19 Blank
Rasanya baru beberapa jam yang lalu, lelaki itu berbisik di telinganya, "You are safe with me." Sekarang, Raline sungguh ingin menabok kepala kekasihnya, karena tidak mengenalinya sama sekali.
"D, jangan becanda ya? Kita udah pacaran ... tiga sampai empat bulan ini." Gadis itu menggelengkan kepala dengan defensif. Ia sangat tersinggung karena lelaki itu sekarang menatapnya dengan curiga.
Bel berbunyi lagi, menyebabkan emosi Raline memuncak hingga ubun-ubun. Gadis itu ingin menyuruh tamu yang di depan itu pulang saja, karena ia masih harus berhadapan dengan D yang benar-benar melupakannya. Sungguh, bahkan tatapan D kepada Raline sekarang sudah seperti harimau mengintai musuh.
"Kita ... pacaran?" Mata D berpaling ke arah pintu kamar, seiring dengan bunyi bel yang masih mengganggu. "Oke, maaf. Aku harus ... aku harus ... menjernihkan kepala dulu. Rasanya pusing sekali."
"Oh, kamu masih jet lag? Atau gimana? Perlu aku panggilkan dokter?" Raline mengabaikan perasaan jengkel yang menyergap hatinya, saat melihat D sempoyongan sembari memegangi kepala.
"Aku jet lag? Apa aku dari luar negeri?" gumam D semakin terdengar seperti melantur.
Mendadak ponsel D yang ada di atas nakas berdering. Raline meraihnya dan melihat nama "Dokter Pras" sebagai identitas pemanggilnya. Gadis itu tak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari D saat menjawabnya. "Iya, Dokter?"
"Lama banget sih. Suruh dia cek video yang ada di hapenya dulu. Jangan lakukan hal yang lain!" Suara itu terdengar familiar di telinga Raline, sampai ia menyadari bahwa suara itu sama dengan suara orang yang menunggunya di depan pintu apartemen. Video? Dahi Raline berkerut. Apa hubungannya orang sakit dengan video?
"I-ini ... kepalanya anu, pasien Anda pusing. Anda benar dokter keluarga? Bukan penipuan, kan?" tanya Raline sangsi.
"Astaga naga, Ibu, Mbak, siapapun Anda. Saya lebih kenal pasien saya ketimbang yang lain. Kalau Anda tidak percaya dengan identitas saya, silakan hubungi RS Merdeka di Jl. Cempaka Putih. dr. Prasetyo Wiguna, SpS. Cek IDI juga kalau tidak percaya. Sekarang, kalau Anda masih bandel saja, saya bisa menuntut Anda ke polisi karena menghalangi saya melakukan perawatan kepada pasien saya!"
Raline segera mengangsurkan ponselnya ke arah D, dan memintanya untuk mengecek video. Entah apa maksudnya. Lelaki itu meraih ponselnya dan membuka galeri. Sementara itu, Raline keluar dari kamar dan mengambil ponselnya sendiri lalu mengecek identitas dokter yang berada di luar. Tak butuh lama karena kecepatan internet di apartemen D sangat tinggi, hingga Raline bisa menemukan jawabannya. Ia pun bergegas ke depan, menekan kode kunci untuk membuka pintunya setelah memastikan ia mengenakan pakaian yang pantas. Apartemen yang dipilih D ini memiliki sistem keamanan ganda yang membuat siapaun yang keluar masuk harus tahu kodenya.
"What take you so long?" Sepertinya dokter itu sudah berada di ambang batas kesabarannya. "Apa yang terjadi, kamu bilang dia pusing?"
Dengan menunduk, Raline segera menjawab, "Kemarin ia baru pulang dari Cina. Dan kurang tidur. Saat saya bangunkan barusan, ia mengeluh pusing."
"Di mana pasien sekarang?"
"Di kamar tidur."
dr. Pras segera menuju kamar tidur D. Melihat bagaimana lelaki itu tidak bertanya posisinya, Raline sadar bahwa ini bukan pertama kalinya dokter itu datang ke rumah ini. "Em, sebentar, Dok. Saya boleh tanya sesuatu?"
"Apa?" Lelaki itu menoleh dengan tidak sabar, cenderung gusar.
"D, dia sakit apa?"
"Apa kamu pihak keluarga?" tanya lelaki itu tajam. "Apa hubungan kamu dengan pasien? Kamu bukan teman tidur satu malamnya?"
Raline menggeleng. "Actually, he's my boyfriend. Jadi, apa saya boleh tahu dia sakit apa? Saya punya hak untuk tahu kan?"
"Kamu kekasihnya itu? Wow, I can't believe you become his girlfriend without knowing him. This is something's new. Tapi sebentar ya, saya perlu ketemu sama pasien saya." Lelaki itu bergegas ke kamar D, yang segera dibuntuti oleh Raline. Gadis itu mendesak masuk, karena penasaran dengan penyakit kekasihnya.
