15 Threat
Tidak bisa. Ia sudah tidak bisa menahan diri lagi. Raline akhirnya mengemasi pakaiannya dan memilih pergi secepat mungkin dari apartemen D. Membacanya di novel-novel kisah cinta mafia memang sangat romantis, tetapi mengalaminya sendiri di dunia nyata, ternyata semenakutkan ini. Raline bahkan tidak tahu bagaimana jika ia ikut dituduh sebagai komplotan pembunuh.
Namun, saat ia sudah berada di depan pintu, tangan D mencekal pergelangan tangannya. "Nggak bisa. Kamu nggak bisa pergi sekarang."
"Kenapa?" tantang Raline, berusaha sekuat mungkin menatap D tepat di matanya. Ia tidak mau terlihat ketakutan.
"Raline, kamu ngerti nggak sih? Kamu mau diculik, dan bisa aja kamu dibunuh sama mereka! Ada orang yang lagi ngejar kamu! Bisa aja setelah keluar dari sini, kamu bertemu dengan komplotan mereka dan ngelakuin hal-hal yang nggak mau aku bayangin terjadi sama kamu!" Rahang D terlihat mengeras.
"Si-siapa?" Suara Raline kembali bergetar. Ia teringat saat sebelumnya dikejar dan ditabrak oleh dua orang aneh itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "Siapa yang mau ... mau ... ngebunuh aku?"
"Aku nggak tahu. Aku harus cari tahu dulu."
Tubuh Raline merosot dengan lemas, hingga ia terduduk di lantai. Keberaniannya langsung menguap begitu menyadari bahwa ucapan kekasihnya ada benarnya. "Ta-tapi kamu udah bunuh mereka. Berarti kan yang mau bunuh aku udah nggak ada."
Perlahan D ikut bersimpuh dan memandang wajah gadis itu dengan lembut. "Orang-orang kayak gini, nggak akan kerja sendirian, Sayang. Mereka biasanya berkelompok."
Tatapan Raline penuh curiga. "Apa itu berarti kamu juga ... kamu juga mafia?"
"Jadi itu yang bikin kamu takut sama aku tadi? Kalo aku mafia?" D terkekeh, kedua matanya berkerut. Tangannya segera mendarat di pipi sang kekasih dan mengusapnya. "Pekerjaanku emang melindungi seseorang, Babe. Dan yah, salah satu hal terekstrim yang kami lakukan adalah membunuh. Tapi semua itu hanya upaya pencegahan untuk melindungi orang-orang yang kami sayangi."
Mata Raline berkaca-kaca, sementara kedua tangannya terkatup di depan bibir. "Jadi kamu beneran bukan mafia?" D menggeleng dan tersenyum penuh kasih. "Pembunuh bayaran juga bukan?"
Lelaki itu tergelak. "Ya ampun, Sayang. Bukan."
"Tapi kamu bisa tepat sasaran pas nembak mereka. Kayak udah terlatih." Raline kembali melemparkan tuduhan.
"Soalnya dari jarak dekat. Nggak mungkin meleset. Polisi aja kalau dalam kondisi darurat diperbolehkan menembak penjahat lho. Kenapa aku nggak boleh demi nyelametin kamu?"
Gadis itu mengalirkan air mata sederas sungai, lalu merengkuh tubuh kekar D dengan kuat. "Aku takut. Aku beneran takut."
Melihat kekasihnya masih dililit ketakutan, D membalas pelukan Raline dan mengecup puncak kepalanya. "Aku nggak akan biarin kamu dalam bahaya. I'll do anything for you, Babe."
***
Keesokan harinya, Raline memaksa diri untuk bekerja meskipun D tidak setuju. Namun, Raline beranggapan bahwa ia sudah membuat mobil bosnya ringsek, jadi ia harus bertanggung jawab atas itu. Raline menelepon pihak asuransi dan pihak bengkel untuk menyelesaikan masalah mobil tersebut. Takut-takut, Raline menunggu kabar dari mereka, apakah mereka menemukan jejak pembunuhan di sana atau tidak.
Raline juga mengikuti beberapa laman berita di ponselnya, menunggu apakah ada kabar pembunuhan misterius di jalanan tempat ia diserang. Namun semuanya nihil. Pihak bengkel sudah menemukan mobil Pak Dirga dan berjanji akan menyelesaikan kerusakannya, dengan biaya asuransi.
