13 Attack
Apesnya, Raline malah diminta mendampingi sang bos saat mereka melakukan pertemuan dengan perwakilan Sans Group. Secara teknis, kedua asisten Dirga diharuskan hadir. Jadi Alice bersama Raline terbengong-bengong saat mereka tiba di perusahaan furnitur yang dibawahi oleh Sans Group pimpinan Iko Santoso. Semua desain kursi, meja serta rak di sana sungguh unik. Nyaris tidak ada yang sama dalam satu ruangan.
Sekali lagi, Raline bertemu muka dengan D. Entah bagaimana caranya, tetapi lelaki itu sungguh pandai mengontrol ekspresi wajahnya saat bersama sang bos. Datar dan terlihat dingin. Berbeda dengan perlakuan D kepada Raline beberapa jam yang lalu. Gadis itu pun bersikap profesional, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka telah menghabiskan waktu berdua tadi malam. Hanya Meisya yang sesekali mencuri pandang ke arah D dan Raline, lalu tersenyum penuh rahasia.
Pertemuan berlangsung cukup lama. Raline sendiri harus beberapa kali disenggol oleh rekannya karena tampak mengantuk. Mata gadis itu terpejam beberapa saat, sehingga ia sempat kehilangan pemahaman ketika mendengarkan omongan sang bos dan Pak Iko. Untung saja, Alice sigap mencatat semuanya. Memang dibandingkan Raline, Alice sangat terampil pada dokumen. Sementara Raline, sangat tangkas dan sigap jika dihadapkan untuk berbaur dengan orang, pesta serta tugas-tugas menyangkut fisik lainnya. Karena itu Pak Dirga selalu membagi tugas kepada mereka berdua, sesuai kemampuan mereka. Sudah sering, Raline ditugaskan mencari barang atau hal penting yang dibutuhkan Pak Dirga. Entah mencari kemeja atau jas yang harus dipakai saat itu juga, atau sepatu. Biasanya saat kondisi darurat terjadi.
Begitu pertemuan selesai, Raline menghela napas lega. Tepat bersamaan dengan jam pulang kerja. Pak Dirga mendesak agar mereka membeli sesuatu sebelum pulang untuk dimakan sembari perjalanan pulang. Namun, Raline menolak dan memilih langsung pulang. Untungnya Pak Dirga mengizinkan ia tidak harus absen di kantor. Saat Raline menunggu ojek online yang ia pesan di depan gedung perusahaan, sebuah suara menyapa indera pendengarannya.
"Aku antar pulang, boleh?"
Raline terkesiap. D. Bagaimana mungkin ia ada di sini? Bukankah bodyguard seharusnya selalu mendampingi bosnya? "Nggak perlu. Aku udah pesan ojol."
"Never mind. Bisa dicancel saja ojolnya."
"Jangan, kasihan. Lagian aku nggak pengen pulang dianter kamu," ujar Raline sembari memalingkan wajah.
"Bukankah ada banyak hal yang harus kita bicarakan?" D bersedekap. Raline menoleh ke arahnya, merasa heran. "Aku yakin, ada banyak pertanyaan yang pengen kamu tanyakan."
Gadis itu sontak menggeleng. "Enggak. Sudah nggak lagi, aku ...."
Seorang pengendara ojek datang dan menghampiri mereka. D segera mengangsurkan beberapa lembar uang berwarna merah, memintanya untuk melanjutkan pekerjaannya tanpa harus membonceng Raline.
"Raline. Sudah kubilang, kan? I will make you mine. And I'm sure, kamu juga suka sama saya." D mendekatkan wajahnya ke arah Raline dan berbisik, "Jadi kamu nggak usah susah payah menghindar, karena kamu pasti akan jadi milik saya."
Air mata Raline menitik jatih ke pipi. "Just stop. Apapun yang ingin kamu lakukan, stop. Kamu udah mempermainkan hatiku sampai sejauh ini. Dan aku cuma ingin berhenti. Aku nggak mau suatu saat ketika kamu bosan, kamu akan mencampakkanku lagi."
"Tidak akan. Sungguh. Aku yakin, aku nggak akan bosan sama kamu. Tapi aku bisa janjikan satu hal. Jika suatu saat, kamu lelah dan bosan sama aku, kamu yang akan mengakhiri semuanya." Genggaman tangan D terasa hangat bagi gadis itu. Saat mata mereka bertemu, Raline mencari celah dusta yang ada di sana, tetapi tidak ada. Bisakah hatinya memercayai lelaki ini sekali lagi?
"Aku ...."
