08 Penantian
"Saya bukan pembohong." Pada akhirnya D mengucapkan kalimat tersebut, sebelum Raline dan temannya berlalu dari hadapannya. "Saya cuma tidak bisa mengucapkan kebenarannya sekarang."
"Sama aja!" tukas teman Raline kecut.
***
"Kamu lihat sendiri kan, Al! Segitu anehnya tuh orang! Dan aku bego banget sampai harus baper karena dia."
Alice mengusap punggung rekan kerjanya, berusaha meredam kemarahan. "Tapi, kamu tahu nggak? Aku ngaku sebagai Raline, saat ketemu dia tadi. Dan dia nggak ngenalin aku atau namamu. Pas kamu datang, dia langsung ngejar kamu kan? Mungkin emang dia sakit, Lin. Cuma kita nggak tahu sakitnya apa dan kayak apa."
"Terus kenapa dia nggak bilang? Kalau dia bilang dari awal kan, aku pasti ngerti." Raline masih protes sembari mengerucutkan bibir.
"Dia udah ngomong kalau dia punya alasan. Kenapa nggak kamu coba hubungi dia secara pribadi, dan tanya? Mungkin kalau cuma ada kalian berdua, dia akan lebih terbuka?"
Raline bimbang, sementara kata-kata Alice mulai meresap dalam benaknya. Mungkinkah sejak awal harusnya dia lebih bersabar dan bertanya dulu kepada D? Bukannya tersulut emosi dan mudah menghakimi lelaki itu? Gadis itu menghela napas. Ia memberikan senyum simpul kepada Alice dan berkata akan memikirkan sarannya. Mereka berdua kemudian kembali tenggelam dalam kesibukan dan tak bicara mengenai D lagi.
Keesokan harinya, Raline bertekad akan bertanya. Sejak pagi, ia membulatkan tekad dan berjanji tidak akan kabur sebelum mendapat penjelasan yang lengkap dari D. Ya, Raline akan berusaha menguak semua misteri lelaki pelupa itu.
Menjelang jam makan siang, Raline bergegas ke kafe, bersiap untuk menyerbu D. Ia sengaja memesan duluan dan duduk di kafe tersebut, kemudian menunggu kedatangan lelaki itu. Setiap lonceng yang tergantung di pintu kafe berbunyi, gadis itu sontak menoleh dan mendesah kecewa saat pengunjung yang masuk rupanya bukan lelaki yang ia harapkan.
Ke mana lelaki itu? Biasanya dia sudah berdiri menunggu di kafe ini setiap jam makan siang. Apa D ... tersinggung dengan kata-katanya kemarin? Raline menggigit bibir. Semakin siang, harapannya semakin tipis. Ia sudah tak berani berharap macam-macam lagi. Ia kembali, saat jam makan siang telah habis.
Namun, gadis itu meniru kegigihan D. Keesokan harinya ia menunggu. Sekarang ia tidak memesan kopi atau makanan, melainkan hanya menunggu di depan kafe. Ia ingin memperluas jarak pandangnya sekarang. Ia membawa bekal makanan yang sudah ia makan sebelum ke kafe ini, karena keuangannya akan jebol jika makan dan minum di kafe itu setiap hari. Selama beberapa hari ini, ia selalu ditraktir Alice atau menggunakan kartu kredit Pak Dirga karena sekalian membelikan minuman kesukaan sang bos. Hingga jam penantiannya berakhir, Raline terpaksa harus menggigit jari karena D tidak muncul.
Saat menunggu, Raline sedikit demi sedikit mulai merasakan simpati kepada D. Apa seperti ini yang dilakukan oleh lelaki itu selama menunggunya? Diterpa gelombang harapan yang makin lama makin menipis hingga tak bersisa setiap menitnya? Gadis itu memainkan jemarinya, merasa jenuh sekaligus gamang. Namun, ia belum memperoleh jawaban. Ia tak mau menyerah terlebih dulu. Semakin hari, pertanyaan di kepalanya semakin banyak dan ia merasa akan meledak jika tak kunjung mendapatkan apa yang ia ingin ketahui.