Kelegaan segera terpancar di wajah gadis itu, tetapi ia masih merasa aneh. Mengapa dua orang itu mengejarnya? Memang apa salahnya? Raline mencoba mengingat wajah orang yang menyeretnya kemarin dan sama sekali tidak mengenalnya. Apakah mereka pembunuh bayaran yang diperintahkan untuk menculiknya? Mau tak mau ia merasa kekhawatiran D cukup beralasan. Karena Alice sedang di Cina bersama Pak Dirga, praktis Raline hanya mengerjakan hal-hal teknis yang berkaitan dengan kantor. Ia merasa aman karena berada dalam gedung kantor yang dikenalnya, bukan di tempat asing. Ia mengenal karyawannya juga security-nya, jadi ia tidak khawatir sedikit pun.
Bekerja membuat pikirannya kembali tenang. Ia akan memberikan laporan tentang kerusakan mobilnya saat Pak Dirga sampai di tanah air, jadi Raline hanya menyampaikan kabar yang penting-penting saja kepada sang bos.
"Halo, Pak Dirga. Untuk laporan yang Bapak minta sudah saya kirim via email ya Pak."
"Lin, bad news. Alice kecelakaan jadi untuk sementara, saya butuh kamu selalu standby ya. Kondisi kami di sini kurang baik. Di sana masih aman terkendali kan?"
Jantung Raline serasa terhenti saat mendengar kata kecelakaan. "Kecelakaan bagaimana, Pak? Bukannya harusnya tim Bapak baru tiba di Cina dua jam yang lalu?"
"Oh, bukan kecelakaan yang parah kok. Sekarang Alice di rumah sakit, dan pekerjaannya sudah digantikan Anto sementara ini. Cuma untuk beberapa hal yang penting, saya assist ke kamu ya." Pak Dirga segera memberikan arahan. Pikiran Raline berkelana ke mana-mana, karena ketakutannya kembali membayang. Apakah memang ada yang sengaja menyakiti orang-orang kepercayaan Pak Dirga, atau ini cuma kebetulan saja?
Untuk beberapa jam berikutnya, Raline pontang-panting mengerjakan pekerjaan tambahan. Ia bahkan harus memesan makan siang dikirim ke kantor karena saking sibuknya. Beberapa pesan dari D tak terbaca, juga beberapa kawan yang tengah berkabar. Raline hanya membuka pesan dari sang bos, juga menerima teleponnya. Sampai ada panggilan masuk dari Iko Santoso melalui google meet, yang membuat Raline ragu-ragu menjawab. Citra lelaki itu masih sangat menyeramkan di benak Raline, apalagi ia mengencani bodyguard lelaki itu. D selalu berpesan untuk tidak menyebarkan hubungan mereka kepada orang lain.
"Selamat siang, Raline." Wajah Meisya yang ramah segera menyapa begitu gadis itu menerima ajakannya. Jika ini bukan perintah sang bos, Raline lebih memilih tidak mau melakukannya. "Pak Iko mau berbicara secara pribadi, terkait beberapa pasal yang harus diubah sebelum kita ke kuasa hukum. Aku sambungin langsung ya."
Selama menunggu, Raline mencengkeram tepian mejanya, merasa panik entah karena apa. Saat suara Iko menyapa pendengarannya, gadis itu terkesiap. "Siang, Pak Iko." Sapaan profesional segera meluncur dari bibirnya. Ia tak mau dianggap meremehkan rekan kerja bosnya.
"Kita bertemu kembali ya, Sayang." Senyuman lelaki itu menyebabkan punggung Raline terasa dingin. Panggilan Sayang yang diberikan padanya sama sekali memberikan efek yang lebih mengerikan. Gadis itu segera menepis pikiran buruknya, supaya tidak membayangkan yang tidak-tidak.
"Baik, Pak Iko. Terkait pasal ...."
"Wah, buru-buru sekali kamu," potong Iko segera. Raline menatap lelaki itu penuh tanya. "Ada banyak waktu, tidak usah terburu-buru. Mungkin kita bisa saling mengobrol mengenai ... kehidupan kamu?"
Meskipun merasa jijik sekaligus merinding, Raline segera menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, Pak. Saya saat ini masih di jam kerja. Jadi saya hanya membahas masalah pekerjaan saja, ya Pak."
"Oh." Iko menanggapinya dengan senyuman ramah. "Berarti selepas jam kerja, boleh dong kita membahas selain pekerjaan?"
Sebelum Raline sempat menyanggah, lelaki itu segera berucap, "Mengenai kekasih kamu misalnya?"
Mata gadis itu membelalak. tatapan Iko padanya seakan mengulitinya hidup-hidup. Apakah lelaki itu tahu hubungan Raline dengan D?
*episode15*
Nah, yang kemarin menebak profesi D, jawaban kamu udah bener belum di bab ini? Udah langsung dijawab sama yang bersangkutan ya. Atau masih ada yang belum percaya sama pengakuan D?
Terus ini bosnya D mau ngapain ya? Kok hawanya merinding?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top