Telunjuk D mendarat di bibir Raline. "Berikan aku kesempatan lagi. Kali ini pisaunya ada di kamu. Jika kamu bosan dan ingin mengakhiri semuanya, kamu yang memutuskan talinya. Aku akan menerima itu semua."
Pendar harapan kembali mewarnai wajah gadis itu. Sesuatu yang mungkin bukan berarti selamanya, tetapi sesuatu yang bisa ia kendalikan. Ia yang akan mengakhiri semuanya jika hubungan ini tidak berjalan lancar. Senja hari itu, Raline mengangguk.
***
Seorang lelaki berperawakan tegap mengisap cerutu di balik meja, sementara beberapa pengawalnya dengan jemu berdiri di sisinya. Kemudian seseorang masuk dan menyerahkan beberapa lembar foto. Lelaki itu mengenakan kemeja garis-garis, sementara kacamata hitam bertengger di kepalanya.
"Di belakang Anda, D berkencan dengan seorang gadis, Bos."
Mata sang bos—lelaki berperawakan tegap itu—menatap foto itu sekilas. "Bukannya itu udah biasa?" Suara sang bos bahkan terdengar bosan. "D sudah sering bermain dengan para wanita. Biarkan saja. Itu hiburannya."
"Kali ini, dia setia hanya pada seorang gadis. Raline Prameswari, asisten pribadi Dirga." Lelaki berkemeja itu memasukkan tangannya ke saku celana. "Bukan tidak mungkin bahwa ...."
Tangan sang bos teracung, menghentikan omongan sang lelaki berkemeja. "D masih akan tetap sama. Biar saja dia bermain-main dulu."
"Sudah dua bulan. Menurut Bos ini tidak masalah?"
Kali ini sang bos menjentikkan abu cerutu dan menyandarkan punggungnya pada kursi. "Dua bulan, katamu?"
"Benar, sudah selama itu."
"Lantas, mengapa kamu baru laporkan sekarang?" Amarah mewarnai wajah sang bos, yang lalu menggebrak meja dengan kuat. "Bagaimana D bisa menyembunyikan semuanya dariku?"
"Itulah masalahnya, Bos. Saya baru mengetahuinya akhir-akhir ini, jadi saya harus memastikannya dulu." Kepala lelaki berkemeja itu menunduk.
"Raline katamu? Si asisten itu?" Sang bos menyentuh dagu, sementara kepalanya mulai memikirkan semua pertimbangan yang menyangkut bisnisnya. "Apakah dia lawan ... atau kawan?"
Tidak ada yang memberikan jawaban. Sampai akhirnya sang bos mengedikkan kepala ke arah pengawal di kanan dan kirinya. "Lakukan yang biasa. Jangan sampai D tahu."
"Kita masih harus fokus pada pergerakan musuh kita di Cina. Sementara biarkan dulu si D. Kita masih belum butuh dia sekarang."
***
Raline melangkah menuju parkiran basement gedung, dengan kunci di tangan. Ia disuruh sang bos untuk mengembalikan mobil yang tadi dikendarai Pak Dirga menuju kantor. Pak Dirga sekarang tengah bertolak ke Cina, bersama Alice juga beberapa karyawan terkait. Mereka biasanya berkumpul di gate yang telah ditentukan, tetapi entah kenapa, Pak Dirga kembali ke kantor, kemudian malah naik taksi menuju bandara. Jadi Raline yang harus repot mengembalikan mobil ke rumah.
"Ngerepotin segala deh, Pak. Orang kaya mah bebas," gumam Raline saat akhirnya duduk di belakang kemudi. Berkat bekerja dengan Pak Dirga, Raline harus pontang-panting mengurus sim A beberapa waktu lalu, demi "kejadian darurat" seperti ini.
Mobil segera melaju di jalan raya, dengan suara ocehan penyiar radio yang entah siapa. Sampai i suatu jalan yang cukup sepi, Raline merasa kendaraan di belakangnya tampak membuntutinya dari tadi. Gadis itu bergidik. Ia mencoba menyingkirkan kemungkinan terburuk dari kepalanya, dan berfokus menyetir. Namun, rupanya, mobil itu memang sengaja mengikutinya.
Karena dua menit berikutnya, kendaraan tersebut menabrak mobil yang dikendarai Raline dengan kencang, membuat gadis itu kewalahan mengendalikan lajunya. Benar-benar bencana. Kepala gadis itu merasa pening, setelah akhirnya mobil berhenti dengan sendirinya dalam kondisi ringsek.
"Astaga, Tuhan. Apa yang terjadi?"
*episode13*
Nah lho, siapa nih yang nabrak Raline? Apakah bosnya D? Atau musuhnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top