09 Crash

[Mas D, nggak ngopi hari ini?]

Raline memandangi pesan di layar gawainya, merasa sedih karena hingga tengah malam pun, pesannya tidak terbalas. Sesal kembali merayapi hatinya, hingga ia ingin menghapus pesan itu saja.

Wajah lelaki itu kembali berbayang, bahkan di saat matanya terpejam. Perkenalan mereka terbilang cukup singkat, tetapi mengapa lelaki itu susah ia lupakan? D saja tidak mengingat namanya dan menganggap bahwa Alice adalah Raline hanya karena Alice mengaku sebagai dirinya. Apakah ada sesuatu yang bisa menjelaskan kegilaan ini?

Keesokan paginya, gadis itu mendadak memiliki ide yang cukup di luar nalar. Ia akan berpura-pura mengikuti permainan D. Ia raih gawainya, lalu menghubungi nomer lelaki yang sudah membuat hatinya kebat-kebit.

"Halo?"

"Mas D?"

"Iya, Raline."

Gadis itu tersentak. Kenapa saat ia menelepon, lelaki itu bisa mengingat namanya? Apakah kemarin Alice memberinya nomer telepon? Kebingungan melanda gadis itu, tetapi ia memutuskan tetap menjalankan rencananya.

"Hari ini, ngopi di tempat biasa?"

"Boleh."

Raline menggigit bibirnya. "Jam dua belas. Kafe The Attic."

"Baik."

Saat telepon dimatikan, jantung Raline berdebar-debar, seolah ia sedang menjalankan misi rahasia. Apakah ini akan berhasil?

Menjelang makan siang, Raline membereskan pekerjaannya dan berpamitan kepada sang bos yang berada di kantor hari itu. Setelah itu, meskipun kakinya sungguh ingin berlari lebih cepat, ia memaksa untuk memperlambat langkahnya. Sungguh sepuluh menit yang amat menyiksa. Tangannya mencengkeram erat tali tasnya, demi menahan agar dirinya tidak meledak saat itu juga.

Lalu, tibalah saatnya. The moment of truth. Raline sudah mencapai kafe, bahkan aroma kopi dan mentega saling berebut menggelitik penciumannya. Gadis itu menoleh ke sebuah dinding kaca yang memantulkan bayangannya. Riasannya masih oke, tapi ia merasa harus melakukan touch up. Jadi ia meraih bedak dan lipsticknya, memulas wajahnya sekali lagi. Kemudian ia menegakkan badan dan memaksa tubuhnya santai saat kakinya memasuki kafe itu.

Pandangannya memindai sekeliling, lalu terantuk pada sosok lelaki yang sedang menekuni secangkir kopi di hadapannya. Jadi, Raline melangkah ke kasir, menyebutkan pesanan dan membayarnya, dan meminta pelayan untuk mengantarkannya ke meja di sudut ruangan.

Jantung Raline masih berdebar keras, buku-buku jarinya memutih saat mencengkeram tali tasnya kuat-kuat. "Mas D."

Lelaki itu mendongak, tatapannya seakan menguliti Raline sampai ke tulang. "Raline."

Gadis itu terkesiap. Momen ini sungguh mengejutkannya. Lelaki itu kini mengenali dirinya. Menyebutkan namanya dengan tepat. Bagaimana bisa? Bukankah kemarin, lelaki itu terus mengejarnya dan dengan gigih bertanya siapa namanya?

Sungguh, Raline tidak siap. Rencananya porak poranda. Lututnya melemas, hingga tubuhnya sempoyongan. Tangan D sigap mencekal pergelangan tangannya, lalu membantunya duduk.

"Kamu sakit?"

Raline tidak segera menjawab, melainkan menggosok-gosok kedua telapak tangan dan menempelkannya di pipi, demi membuatnya sadar. Baru setelah kesadarannya pulih, ia mengalihkan pandangannya ke arah D dan berkata, "Nggak kok. Kaget aja."

"Kenapa kaget?" Dahi lelaki itu mengernyit.

Lagi, gadis itu merasa gamang. Namun, ia kembali pada tujuannya, mengetahui kebenaran dari lelaki ini. Tidak perlu lagi permainan, tidak perlu lagi ada rencana. "Karena ... kali ini Mas D ingat namaku." Setelah mengucapkan itu, kelegaan segera menyembur keluar, seakan beban berat yang selama ini menggelayuti dada Raline hilang sudah.

