07 Trap
Suatu hari entah kerasukan dari mana, Alice muncul dan langsung mendekati Raline yang tengah memulas lipsticknya pagi itu. "Kita bikin jebakan yuk!"
Gadis berambut panjang itu melengos dan kini mulai menyisir rambutnya. "Kamu abis kesambet di mana?"
"Ah, kamu mah. Pokoknya kita bikin jebakan. Biar rasa penasaranmu bisa ilang. Dan kita nggak akan bingung lagi." Alice menaruh tasnya di atas meja dan menyalakan komputernya.
"Jebakan apaan sih, Al? Aku masih belum connect nih, kita lagi ngobrol hal yang sama apa nggak." Raline memasukkan semua perlengkapan tempurnya di dalam lemari di bawah mejanya, kemudian berpaling ke arah rekan kerjanya yang kini mulai menghadap layar komputer.
"Masalah cowokmu itu. Si D."
"Dia bukan cowokku ya." Bibir Raline menipis, seperti kesabarannya yang sudah dibabat habis.
Gadis berambut pixie itu berdeham. "Tapi tiap hari kamu ngomongin dia terus."
"Enggak!" sangkal Raline keras.
"Masih nggak ngaku. Gini, dengerin ide cemerlangku ini dulu. Nanti siang, kita ke kafe. Terus, aku aja yang antri ke kasir. Kamu tunjukin aja yang D itu yang mana. Nanti aku pura-pura jadi kamu."
Sontak, Raline tertawa. "Mana mungkin lah, dia dikibulin kayak gitu."
"Kamu bilang, dia nggak kenal sama kamu, kan? Tapi deketin kamu terus dan selalu ada di kafe itu tiap siang. Makanya kita buktiin aja sama-sama. Lagian nggak ada ruginya kan. Kita bisa lunch bareng di kafe itu kalo emang cara ini nggak berhasil." Alice mulai mengecek layar komputer di mana Pak Dirga sudah mengiriminya surel mengenai pekerjaan yang harus ia kerjakan mendesak.
Raline tak kunjung menjawab. Rasanya seperti ide gila. Ia masih ragu bahwa D benar-benar tidak mengenalinya. Karena kalau memang begitu, kenapa lelaki itu terus berada di sana setiap siang hari? Segera menghampiri Raline setiap kali bertemu. Namun, D mengaku tak mengingat namanya. Orang aneh macam apa sih dia?
"Nggak ada salahnya kalau dicoba. Nggak rugi kok." Alice berusaha meyakinkannya lagi.
***
Pukul dua belas tepat, D bersiap menuju kafe kopi bernama Fresh Brew. Ia akan selalu di sana, setiap jam makan siang, membeli kafe dan menunggu. Rutinitasnya yang baru ini membawanya kepada sesuatu yang berbeda, yang membuatnya bersemangat. Senyum tak lepas dari bibirnya.
Sesampainya di kafe, D menunggu sejenak. Lima belas menit, waktu yang paling lama baginya. Di menit ke enam belas, seorang gadis berambut pendek masuk ke kafe dan memesan. D menghela napas dan kembali menunggu. Namun, tiba-tiba saja, gadis berambut pendek itu menghampirinya.
"Hai, Mas D." Gadis itu memasang wajah ramah. Mata D menatapnya lekat-lekat, kemudian ia mengerutkan dahi. Ia tidak mengenal gadis ini sama sekali. "Mas D lupa lagi ya? Saya Raline."
Nama itu tidak menimbulkan getaran apapun di pikirannya. "Raline siapa?"
"Oh. Maaf saya salah orang berarti." Gadis itu berbalik dan mengambil pesanan kopinya. Lalu melangkah ke salah satu meja yang ada di sana.
D kembali menundukkan pandangan, menatap ke arah dinding kaca, mengamati semua orang yang lewat. Tak lama kemudian, seorang gadis berambut panjang, dengan ekspresi sendu masuk ke dalam kafe. Matanya mengarah ke D sekilas, kemudian ia membuang muka. D mengerjap, lalu segera menghampirinya. Itu adalah gadis yang ia cari. Kali ini, D tak ingin menghabiskan waktu.
"Hai." Lelaki itu segera menyapa. Berharap suasana hati gadis itu sedang baik.
Namun, suara gadis berambut panjang itu menjadi ketus. "Sudah ingat nama saya siapa?"
