12 Distraction
Raline berlari tergopoh-gopoh keluar dari lift dan buru-buru duduk di mejanya. Ia segera melongok ke arah meja rekannya, yang tampaknya masih tenggelam dalam berkas. "Sst, Al. Pak Dirga dateng nggak hari ini?"
Tanpa menoleh, Alice menjawab, "Nanti siang, abis lunch. Ada pertemuan sama investor baru. Proyeknya ngeri ini. Kakap."
Mendengar jawaban Alice, Raline menghela napas lega. Ia membuka rak di bawah mejanya, mengeluarkan kemeja dan celana panjang cadangan yang ia simpan untuk berjaga-jaga. GAdis itu mengeluarkan cermin dari tasnya dan terbelalak saat melihat wajahnya.
"Astaga! Kamu abis ngel**te di mana?" pekik Alice yang kini meneliti penampilan rekannya. Gaun malam yang kusut, rambut diikat seadanya. Bekas riasan sudah terhapus dari wajahnya, tetapi tidak menolong penampilan Raline sama sekali.
"Mulutnya ya, ampun deh." Namun, Raline sendiri mengakui dirinya kacau. Jadi ia melipir ke kamar mandi di dalam ruangan sang bos dan segera membersihkan tubuhnya di sana. Setelah mandi dan mengenakan riasan, Raline segera membuka pintu kamar mandi lebar-lebar, demi menghilangkan uap air hangat yang tadi ia gunakan. Gadis itu juga segera membersihkan kaca wastafel dan dinding kaca kamar mandi, agar tidak kentara kalau ia telah mandi di sana. Sang bos sendiri tidak keberatan jika para asisten pribadinya menggunakan kamar mandinya untuk buang hajat, tetapi mandi di kantor dan bersolek di sana adalah hal lain.
"Hei, kamu pasti syok deh denger ini." Alice sudah berdiri di meja Raline, seolah telah menunggunya sejak tadi. "Proyek ikan kakap punya bos. Ternyata kerja sama sama Iko Santoso!"
Raline mengangkat bahu cuek. "Siapa tuh? Salah satu dari sembilan naga?"
Sembilan naga adalah julukan untuk para pengusaha yang menjadi orang terkaya di Indonesia. Identitasnya sulit diketahui, hanya ada rumor-rumor saja mengenai mereka.
"Bukan. Kamu nggak inget? Iko Santoso pemilik Sans Group. Kamu pernah cerita kalau bodyguardnya itu D! Si cowok bra itu!"
Tangan Raline segera membekap mulut rekannya dengan cepat. "Huss, berhenti bilang dia cowok bra!" Namun, gadis itu segera terhenyak. D lagi. Kenapa ia harus bertemu lelaki itu sekali lagi? Lukanya bahkan belum kering. Kejadian pagi tadi masih jelas terpampang di benaknya. Mana bisa ia menghadapi lelaki itu dengan kepala tegak sekarang?
"Kamu sanggup kan, kalau bakal sering-sering ketemu tuh laki?" tanya Alice dengan sendu. Ia memahami betapa Raline bagai zombie selama enam bulan ini. Hanya Tuhan yang tahu apa yang harus Raline lakukan demi bisa bertahan hidup, di tengah mengumpulkan kepingan hatinya yang terserak.
"Aku udah ketemu dia tadi malam. Tadi pagi juga." Gadis berambut panjang itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Matanya sedikit berembun.
"Kok bisa?"
Raline menoleh ke arah rekannya yang menatapnya dengan khawatir. "Aku tidur bareng dia tadi malam. Nggak tahu kamar siapa. Yang pasti di hotel deket sini sih."
"Bujubuneng! Kamu waras, Line?"
Tangan Raline menyentuh dahinya, merasa pening mendadak. "Pesenin sarapan dong, pusing banget."
"Apa kamu istirahat di rumah aja?" Alice meniru gerakan Raline yang menyentuh dahinya. "Nggak panas. Lagian kan, kamu dapat kompensasi. Lupa ya?"
"Damn, iya. Udah terlalu ruwet hidupku sampai lupa sama semuanya."
"Ketularan si D kayaknya kamu. Beneran dia ini cowok red flag dah." Alice segera menuju mejanya dan memesan makanan di ojek online. Setelah itu ia kembali duduk dan menekuni pekerjaannya. "Udah aku pesenin ya. Kalo kamu mau ijin pulang, nggak masalah kok. Aku bisa nemenin Pak Dirga nemuin Pak Iko."
