14 Serangan Mental
Raline terhuyung, ia berusaha keluar dari mobil dan melangkah mencari pertolongan. Namun, jalanan tampak sepi karena saat itu sudah pukul sebelas malam. Gadis itu merasa bersyukur dirinya tidak memiliki luka-luka, tetapi mobil bosnya sudah nyaris tak keruan.
"Oh, astaga, Tuhan," desis Raline. Dengan tangan gemetar ia meraih ponsel, hendak menelepon mobil derek. Ia lupa bahwa ia tadi menajdi target pengejaran seseorang.
Dua orang yang tampak seperti orang biasa—mengenakan kaus dan celana jins—menyergapnya dan menarik gadis itu untuk masuk ke dalam mobil. Raline berteriak sekuat tenaga dan meronta. Apa daya, kekuatannya tidak cukup untuk melawan dua orang itu. Sampai kemudian, ada sesosok lelaki berjas hitam, menghampiri mereka. Salah satu dari dua orang yang menangkap Raline, mengeluarkan pistol tetapi sosok tersebut lebih gesit. Dalam dua kali tembakan, dua orang yang meyergap Raline kini tumbang bergelimang darah.
Raline membekap mulutnya, masih mencerna situasi yang ada. Tangannya masih gemetar, kakinya pun selembek agar-agar. Nanar, matanya menangkap wajah orang yang menyelamatkannya. Dengan ekspresi dingin yang khas, Raline tak mungkin salah mengenali wajah lelaki itu.
***
"Apa sih pekerjaanmu yang sebenarnya?"
D berbaring di sisi Raline, menggenggam tangannya erat. Mereka tengah bercengkerama di depan televisi, di salah satu ruangan di apartemen yang ditinggali D.
"Bodyguard."
"Bukannya bodyguard harus mendampingi bosnya terus menerus?"
"Bodyguard bosku banyak. Nggak cuma satu."
"Itu cuma ngelindungin aja kan?" cetus Raline, matanya memandang wajah kekasihnya dengan intens.
"Emangnya yang kamu bayangin apa?"
"Nggak pernah sampai bunuh orang, kan?"
***
"Apa yang ... apa yang ..." Suara Raline lirih nyaris tak terdengar. Perutnya segera bergolak, membuat gadis itu mendadak ingin muntah. Dengan sigap, lelaki penyelamatnya—tak lain dan tak bukan adalah D—menangkap tubuh Raline yang hendak tumbang. Gadis itu tak mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. Semua yang terjadi saat ini, terlalu cepat untuk dimengerti.
"Ayo, kita nggak punya banyak waktu." D menarik kekasihnya menjauh, ke arah motor yang terparkir di dekat sana. Tanpa banyak kata, D memakaikan helm, serta jaket ke tubuh Raline. Setelah itu mereka berboncengan menjauh dari tempat itu. Raline hanya bisa memeluk tubuh D erat-erat. Dalam pikirannya, situasi yang terjadi saat ini sungguh berbeda dengan hal terekstrim yang terjadi dalam hidup Raline. Sebuah pembunuhan—ralat, dua pembunuhan—pengejaran oleh orang misterius, bukan hal yang dibayangkan gadis itu terjadi dalam hidupnya.
D berhenti di basement parkiran milik apartemennya. Raline berusaha turun dengan mengerahkan sisa tenaganya. Saat kakinya mencapai tanah, ia sudah tidak sadarkan diri.
Begitu membuka mata, Raline mengenali langit-langit kamar D yang berwarna abu-abu. Segala sesuatu di apartemen lelaki itu memang berwarna kelabu, atau hitam. Raline mencoba bangkit, tetapi kepalanya masih terasa pusing. Tangannya menyentuh kulit seseorang yang terasa hangat, hingga gadis itu terkesiap.
"Astaga!" desis gadis itu. Namun, ia segera mengingatkan dirinya, bahwa toh mereka pernah tidur bersama, di saat mereka bertemu kembali setelah enam bulan berpisah. Harusnya ia tidak perlu sekaget itu. Di sebelahnya D tertidur tanpa mengenakan atasan, tampak pulas dan nyenyak. Reflek, Raline meneliti pakaiannya, yang sepertinya sudah berganti dengan kaus dan celana panjang, yang sedikit kebesaran. Meskipun ia tidak yakin bahwa D akan melakukan apapun padanya saat tidur, ia mengintip kausnya dan melihat bahwa pakaian dalamnya masih sama, tidak diganti. Raline perlahan duduk di tepi ranjang, lalu melihat ada segelas air yang ditutup dengan kertas yang bertuliskan : makanan ada di dapur. Senyuman terpasang di wajahnya, merasa lelaki ini sungguh perhatian. Setelahnya, ia meminum air tersebut, sebelum akhirnya melangkah ke dapur. Ini bukan pertama kalinya ia berada di apartemen D, jadi ia hafal letak dapurnya.