"Salam, Devan. Saya dr. Pras, boleh saya periksa kamu sebentar?" Lelaki itu menghampiri D yang masih linglung di tepi ranjang.
"What happened? I've got a headache."
"Well, ya, pacarmu tadi bilang kamu jet lag. Tapi mungkin gejala yang lain lagi. Kalau kamu merasa tidak enak, mungkin bisa kita jadwalkan kontrol ke rumah sakit? Mungkin saya butuh CT Scan lagi."
D menoleh ke arah Raline. "Dia beneran pacarku?"
Astaga, Raline sungguh tersinggung. Apa yang terjadi? Apa tadi malam ada orang yang menyusup ke apartemen D dan mereset semua ingatan lelaki itu? Tidak biasanya D begini. Oh, Raline segera teringat. Beberapa bulan yang lalu, mereka pernah berpisah karena D juga melupakan gadis itu. Apakah ini memang penyakit? Penyakit medis betulan dan bukan karena D brengsek?
"Berdasarkan penuturannya, ya mungkin dia benar. Karena setahuku tidak akan ada orang yang tahu kode kunci apartemen ini kecuali kamu yang memberitahu. Dan dia dari tadi di sini."
"Kami beneran pacaran!" seru Raline defensif. "Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya. Dia tadi malam yang ngajak saya ... ngajak saya tinggal di sini sementara waktu." Wajah gadis itu segera memerah saat mengucapkannya.
"Rasanya mau muntah," gumam D sekali lagi. "Apa ini penyakit serius?"
Sang dokter memeriksa detak jantung dan denyut nadi D, sesekali menekan perut bagian atasnya. "Kalau dilihat dari pemeriksaan standar ini, kamu kelelahan dan belum makan. Bisa jadi efek jet lag yang belum reda. Mau ke rumah sakit sekarang?"
"Ya, tentu. Baiklah." Wajah D terlihat kuyu dan kurang bertenaga. Hal ini membuat Raline yang ingin meninju lelaki itu jadi mengurungkan niat.
"Seharusnya kamu kontrol kemarin, tapi kamu nggak datang. Makanya saya datang ke sini," tutur sang dokter dengan lembut.
"Apa saya punya penyakit serius? Kenapa saya mesti kontrol?" tanya D dengan kebingungan.
Dokter itu menghela napas. "Benar, kamu punya penyakit serius, dan di bawah penanganan saya. Saya dr spesialis saraf. Jadi, kamu masih harus melakukan kontrol rutin. Kamu cek saja hapemu. Ada pengingat jadwal kontrol di sana yang setiap bulan akan mengingatkan kamu untuk ke rumah sakit."
Raline tercengang. Setiap bulan lelaki ini harus kontrol ke rumah sakit? Separah apa kondisinya? Apakah D memang berkepribadian ganda? Di mana saat kepribadian lainnya muncul, ia tidak ingat apa-apa yang telah dilakukannya? Tunggu, kalau kepribadian ganda bukankah harusnya yang memeriksa D adalah spesialis kejiwaan? Memikirkan ini saja kepala Raline ikut berdenyut pusing.
"Kamu, Raline kan?" Saat dokter itu menyebut namanya, Raline terlonjak kaget. Meskipun begitu ia mengangguk. "Bawa dia ke rumah sakit. Cuma pemeriksaan standar, dan nggak usah repot membawa baju atau apa. Pastikan dia makan yang cukup, lalu kalian bisa langsung ke poli saraf di RS. Merdeka."
"Ba-baik, Dok." Raline masih mencerna kejadian ini dalam benaknya.
"Bawa hapenya juga. Jangan dibuka kalau kamu nggak mau syok. Mending kamu antar dia secepatnya, dan saya akan jelaskan semuanya di ruang periksa. Ngerti?"
Tanpa mengucapkan apapun, Raline mengangguk. Dokter tersebut lantas berpamitan, setelah memberi D dua butir obat pereda nyeri. Mata lelaki itu menatap ke arah Raline, merasa bingung, sekaligus lelah. Raline pun mengesampingkan semua pertanyaannya, dan memutuskan untuk merawat D terlebih dahulu. Lagipula, dokter tersebut berjanji akan memberitahu semuanya nanti.
"Hai, D. Masih pusing? Gimana kalau kamu berbaring dulu, aku pesankan sesuatu untuk dimakan?"
Lelaki itu mengangguk lemah. Reflek, Raline segera memeluknya dan mengusap punggung D, seperti yang biasa ia lakukan.
"Maaf, aku nggak ngenalin kamu. Tapi pelukan ini rasanya familiar dan nyaman."
*episode19*
Jadi D sakit apa ya? Ada yang bisa nebak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top