Saat membenahi helaian rambutnya yang mencuat, Raline teringat bahwa ia memiliki nomer hape lelaki itu. Kenapa ia tidak coba menghubunginya? Segera saja, ia meraih ponselnya dari tas, lalu mencari kontak D. Kemudian pikirannya kembali bercabang. Apa yang seharusnya ia katakan? Apakah ini tepat?
Berulang kali, Raline dilanda kebingungan sebelum ia memilih mengabaikan semuanya dan memilih mengetik pesan untuk D.
[Mas D, nggak ngopi hari ini?]
Pesan terkirim. Detik demi detik berlalu, tetapi pesan itu tak kunjung dibaca. Dengan getir, Raline mendesah kecewa dan kembali ke kantor.
***
Langkah kaki D semakin cepat, saat ia menyusuri lorong-lorong gelap. Pandangan matanya lurus ke depan, tidak terpengaruh apapun. Setiap detik telah ia perhitungkan, setiap celah kesempatan ia telah hitung dengan cermat.
Tidak boleh ada kesalahan. Itu yang selalu menjadi mottonya.
Jadi ia segera berlari, lalu berdiam di pos yang strategis, mengamati targetnya. Ketenangan adalah kunci keberhasilannya, karena itu ia selalu sabar menunggu.
Saat yang tepat.
D tidak pernah tergesa-gesa hanya demi menyelesaikan tugasnya. Karena itu, sementara matanya terpaku pada target, dalam hati ia menghitung. Target sedang melenggang ke satu orang ke orang lain, berbincang dan bercengkerama dengan wine di tangannya. Napas D memburu, saat ia memasang pelatuk dan mengunci sang target.
Amatir akan selalu tergesa dan akibatnya akan sering meleset. D berbeda dengan semua amatir. Rekan kerjanya, J, selalu merengek dan memintanya untuk cepat, tetapi ia hardik rekannya itu dan kembali fokus.
Konsentrasi D terpusat penuh. Lalu saat hitungannya usai, peluru telah bersarang di dada target. Tanpa berisik, tanpa perlawanan. Senyuman D mengembang, lalu ia menoleh ke arah rekannya.
"Sekali lagi kamu berisik, aku nggak segan-segan buat nembak kepalamu!"
J menelan ludah. Ia menunduk dan mengemasi semua perlengkapan yang mereka gunakan. Di sisi lain, D juga melepas semua pakaian luarnya yang berbau mesiu, dan melemparkannya kepada J. Ia sudah sangat jengkel dengan lelaki itu hari ini. Mulai dari mendekati target, berdiam di pos, sampai penembakan, lelaki itu hanya suka merecokinya saja. Dasar amatir. Kenapa sang bos menugaskan lelaki ini untuk mendampinginya? D menghela napas. Kemudian ia melesat keluar dan bergerak secara tersembunyi dari tangkapan CCTV gedung. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan, batin D. Ia menyukai debar-debar yang terjadi saat melakukannya. Ada ketegangan yang akan membuatnya siaga, hingga memutar otak untuk mengantisipasi adanya bahaya.
Di rumah, D segera membersihkan badannya. Ia bersiul-siul dengan handuk yang melilit pinggangnya. Merasa senang karena berhasil. Setelah itu, ia memeriksa pesan masuk yang ada di ponsel. Dari sang bos, yang memuji keberhasilannya. Dadanya membusung, lalu membaca pesan yang lain.
Matanya segera tertuju pada pesan dari Raline. Dahinya mengernyit. Siapa itu Raline? D kembali memutar otak, mencari berkas-berkas yang bisa membuatnya mengingat nama itu. Hasilnya nihil.
Sebuah pesan yang bertanya mengenai keberadaannya. D mengetukkan jari pada nakas di dekat ranjang. Apa hubungannya dengan Raline? Apa mereka teman istimewa? Kekasih? Istri?
D kembali memeras otaknya dan berakhir dengan mengumpat. Tidak ada apapun di sana. Mengingat Raline jauh lebih susah ketimbang memikirkan strategi selanjutnya dalam misinya. Lelaki itu menggeram dan meninju ranjang.
"Raline."
D mengucapkan nama itu keras-keras demi membuat otaknya bekerja.
"Raline."
Ia mengulang sekali lagi.
Dan kosong. Ia merutuk kemampuan otaknya yang jauh lebih mudah membuat strategi melarikan diri, ketimbang mengingat seseorang. Sialan.
*episode08*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top