Senyuman di wajah D lenyap. Lalu dengan jujur ia menggeleng. Ia bisa saja menyebutkan nama random yang terlintas, tetapi kalau ia salah menebak, gadis ini akan semakin marah. "Saya bayarin kopi kamu ya? Makan, mau?" tawar D dengan nada membujuk.
"Nggak perlu," tolak gadis itu dengan angkuh. Lalu menunjuk ke arah gadis berambut pendek yang tadi menyapa D. "Udah dibeliin temen saya."
"Oh, Raline?"
Gadis berambut panjang itu membelalak dan menatap D dengan ekspresi tak percaya. "Ka-kamu ..."
"Temen kamu, kan? Yang itu?" D menunjuk gadis pixie yang kini nyengir lebar ke arahnya. "Namanya Raline kan?"
Bibir gadis berambut panjang itu membuka, tetapi tak ada kata yang keluar dari sana. Teman Raline itu pun mengentakkan kaki dan pergi ke meja temannya, mengabaikan D begitu saja. Lelaki itu berdiri ragu-ragu, apakah hari ini ia harus memaksa untuk bergabung dengan mereka atau pergi saja. Namun, instingnya menyuruhnya untuk terus maju. Jadi ia menghampiri meja dan menyapa mereka.
"Hai, Raline dan Teman Raline." D tersenyum dan menatap ke arah gadis berambut panjang. "Boleh gabung?"
"Silakan, Mas. Duduk aja." Raline tersenyum ramah dan menunjuk kursi kosong di sebelah temannya. Sementara sang gadis berambut panjang itu melotot ke arah Raline dan mencebikkan bibir.
"Sebentar, minuman saya di sana." D segera berlari ke arah mejanya dan mengambil cangkir kertas yang berisikan milk tea. Ia segera duduk di sisi teman Raline yang kini membuang muka. "Jadi, kamu tetap nggak mau kasih tahu nama kamu?" tanya D--masih berusaha keras membujuk.
Raline terkikik mendengar pertanyaan D, lalu mencolek tangan temannya. "Jawab dong. Jangan diem aja."
"Saya nggak ganggu kan?"
"Ganggu!" Teman Raline menyahut dengan ketus.
"Nggak!" sahut Raline bersamaan dengan temannya. Mereka lalu beradu pandang. "Memangnya Mas D penasaran banget buat tahu nama temen saya?"
D mengangguk. "Kalau nggak keberatan sih."
"Emang kenapa Mas D pengen tahu?"
Pertanyaan itu sungguh membingungkan. D tahu jawabannya, tetapi melihat kemarahan si teman Raline itu tidak juga reda setelah beberapa hari, ia takut jawabannya akan membawa ke masalah yang jauh lebih besar. Jadi ia hanya menggaruk rambutnya dan memberikan jawaban yang makin membingungkan.
"Jujur, saya nggak bisa jawab itu sekarang."
"Gini Mas, kalau Mas D nggak bisa kasih tahu alasannya, saya—er, kami—nggak bisa ngasih tahu jawabannya juga." Raline tersenyum sopan ke arah D. Ia kini menikmati spageti yang terhidang di hadapannya. Tak terganggu dengan keberadaan D. Sementara temannya, dengan kikuk menyantap makanan yang sama, berusaha tidak menoleh ke arah D.
"Nggak papa. " D mengembuskan napas. "Besok, saya akan mencoba lagi."
Garpu yang dipegang teman Raline terjatuh. Gadis berambut panjang itu kini menatap D dengan mulut ternganga. Meskipun begitu, D masih melihatnya menawan.
"Jadi Mas D akan terus-terusan di sini, sampai saya jawab nama saya begitu?"
"Betul." D mengangguk antusias. "Jadi saya bisa tahu apa kesalahan saya."
"Kesalahan kamu? Whoa!" Gadis berambut panjang itu menggebrak meja dan kini menatap D dengan ekspresi marah. "Kamu tuh cowok pembohong dan kurang ajar tahu, nggak? Ngaku nggak punya pacar, tapi mesra-mesraan. Kamu bilang ke saya, suka sama saya. Terus ngilang dan nggak inget nama saya? Emang bajingan ya!"
D hanya bengong mendengar penuturan teman Raline itu. "Saya pembohong?" ulangnya ragu. Memangnya apa yang sudah ia lakukan?
*episode07*
Emang cowok bajingan ini si D ya. Udah bohong, ngelupain nama Raline eh, masih terus deketin pula. Nah, kira-kira kenapa ya si D ini kok sampe lupa sama Raline, padahal udah bikin anak orang baper?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top