Di rumah Raline malah akan semakin bingung karena tidak ada yang dikerjakan. Karena itu ia menolak mentah-mentah. "Tapi, Al. Tadi D ... inget namaku."
"Yang bener?"
Raline mengangguk. "Beneran. Nama lengkap. Aneh kan? Katanya ia bakal lupa?"
"Yang aneh," ujar Alise seraya menunjuk rekannya menggunakan spidol. "Kenapa kamu bisa tidur bareng dia? Kurang masokis apa gimana dirimu ini? Yang kemarin sakit hatinya kurang berasa?"
Bibir gadis berambut panjang itu mencebik. "Panjang ceritanya. Aku juga nggak mau aslinya, tapi aku mabuk. Makanya ini lagi hangover kayaknya. Plus gegar otak dikit karena ketemu D."
"Ya udah, tunggu bentar. Aku tadi pesenin bubur ayam biar kamu agak enakan. Terus gimana dengan pertemuan berikutnya? Kamu sanggup ngatasin nggak?" Pertanyaan Alice benar-benar menohok jantung. Gadis itu memang suka sekali to the point, tanpa bertele-tele. Karena itu ia sering menangani berkas-berkas penting milik Pak Dirga.
"Nggak tahu deh. Resign apa yak?"
"Gila kali! Kamu kan masih punya tanggungan utang, Line! Nggak segampang itu cari kerja." Alice tahu betul bagaimana kondisi rekan kerjanya itu sekarang. Selain karena mereka bekerja di bidang yang sama, mereka disatukan oleh kesamaan nasib. Meskipun untuk Alice, ia lebih beruntung karena memiliki keluarga yang masih dikatakan mampu.
Kepala Raline kembali berdenyut. "Nggak tahu, Al. Tapi nggak peduli sesusah apa aku berusaha ngelupain dia, dia selalu datang terus. Dan lucunya, mudah sekali ia ngelupain apa yang terjadi, sementara aku harus bersusah payah."
***
D kembali memeluk Raline dan mengelus pipinya. Sementara gadis itu terus menerus memberontak. "Nggak usah malu, Babe. Mulai sekarang, kita akan terus bersama. Aku akan terus mengingat kamu, bagaimana pun caranya."
"Terus bersama?" Raline membeo. "D, kita ini bukan siapa-siapa!" Gadis itu sungguh heran dengan perubahan sikap D yang tiba-tiba. Padahal dulu, D sudah berjanji takkan mengganggunya. Mengapa sekarang ia datang lagi dengan kepribadian yang berbeda?
Lelaki itu mencengkeram kedua pundak Raline, lalu matanya menatap gadis itu lekat-lekat. "Kalau begitu, akan kujadikan kamu milikku. You're mine, from now on."
"Kamu gila!"
"Gila karena kamu," sanggah D dengan senyum di wajah. "Wanna get lunch?"
Raline segera berbalik dan pergi ke lift, tanpa memedulikan lelaki gila yang kini tersenyum memandanginya. Ia masih tak sadar kalau ia tadi memegang buket bunga dan cokelat yang diberikan oleh D. Saat menuju kantor, rekan-rekan kerjanya bersuit dan menggodanya.
"Cie, yang dapat buket."
"Lho, kamu sekarang dah punya pacar ya, Line."
"Asyiknya yang nanti mau malam mingguan."
Raline mengernyit dan saat menunduk, barulah ia sadar ternyata barang-barang pemberian D masih ia bawa. "Ampun deh. Gimana ini buangnya?"
Pagi tadi ia masih bingung karena D. Lalu siang ini, D kembali hadir dan mengganggunya lagi. Sebenarnya, apa sih kehendak Tuhan untuk hidupnya? Mengapa rasanya lawak sekali?
Raline melemparkan buket ke dalam tempat sampah, tetapi ia merasa sayang dengan sekotak cokelat yang tampak mahal itu. Harga dirinya ingin kotak itu juga berakhir di tempat sampah, sementara perasaannya merasa tak tega karena benda ini mahal. Dalam hatinya kembali berbisik, "Jangan-jangan D memang jodoh yang diciptakan untukku. Karena tak peduli sesusah apa aku berlari darinya, ia akan selalu datang."
*episode12*
Nah lho, jadi ngerasa dilema nih. Apakah D memang jodohnya? Atau Raline butuh dikeplak aja biar sadar?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top