16 Something's Fishy

Raline berusaha sebisa mungkin menjaga ekspresi datarnya di video, padahal hatinya resah bukan main. "Maaf, Pak. Mungkin kita bisa langsung membahas pekerjaan saja? Pak Dirga selalu menekankan kepada kami untuk selalu menjaga efisiensi waktu dan kapabilitas kami. Jadi kalau Bapak Iko tidak keberatan, saya akan langsung membahas kepada pasal-pasal kontrak perjanjian."

"Sure, Darling. Mulai saja."

Bahkan meskipun videonya tampak jernih, tetapi mimik muka Iko tidak terbaca. Apakah itu meremehkan? Mengancam? Dalam hati, Raline berkali-kali berkata untuk tidak mudah terpancing oleh lelaki ini.

***

"Dari mana saja kamu? Aku khawatir!" Amarah D menggelegar, nyaris meledak. Suara di seberang sana terdengar ketakutan.

"Aku sibuk kerja. Temenku kecelakaan, ini aku mau pulang."

"Jangan ke mana-mana, aku udah mau nyampe sana. Dengerin aku, jangan naik taksi, angkot atau ojol. Tunggu aku di situ!" seru D seraya berkacak pinggang.

"Iya, iya. Aku di dalam kantor. Nanti kalau sudah sampe, kabari aja. Aku turun."

Lelaki itu segera mengemudikan motornya, yang melesat membelah jalanan. Ia memutuskan untuk menaiki motor karena lebih cepat dan mampu bertahan di tengah kemacetan. Seharian tadi ia tidak bisa tenang, karena Raline mengabaikan semua pesan dan teleponnya. Untunglah, sorenya gadis itu sudah bisa dihubungi dan terdengar baik-baik saja.

Diam-diam, D tadi menyelidiki sang bos yang saat ini sedang berada di Cina. Lelaki itu curiga kalau sang bos yang mengirimi Raline penyerang itu, karena hubungan mereka telah terendus. D mendesah. Ia sudah sebisa mungkin menyembunyikannya karena ia sendiri menaruh curiga kepada sang bos akhir-akhir ini. Sebelumnya sang bos menyuruhnya fokus kepada kompetitor terbesar mereka, pengusaha ternama di bidang pertambangan bernama Arif. Iko juga selalu menekankan kepada D agar kehidupan pribadinya tidak merembet ke pekerjaan.

Sesampainya di kantor Raline, D segera menelepon, menyuruhnya untuk segera turun. Ketika akhirnya sang kekasih keluar dari gedung, D mengembuskan napas lega, karena melihat sendiri gadis itu terlihat baik-baik saja.

Hari ini terasa padat sekali. D mengantarkan Raline ke kosannya, kemudian menyuruh gadis itu tidak ke mana-mana sendiri beberapa hari ini. Gadis itu mengangguk dan dengan wajah mengantuk segera masuk ke dalam kos.

Ketika D sudah kembali ke apartemennya, ia mencatat semua yang terjadi, sembari menambahkan catatan mengenai sang bos hari ini. Raline bercerita bahwa Iko sempat menyinggung kekasih Raline pada percakapan mereka tadi siang, seolah mengesankan bahwa sang bos sudah tahu rahasia mereka. Kegundahan D makin menjadi. Ada yang tidak beres dengan sang bos. Harusnya ia tidak boleh lengah sedikit pun. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, sementara ia membaca hasil catatan yang ia buat.

Ponselnya berdering. Sebuah pesan dari sang bos. Jantung D berdegup kencang, karena Iko menyuruhnya melakukan tugas yang tidak biasa. Lelaki itu segera mengkhawatirkan kekasihnya, yang baru saja diserang. Kali ini Iko menyuruhnya segera ke Cina, menyusul sang bos yang sudah lebih dulu di sana. Seperti biasa, ia akan didampingi oleh J. Tangan D menggaruk kepalanya dengan keras, merasa panik dengan perintah tiba-tiba ini. Bisakah ia meninggalkan Raline sendirian sekarang?

Demi mencegah sang bos mengganggu Raline, akhirnya D memutuskan untuk terbang ke Cina, dengan jet pribadi malam itu juga. Seperti biasa, J memegang semua dokumen penting milik D, hingga lelaki itu tidak pernah tahu seperti apa rupanya di paspor maupun nama yang tercetak di sana. Namun kali ini, ia tergelitik rasa penasaran.

