22 Worship
Selama beberapa hari Raline tinggal di apartemen D, banyak penyesuaian yang mereka lakukan. Gadis itu selalu bersiap jika pada saat bangun tidur, D akan melupakannya dan belum menonton video rekamannya. Ia akan segera mengarahkan lelaki itu untuk memeriksa ponselnya. Setelah mereka sama-sama saling menyadari bahwa mereka saling membutuhkan, Raline tak sungkan lagi berbelanja dan memasak untuk kebutuhan makanan mereka. Meskipun ia masih mengurangi intensitas keluar rumah. D selalu mengantar jemput gadis itu jika bekerja. Mereka juga sering mengabari jika sedang berada di tempat kerja masing-masing.
Bagi Raline, rasanya seperti ending cerita di dongeng Disney, hidup bahagia selamanya. Namun, penerimaannya mengenai penyakit D, rupanya baru permulaan. Ada bahaya yang mengintai, yang akan menyergap mereka ketika lengah. Saat itu adalah hari ini.
Pagi-pagi buta, Raline ditelepon oleh Pak Dirga yang memintanya untuk mengantarkan istrinya ke pasar. Namun, D baru saja tiba ke apartemen menjelang dini hari, sehingga ia baru saja terlelap. Gadis itu tak tega menyusahkan kekasihnya, jadi ia memesan ojek online. Demi menjaga keselamatannya, Raline merekam video yang mengabari dirinya akan berada di mana pagi ini, termasuk mengirimkan tangkapan layar pemesanan ojol yang berisi data pengemudinya. Setelah memutuskan semuanya aman, Raline berangkat dan berdoa semoga hari ini tidak ada kejadian aneh.
***
D terbangun karena gawainya tengah menjerit-jerit dari atas nakas, mengganggu istirahatnya yang baru beberapa jam. Bukan alarm, melainkan sebuah panggilan masuk terus menerus, seakan meneror D untuk bangun dan mengangkatnya. Lelaki itu menghela napas, merasakan pusing dan bingung sekaligus. Karena dering ponselnya tak berhenti, lelaki itu meraih benda pipih tersebut dan mengangkat panggilannya.
"Ada misi mendadak. Cek video dulu jika kamu baru bangun. Saya butuh kamu ke sini segera."
Lelaki itu bahkan tidak sempat mengatakan halo. Namun, dengan patuh ia mengecek video terlebih dahulu, mengisi kesadarannya kemudian mengecek pesan dari orang yang baru saja menelepon yang ternyata adalah sang bos. Secepat kilat, D bersiap dan pergi ke titik koordinat yang diberikan oleh rekan kerjanya. Saat ia berada di lokasi, ia melihat J, sudah membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan.
Sembari menunggu, D membaca pesan yang masuk ke ponselnya, salah satunya dari Raline. Gadis itu baru saja mengirim pesan bahwa ia sudah sampai dengan selamat di rumah sang bos, dan hendak naik mobil bersama istri bosnya dan sopir. D mengembuskan napas lega, karena ia tadi tidak sempat mengantar kekasihnya itu ke tempat kerjanya.
"Apa itu semua serius, D?"
Rekan kerjanya menatap D dengan ekspresi wajah tegang. Lelaki itu hanya mengangkat bahu karena tak mengerti maksud pertanyaannya.
"Pengunduran dirimu. Tadi malam, kamu berkata akan berhenti bekerja, karena mau menikah dan menjalani hidup normal."
Benarkah? D sepertinya belum membuat video mengenai peristiwa tadi malam karena ia tidak ingat apa-apa mengenai itu. Namun, jika melihat bagaimana hubungannya dengan Raline yang semakin dekat, D merasa keinginan itu wajar.
"Memangnya kenapa? Semua orang pasti akan menikah dan memiliki keluarganya sendiri."
Entah mengapa, ekspresi wajah J seakan tampak marah dan jengkel. "Tidak semua orang, D. Orang-orang seperti kita hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain yang kita sayang. Harusnya ... kita telah memutuskan semua ikatan dengan saudara dan keluarga sebelum memasuki pekerjaan ini."
"People's change, My Friend. I really wanna end this job."
"Bos takkan melepasmu semudah itu. He loves you so much," cetus J seraya mengangsurkan senapan ke arah lelaki itu. "Meskipun kemarin ia tampak menyetujui permintaanmu, tapi aku yakin, bos sudah menyiapkan sesuatu yang akan membuatmu berubah pikiran."
