10 Coincidence
Brutal. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan D di mata Raline sekarang. Jangan tanya keadaan hatinya. Ia bisa kembali tepat waktu ke kantor, dengan air mata bercucuran dan langkah goyah sepanjang perjalanan adalah keajaiban. Gadis itu merasa dadanya sesak dan matanya pedih saat sudah mencapai kantor Pak Dirga. Ia menghindari tatapan rekan kerjanya saat berpapasan dan buru-buru pergi tanpa menyapa. Oh, tenang saja. Para rekan kerjanya sudah tahu Pak Dirga seperti apa, sehingga mereka berpikiran Raline memang sedang dikejar waktu karena sedang mengerjakan perintah sang bos. Pemandangan gadis itu atau Alice yang berlarian di lorong kantor—kadang naik turun tangga karena lift penuh—merupakan pemandangan yang biasa. Lagipula kalau Pak Dirga tahu, karyawan yang lain menghambat Alice atau Raline karena harus menyapa atau mengobrol—mereka pasti akan kena semprot juga.
Hanya Alice yang segera paham apa yang terjadi saat Raline kembali duduk di meja. Gadis berambut pendek itu tak banyak bicara, hanya memberikan senyum penyemangat saat kedua mata mereka bertemu. Raline memusatkan kembali perhatiannya kepada pekerjaan. Namun, air matanya terlalu deras untuk ditahan, sehingga ia sesekali berhenti untuk mengusapnya.
Hatinya bagai ditusuk-tusuk. Mengapa di film-film atau di novel yang dibaca oleh Raline, kesedihan akibat patah hati ini digambarkan begitu mudah dan cepat? Para penulis atau pembuat film selalu memberikan narasi : beberapa bulan kemudian. Atau adegan berganti di saat tokoh utama sudah berhasil mengatasi kesedihannya, setelah melakukan hal-hal gila seperti mabuk di club, memaki-maki dan kemudian terbangun dengan orang asing di ranjang. Kenapa semua itu terlihat mudah sekali? Kenapa bagi Raline, rasa sakit menusuk itu tak tertahankan dan berlangsung sangat lama?
Sore hari, Raline segera pulang setelah membereskan pekerjaannya. Hidup harus terus berjalan, tidak peduli bahwa kamu sudah dicampakkan saat jam makan siang. Langkahnya tertatih saat mencapai kosan, tubuh luluh lantak. Air matanya yang tadi sempat berhenti, kini mulai menderas lagi. Mengapa film-film itu tidak pernah memperlihatkan kesedihan ini bahkan membuatnya ingin terpisah dari kenyataan?
Kedua tangan Raline membekap wajahnya, tak kuasa untuk memperlihatkan kesedihannya pada dunia. Mereka bahkan belum berpacaran, tetapi gadis itu sudah merasa hatinya hancur berserakan. Ia ingin waktu segera berlalu. Ia ingin segera melompat ke selang waktu enam bulan kemudian, atau beberapa bulan kemudian, di mana hatinya sudah mulai menerima segalanya. Di mana, rasa sakitnya bisa segera berkurang. Namun, tak peduli sekeras apapun ia berdoa, ia masih harus menjalani hidup detik demi detiknya dengan rasa sakit yang masih saja mengendap di sana, entah untuk berapa lama.
Enam bulan kemudian.
Sekali lagi di sebuah pesta. Raline mengenakan gaun pilihan Nyonya Dirga—melangkah anggun mendampingi sang bos untuk bertemu seorang investor penting untuk sebuah proyek. Sang Nyonya tengah berhalangan hadir, sehingga malam itu menjadi malam yang menyenangkan untuk Dirga. Bukan rahasia umum, lelaki itu akan memanfaatkan kesempatan di momen ketidakhadiran istrinya. Raline dan Alice sudah jemu melihat sang bos yang selalu menggandeng perempuan asing, lalu memberikan mereka uang tutup mulut. Lalu sang nyonya yang akan menanyai detail kejadian di mana suaminya berselingkuh. Raline dan Alice sudah sepakat bahwa mereka ada di pihak Pak Dirga—dengan terpaksa. Lelaki itulah yang membayar mereka, sehingga mereka tidak akan membuka aib sang bos. Lagipula, meskipun kedua asisten pribadinya memiliki wajah dan tubuh menawan, Pak Dirga tidak pernah menyentuh mereka.