"Boleh kulihat?"

"Apa?" J segera defensif.

"Pasporku."

"Bos bilang, semua urusan administrasi itu bagianku. Kamu cukup fokus sama pekerjaanmu." Rekan kerjanya itu bahkan tidak memandang mata D saat mengatakannya.

"Yah, kepo aja sih. Apa fotoku di paspor sama kerennya dengan aslinya," sahut D santai. Ia bahkan menambahkan tawa demi menutupi ketegangan yang ada dalam pikirannya. "Apa bos pake paspor palsu? Semua namaku dan identitasku dipalsukan?"

J tidak menjawab, melainkan memalingkan muka dan memejamkan mata. Kali ini, D sabar menunggu. Namun, rekannya itu memang sekuat baja. Ia tidak tidur sedikitpun sepanjang perjalanan. Justru D yang mulai terserang rasa kantuk, meskipun ia sekuat tenaga bertekat untuk tidak tidur. Ia sudah mengirim pesan kepada Raline yang entah dibaca atau tidak, karena ia harus mematikan ponselnya saat terbang.

Sepertinya kali ini Tuhan berpihak padanya. J akhirnya tertidur, dan tampak pulas sekali. Berusaha tanpa menimbulkan suara, D membongkar tas milik rekannya. Ia menemukan dua paspor, visa dan semua administrasi yang mereka butuhkan di dalam tas itu. Yang satu atas nama Jonathan Lie, di mana fotonya adalah foto rekan kerjanya. Dengan jantung berdebar, D membaca nama paspor yang seharusnya adalah miliknya. Athalarik Darwis.

Napasnya memburu. Di kolom foto, terpampang fotonya. Namun siapa Athalarik Darwis? D mengembalikan semua dokumen itu ke tempatnya, lalu segera mengambil pulpen dan secarik kertas dari tas J. Buru-buru ia menuliskan nama Athalarik Darwis ke kertas tersebut dan menyimpannya dengan baik. Setelah itu, ia menarik napas panjang lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Seperti biasa, tak peduli sekeras apapun ia berusaha, ia tidak bisa mengingat atau merasakan sesuatu ketika memaksa untuk mencari nama itu dalam benaknya. Semuanya blank. Kosong. Ia bertekad akan mencari nama itu setelah tiba di Indonesia. Fokusnya sekarang, menyelesaikan semua perintah sang bos agar bisa meredam kecurigaannya kepada Raline.

"Welcome, My Man, Devan!" Iko memeluk erat D saat mereka tiba di bandara. Di sisi Iko ada lelaki bermata sipit dan berkulit khas Asia, mengenakan jas hitam dengan dasi merah. Wajah lelaki itu tampak jemu. "Pakai nama asli di sini. Jangan gunakan inisial." Sang bos berbisik ke telinga D.

D menyalami lelaki di sebelah sang bos dan menyebutkan namanya. "Devan."

"Call Me Charles." Orang Cina memiliki nama yang susah diucapkan oleh orang asing, karenanya mereka selalu memiliki nama internasional yang memudahkan orang asing untuk menyebutnya. "Iko sudah banyak bilang tentangmu."

Di belakang D, dengan langkah tersaruk-saruk, J menghampiri mereka. "Jonathan. Tapi biasanya dipanggil Jo."

Charles tersenyum lalu mengajak mereka semua untuk masuk ke dalam limo yang sudah menunggu mereka. Di dalam kendaraan, sang bos segera mengatakan instruksinya dengan jelas dan tegas dalam bahasa Indonesia. Setelah D mengerti, Iko menerjemahkan semua percakapan itu ke dalam bahasa mandarin. Kemampuan berbahasa D memang sedikit lemah, jadi ia hanya menunggu sampai sang bos berbicara lagi padanya.

"Ingat, main cantik ya, Devan. Kita nggak mau ada kesalahan di sini." Iko segera menambahkan, "Konsekuensinya akan jauh lebih besar untuk kamu tanggung, jika kamu sedikit saja melakukan kesalahan." 

Terpaksa, D menyunggingkan senyum. Selama sang bos tidak menyentuh Raline, mendaki gunung Himalaya pun ia akan lakukan. "Siap, Bos."

*episode16*

Nah, misi apa yang akan dilakukan oleh D? Kenapa Iko sama Dirga sama-sama ada di Cina? Janjian liburan apa gimana? Apa yang akan terjadi pada Raline setelah ditinggal D melancong?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top