Di dapur, ada beberapa makanan kesukaan Raline, spageti carbonara dan ayam kungpao. Dengan cekatan, gadis itu menaruh semuanya di microwave secara bergantian, lalu mulai memakannya perlahan. Setelah perutnya terisi makanan, barulah ia bisa berpikir dengan jernih.
Di depan matanya, D membunuh orang. Dua orang. Itu sudah cukup mengerikan bagi siapapun yang berada di posisi Raline. "Namun, ia menyelamatkanku ...." bisik hati kecilnya. Mungkinkah orang normal bisa setenang itu menembakkan peluru dengan tepat sasaran? D bahkan tidak ragu-ragu sama sekali. Raline mungkin sedikit kurang ingat dengan pasti, tetapi ia yakin D tidak banyak mengeluarkan peluru. Hanya orang yang terlatih yang bisa melakukan itu. Raline menelan ludah. Walaupun ia ingin menolak, tetapi benaknya mulai merangkai kesimpulan dari kejadian barusan.
"Tidak mungkin."
Apakah D pernah menembak seseorang selain kejadian tadi? Sudah ... berapa orang yang ia habisi? Raline merasakan bulu kuduknya meremang. Apakah D seorang pembunuh?
Tangan gadis itu berhenti menyuapkan makanan, dan menaruh sendoknya begitu saja. Selera makannya menguap entah kemana. Bagaimana ia bisa melanjutkan hidupnya jika ia baru saja menyaksikan pembunuhan, bahkan menjadi komplotan sang pembunuh?
Karena ketakutan, Raline kemudian berniat pergi dari sana secepat mungkin. Ia sangat takut dengan D sekarang. Saat ia hendak berdiri dari kursi bar, tangan yang kekar menelusup memeluknya dari belakang, membuatnya terkesiap. "Pagi." Suara D seperti anak kecil yang mendapatkan mainan yang diidamkannya.
"Ka-kamu sudah bangun?" tanya Raline—mencoba untuk bersikap biasa—tetapi bahkan ia sendiri bisa mendengar suaranya sedikit bergetar.
"Ada apa, Babe?" D menekan dagunya pada bahu Raline, sementara tangannya mengusap rambut panjang kekasihnya. "Kamu keliatan tegang."
"D, kamu ... kemarin sudah bunuh orang."
Lelaki itu berdiri tegak kemudian memutar tubuh Raline agar menghadapnya. "Maksudnya apa? Kamu ngomong apa, sih?"
"Kamu nggak inget?" Raline merasa aneh karena lelaki itu lagi-lagi melupakan sesuatu. Padahal selama mereka berhubungan, lelaki itu selalu ingat segalanya. "Kamu nggak inget aku lagi?"
D berdeham. "Kamu Raline. Pacarku. Memang apa lagi sih yang butuh kubuktiin lagi?" Lelaki itu tampak tersinggung dengan pertanyaan Raline. "Kamu lahir tanggal 12 Maret 1999, bintangmu Aries ...."
"Bukan itu," sergah Raline kasar. "Kejadian tadi malam. Aku tabrakan, ada dua orang yang ... terus kamu datang nyelamatin aku, tapi kamu bunuh mereka!"
Lelaki itu kembali memasang ekspresi dingin, sama seperti tadi malam. Raline bahkan merasa ketakutan dengan kekasihnya sekarang. Sesuatu yang belum pernah diperlihatkan D selama ini. Ia tidak pernah setakut ini kepada D. "Aku nyelametin kamu, tapi kamu malah takut padaku?"
"D ... ini pembunuhan!"
"Jadi kamu lebih suka, kamu yang terkapar di sana penuh darah, sementara aku harus bersedih karena nggak bisa nyelametin kamu?" Ekspresi D sungguh tak bisa ditebak.
Raline sendiri tak bisa menyangkal bahwa ucapan lelaki itu ada benarnya, tetapi menolerir pembunuhan jelas bukan hal yang dianggap sepele. "Bukan gitu. Tapi gimana dengan polisi? Kamu bakal dituduh ...."
Lelaki itu menyeringai—membawa Raline kembali dalam ketakutan. "Kalau kamu nggak bilang apa-apa, mereka nggak akan tahu, kan?"
*episode14*
Nah, kena mental nggak tuh si Raline? Kalau saran aku sih, lari aja Mbak, kabur. Merinding juga punya pacar sikopet. Kalau kejadian ini kalian alami, kalian bakalan lari atau tetap bertahan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top