***

Jawaban Raline sungguh tak terduga bagi D. Pertahanan lelaki itu tampak goyah. Ekspresinya tampak gabungan antara terkejut dan ketakutan. Hanya beberapa detik, lalu ekspresi datar itu kembali lagi. Keraguan lalu membayang di wajahnya, sampai akhirnya keluarlah kalimat tanya, "Memang ... biasanya saya ... nggak ngenalin kamu?"

Wajah Raline diliputi mendung. "Beberapa waktu ini ... mungkin dua minggu. Mas D nggak ngenalin saya. Padahal sebelumnya kita ... eum, kita ... "

"Kita pernah tidur bersama?"

Kali ini, Raline yang terlonjak kaget. Lalu menggeleng perlahan. "Belum." Sadar dengan jawabannya yang terasa sangat aneh, gadis itu buru-buru meralat, "Enggak. Maksudnya enggak pernah."

Bibir D segera menyunggingkan senyum tipis, saat melihat ekspresi Raline yang panik sekaligus malu. "Tenang, saya bukan tipikal orang yang suka ngajak tidur orang random, kok. Saya cuma menyimpulkan dari penuturanmu yang agak terbata-bata."

"Maksudnya cuma pergi makan. Ngobrol, gitu."

"Oh, nge-date? Oke, jadi kita pernah nge-date."

Semburat merah segera membanjiri wajah gadis itu saat mendengar celetukan D. Hal yang membuat lelaki itu gemas setengah mati.  Bahkan kepanikan yang tergambar di wajahnya sungguh nyata.

"Enggak, eh, maksudnya ... aduh. Gimana ya? Cu-cuma ngobrol, makan bareng aja kok."

D menikmati ekspresi yang terpancar di wajah Raline sembari bertopang dagu. Menyenangkan. "Saya suka sama kamu. You're cute." Lelaki itu menyeringai.

Kali ini, Raline merengut kesal. "Dulu juga ngomong gitu."

"Oh, jadi ini bukan pertama kali, saya bilang saya suka sama kamu?" D manggut-manggut. Akhirnya ia mengerti, mengapa saat ia melihat Raline pertama kali di kafe ini, ekspresi wajahnya tampak sedih. "Maaf ya, Raline. Maaf karena saya sudah lupa sama kamu."

"Tapi kenapa?" Mata Raline diselimuti tanya. "Kenapa, Mas D bisa lupa?"

"Saat ini ... saya tidak bisa bilang. Maaf." D tersenyum kecut. "Apa kamu juga suka sama saya?"

"Ma-maksudnya?"

"Just in case. Saya hanya ingin memperjelas saja status di antara kita, tanpa ada aksi tarik ulur yang tidak ada gunanya. Tapi jika kamu tidak mau menjawab, saya mengerti." D menarik napas panjang.

"Saya ... saya suka sama Mas D," aku Raline jujur dengan nada sedih. Ia menunduk demi menyembunyikan ekspresi wajahnya. "Dan ini juga ... bukan yang pertama kali, saya bilang begini."

"Lalu saya mematahkan hati kamu, begitu?"

Raline menggigit bibir dan mengarahkan matanya ke arah jalanan yang terlihat dari dinding kaca transparan. "Ya, I think so. Kayaknya begitu."

Tidak ada percakapan di antara mereka, sampai pesanan Raline datang. Namun, gadis itu tidak lagi memiliki selera makan. Ia menatap jemu ke arah kentang goreng dan vanilla lattenya. D menyatukan kedua tangannya, merasa ia harus segera mengakhiri hubungan di antara mereka.

"Raline, sepertinya ... saya harus mengatakan ini. Saya memang suka sama kamu. Kamu cantik, kamu ... euhm, lucu. Kamu menarik, jujur saja. Tapi ... saya tidak bisa meneruskan hubungan ini sama kamu. Apapun yang terjadi di antara kita."

"Ta-tapi kenapa?"

"Masalahnya di saya, bukan di kamu. Kamu akan rugi, kalau terus menerus mengharapkan saya. Atau melanjutkan hubungan ini. Sekali lagi saya minta maaf."

Air mata gadis itu merebak lalu mengalir keluar membanjiri pipinya. D tak kuasa melihat itu, tetapi ia harus menguatkan hatinya.

"Raline. Saya sudah menyakiti kamu beberapa waktu ini, sekarang pun saya hanya bisa menyakiti kamu. Ini bukan permulaan yang baik untuk menjalin hubungan. Jadi, terima kasih atas kebaikan kamu. Juga perasaan kamu kepada saya. Namun, kita memang sebaiknya tidak bersama."

*episode09*

Nah, patah hati lagi deh tuh si Raline. Udah tamat sampai sini aja kali ya? Ha ha ha...



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top