"Ingat, setelah pertemuan ini selesai, kamu bebas tugas. Terserah kamu masih mau di pesta ini atau langsung pulang. Suruh Pak Aryo anter kamu ke rumah nanti. Yang penting, jangan kasih tahu Nyonya." Selalu begitu titah sang bos. Raline mengangguk mengerti. Ia menduga pasti sang bos sudah ada janji lain malam ini, dengan perempuan panggilan. Pak Dirga tidak mau terikat secara emosional dengan siapapun, karena akan lebih sulit menyembunyikan hubungan rahasia. Ia hanya suka bersenang-senang, dan untuk memenuhi hasratnya, ia lebih memilih dengan orang yang profesional dibayar.
Jadi, Raline mendampingi sang bos saat meeting dan mencatat semua hasil pertemuan itu di tablet. Saat Pak Dirga dan investornya berjabat tangan, Raline berdiri. Menyalami semua orang dengan senyum profesional di wajah. Begitu semua orang keluar dari ruangan, gadis itu menghela napas lega.
Pesta di luar berlangsung sangat meriah, meskipun Raline sama sekali tidak mengenali sebagian besar orang yang ada di sini. Pak Bani, yang empunya acara, sepertinya tengah merayakan pesta ulang tahun istrinya malam itu. Kebetulan saja Pak Dirga diundang dan mereka mengadakan perjanjian bisnis saat itu juga. Walaupun proses yang akan dijalani masih panjang, karena Raline akan membuat draf perjanjiannya sesuai hasil kesepakatan, kemudian meminta persetujuan sang bos. Setelah disetujui, draft itu masih harus disampaikan kepada investornya. Barulah nanti di pertemuan berikutnya, mereka akan menandatangani perjanjian secara sah, dengan ada kuasa hukum masing-masing. Pertemuan ini hanyalah pertemuan pembuka.
Dengan jemu, Raline berjalan-jalan mengelilingi ruangan, tetapi setelah lima menit, semangatnya untuk berbaur langsung pudar. Enam bulan ini rasanya seperti neraka yang harus dijalani hari demi harinya, sehingga ia merasa takjub sendiri karena bisa melewatinya sampai sekarang.
"Raline!" Suara lembut mendayu membuat gadis itu mendongak. Ia mengamati wajah yang ada di hadapannya, mencoba mengenali. "Hai, aku Meisya! Masih inget nggak?"
"Hai." Suara Raline hilang di tenggorokan. Gadis itu berdeham. "Hai, Meisya," ulangnya dengan senyum lebar. Asisten Iko Santoso. Seperti ada bilah pisau yang menyayat luka hati Raline yang baru saja mengering, ketika ia akhirnya menangkap bayangan sosok lelaki yang sangat dikenalinya.
"Have fun, huh?"
Raline menggeleng. "Not really. Ngantuk."
Meisya mengibaskan tangan. "I know the best way for having fun!" Gadis itu memberi isyarat agar Raline mendekat. "Kalo kamu cari cowok kece buat one night stand, dan nggak pengen ada ikatan, aku tahu orangnya!"
Kalimat itu sungguh membuat Raline tidak nyaman. Ia menggeleng dengan kikuk, tetapi Meisya malah tidak sabar menyeretnya mendekat ke arah lelaki yang sedari tadi berdiri diam sembari memegang gelas wine. "D, meet Raline."
Tanpa menunggu, Meisya meraih tangan Raline dan mengulurkannya kepada D. "Ta-tapi kan, aku ... kami ...." Raline dengan bingung menunjuk dirinya dan D secara bergantian. "Udah kenal."
Meisya tersenyum penuh arti dan mengedipkan matanya. D dengan senyum yang masih menawan seperti enam bulan yang lalu menyambut uluran tangan Raline, tanpa canggung sama sekali. "Hai, Raline."
Bahkan, cara D menyebut namanya, masih memberikan efek yang sama untuk gadis itu. Raline menahan napas. Ia hanya menatap Meisya dengan bingung. Gadis itu lalu berbisik ke telinga Raline, "Udah. Seneng-seneng aja. Kamu mau apain dia, bebas. Dia orangnya nggak kolot kok. Mainnya juga oke. Dan yang paling penting." Meisya menoleh ke arah D dan tersenyum, sebelum berpaling lagi ke arah Raline. "Besok pagi dia pasti udah lupa, udah ngapain aja malam ini. Bahkan ia bakal lupa kalo udah kenalan sama kamu. He will forget everything."
*episode10*
Nah lho. Jadinya kok seperti transaksi yang ehem-ehem di novel 21 plus? Apakah D udah kehabisan duit dan nyambi jadi ****** maaf sensor dulu. Apakah setelah ini cerita ini akan jadi cerita hot-hot pop dan ena-ena? Kita tunggu aja ya.
Lanjut ke part berikutnya? Atau udah sampai sini aja?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top