sama.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar enam sampai tujuh tahun keluar dan menggelayut manja di pangkuan Tasya. "Mama ... ayo katanya kita mau ke kolam renang."
"Sebentar ya, Sayang. Mama ada tamu." Tasya mengusap wajah anak laki-laki itu dengan sayang.
"Putranya Mbak Tasya?" tanya Raline ramah.
Tasya mengangguk. "Iya, Mbak. Sebenarnya tadi kami berdua mau ke kolam renang, sudah janji soalnya."
"Oh, maaf ya, kalau saya mengganggu. Kalau begitu, saya permisi dulu ya. Mari Dek," salam Raline kepada bocah tersebut. "Sampaikan salam saya kepada Mas Atha ya, Mbak."
"Emang papa sudah pulang, Ma?" tanya bocah itu dengan lugu.
Raline kembali tersentak. Ia merasa ada yang aneh dengan segala sesuatu yang terjadi saat ini. "Maksudnya papa itu ... papanya anak ini itu Mas Atha, Mbak?"
"Iya. Ini namanya Edgar, putra saya sama Mas Atha. Saya istrinya Mas Atha, Mbak."
Athalarik Darwis sudah menikah? Seakan ada petir menyambar tubuh Raline, ia berdiri mematung. Dari semua berita yang ada di laman pencarian Google, tak ada yang menyebutkan Athalarik sudah menikah, atau bahkan punya anak.
"Mbak Raline nggak papa?"
Raline tersentak, "Maaf Mbak. Saya cuma kaget, karena di berita ... nggak ada yang menyebutkan keluarga Mas Atha," jawab Raline dengan getir.
"Iya, Mbak. Itu permintaan Mas Atha sendiri. Ia cuma mau dikenal dengan prestasinya, bukan dengan keluarganya. Jadi pernikahan kami privat waktu itu."
Raline manggut-manggut, sembari memegangi dadanya. Kenyataan yang terpampang di hadapannya saat ini jauh lebih menyakitkan ketimbang ia kehilangan D dua minggu yang lalu. Benaknya sudah terasa penuh dan menyebabkan dirinya semakin limbung. Namun, bisa saja ini Athalarik Darwis, bukan D. Gadis itu masih bersikeras dengan keyakinannya. Ia hanya butuh bertemu dengan Athalarik, agar semua bisa jelas dan tuntas.
"Oh, Mbak Tasya, saya boleh tanya satu hal lagi?"
"Silakan, Mbak." Tasya mencium pipi putranya dan meminta agar bocah itu masuk ke dalam.
"Apa Mas Atha ini ... anu," kata Raline yang masih bingung merangkai pertanyaannya. "Apa sekrang Mas Atha bekerja sama Pak Iko Santoso? CEO dari Sans Group?"
Kali ini wajah Tasya tampak tegang. Tak lagi ekspresi senyum yang menghiasi wajahnya sedari tadi. "Mbak Raline ini apanya Pak Iko ya?"
"Ah, anu, saya kemarin ketemu di pestanya Pak Iko. Wajahnya m-mirip ...."
Tasya perlahan menghampiri Raline lalu mencengkeram bahunya. "Kapan terakhir Mbak Raline ketemu Mas Atha? Apa dia sehat? Dia ... dia masih hidup?"
*episode24*
Nah lho. Apakah D adalah Atha yang ternyata punya istri dan anak?
Makin pusing dah. Semoga jantung dan pikiran kalian aman ya setelah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top