D mengambil senapan itu dan segera menyiapkan isinya. Gerakannya sigapp dan cepat seolah ia tak butuh panduan manual untuk memasang senapannya. Seakan ini adalah reflek hasil sisa ingatan jangka panjangnya yang masih berfungsi. Namun, ia mencoba mencerna ucapan J itu dalam diam, pikirannya sibuk menganalisis apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
"Jangan sampai gagal." Rekan kerjanya kembali mengingatkan.
Seringaian D terpasang di wajahnya, sebagai jawaban atas peringatan klasik itu. D mulai membidik targetnya, sementara J memasang pelindung telinga dan duduk diam di belakang rekannya. Saat D tengah menetapkan target, ada sekelebat bayangan yang menariknya tak jauh dari posisi buruannya. Gedung di seberang tempat mereka melakukan eksekusi merupakan gedung pertemuan yang memiliki banyak lantai dan ruangan. D mencoba melihat bayangan yang berada sekitar dua ruangan dari tempat targetnya. Lelaki itu terkesiap.
Di ruangan itu, tampak sang bos, tengah memeluk kekasihnya dari belakang dan menodongkan pistol di kepala gadis itu.
Bergegas, D menoleh ke arah rekannya dan segera bertanya, "Kau tahu tentang ini?"
"Tentang apa?"
"Bos menyandera kekasihku. Kau tahu tentang itu?" D menarik kerah rekan kerjanya dan menatap lelaki itu dengan garang.
"I've told you. Bos akan menemukan cara untuk mengikatmu selamanya," ujar J, kali ini raut mukanya tenang dan santai. "Terima saja, D. Orang seperti kita takkan bisa hidup normal dan membangun keluarga."
"Nggak bisa. Tolong jangan Raline, demi Tuhan." D mengusap mukanya, merasa lelah dan tidak berdaya.
"Just do your job, excellently as usual. She'll be free."
D menarik napas panjang, lalu kembali memusatkan perhatian kepada targetnya. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha mengabaikan semua itu. Raline dalam bahaya, batinnya. Ia harus berhasil atau gadis itu akan mati di tangan sang bos. Berbeda dengan biasanya, kali ini D mulai berkeringat. Namun, pengalaman dan reflek yang terbangun bertahun-tahun, membuatnya bisa menyelesaikan misinya siang itu.
Target terkapar tak berdaya. D segera mengemasi semua pakaian luarnya dan segera berlari menuju gedung di mana kekasihnya ditawan. Lelaki itu sempat berhenti sejenak dan menghitung posisi lantainya. Setelah itu ia terus berlari, tanpa memedulikan apapun di sekitarnya. Di kepalanya hanya ada Raline.
Kecemasan mulai melingkupi benaknya saat ia tahu detik demi detik berlalu demikian cepat, tetapi ia tak kunjung sampai ke tempat kekasihnya berada. Saat kakinya sudah berada di ruangan yang tadi ia lihat dari seberang gedung, ia dobrak pintunya dan mendapati ruangan itu kosong.
Napas D terengah-engah, tetapi ia mengelilingi ruangan itu, mencari tahu di mana kekasihnya berada. "Tidak mungkin," desisnya. Jaraknya hanya beberapa menit. Di mana sang bos dan kekasihnya berada?
Buru-buru, D mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomer Iko, tetapi nihil. Sepertinya lelaki itu sengaja mematikan gawainya. D mengumpat dan meninju udara. Ia sudah menghubungi nomer Raline dan hasilnya sama, nihil. Lelaki itu jatuh terduduk di lantai dengan tangan memegangi kepalanya. Ia menelan ludah, ketakutan dengan pikirannya yang mulai membayangkan semua kejadian buruk yang akan menimpa Raline.
Ia pun menggaruk rambutnya, lalu bergegas berlari menghampiri rekan kerjanya. Saat itulah ia melihat J tengah menunggunya di depan gedung, dengan mobil hitam yang biasanya digunakan oleh bosnya. D masuk ke dalam dan segera memberondongnya dengan pertanyaan. Namun, J tetap tenang dan tidak mudah tersulut dengan kepanikan D.
"Tugasku sekarang mengantarmu pulang. Jadi diamlah dan biarkan aku menyetir dengan tenang."
*episode22*
Nah lho, baru aja memulai hubungan dengan perspektif baru, Raline udah diculik aja. Apa sebaiknya D mending balik ke kehidupan lamanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top