06 Universe

Ada apa dengan semesta kali ini? Raline sudah bersumpah bahwa dia tidak akan baper lagi kepada makhluk ciptaanNya yang berjenis kelamin laki-laki. Terutama kepada manusia yang sok jadi agen rahasia dengan punya nama panggilan D. Namun, entah cobaan apa yang diberikan Tuhan padanya kali ini, karena setelah hari itu, Raline jadi makin sering bertemu dengan D. Tiga hari berturut-turut! Okelah jika D ternyata juga menyukai kopi di kafe langganan Pak Dirga, tapi masak iya, mereka harus bertemu di jam yang sama terus menerus?

"Lin, beliin kopi ya, biasa," pinta Alice siang itu. Namun Raline serta merta menggeleng.

"Kamu aja, Al."

"Yah, beneran nih. Aku nggak bisa keluar. Hectic banget. Ntar kamu boleh beli apa aja deh, aku yang bayarin. Please ya?" Mimik muka Alice terlihat memelas.

Raline sudah malas membayangkan harus bertemu D  lagi disana. Yang paling menyebalkan adalah, D sama sekali tidak mengenalnya! Gadis itu sudah ingin menyemburkan lahar panas. Jika kemarin-kemarin ia merasa sedih, hari ini emosinya memuncak sampai ubun-ubun! 

"Aku males banget, Al. Kalau agak sorean gimana?"

Alice menggeleng. "Aku nggak bakal sempet makan siang, Lin. Ini nggak bisa ditinggal. Please ya? Sekalian beliin aku chicken sandwich, biar nggak kena maagh. Aku nggak bisa kena tipus lagi, Lin. Bisa-bisa Pak Dirga ngasih aku SP."

Dengan bersungut-sungut, Raline terpaksa mengiakan permintaan Alice. Lagipula gadis berambut pendek itu sudah baik padanya sejak hari pertama bekerja. Bukan seperti senior yang minta dihormati atau suka seenaknya sendiri. Raline juga tahu segahar apa Pak Dirga kalau sedang ada deadline. Kerja rodi empat puluh hari empat puluh malam pun akan diterapkan. Gadis berambut panjang itu segera ke lift dan menuju lantai bawah.

Agar menghindari D di kafe, Raline mengubah tujuannya untuk membeli chicken sandwich kesukaan Alice di bakery yang tak jauh dari gedung kantornya. Dia juga hendak membeli beberapa roti untuk mengisi perutnya, karena nanti malam ia harus menyelesaikan pekerjaan yang diberikan sang bos.

Melihat aneka roti, potongan kue bahkan kue mangkuk yang lucu-lucu menghilangkan kemarahan Raline. Mereka seakan didesain untuk menghibur orang walau hanya memandangnya saja. Gadis itu membeli beberapa roti seperti rencananya, juga sekotak bronis untuk menemani Alice lembur. Setelah itu, baru Raline bergegas ke kafe langganan Pak Dirga, yang kini menjadi langganannya juga. Lalu senyumnya menguap begitu saja saat melihat wajah D ada di kafe itu lagi. Seakan lelaki itu tengah menunggunya.

"Abaikan, abaikan," gumam Raline yang segera menuju counter kasir untuk menyebutkan pesanannya. "Caramel machiato dua, less sugar."

"Bayarnya pakai ini ya." Tangan berjaket kulit hitam itu menyorongkan sebuah kartu ke depan kasir itu melewati Raline. Gadis itu menoleh dan mendapati D di belakangnya persis.

"Nggak usah, Mbak. Saya bayar cash," tolak Raline serta merta. Dengan gugup, ia segera mengeluarkan dompet, tetapi tangan D segera mencekal pergelangannya.

Lelaki itu tersenyum ke arah kasir. "Pakai ini."

Sang kasir pun mengambil kartu dari tangan D dan menuntaskan pembayaran pemesanan Raline. Dengan ramah ia meminta gadis itu menunggu di counter di sebelahnya. Tanpa bermaksud apapun, Raline terpaksa menyeret kakinya karena lelaki itu tak kunjung melepaskan tangannya.

"Tolong, lepasin."

"Kalau saya lepasin sekarang, kamu pasti akan kabur." Senyuman D tampak lebih mengerikan ketimbang yang diingat oleh Raline. "Tunggu sebentar, kopinya mau jadi."

"Kamu tahu kan, ini namanya pemaksaan. Saya bisa laporin dan tuntut kamu karena ...."

D terkekeh pelan. "Saya cuma mau berbuat baik."

"Atas dasar apa? Emangnya kamu biasa nraktir orang random di kafe yang kamu temuin?" Raline tertawa sinis. "Kalo gitu, cari orang random lain aja. Jangan saya!"

"Saya maunya kamu."

Gadis berambut panjang itu menghela napas. "Kamu aja lupa sama saya."

"Betul." 

Jawaban lelaki itu membuat Raline tercengang. D bahkan tidak berusaha untuk menyangkal! "Terus buat apa kamu ngelakuin ini? Nggak bisa apa, kamu biarin aja saya sendiri gitu?"

D menggeleng. "Nggak bisa."

"Kamu gila!" desis Raline.

"Nggak gila sih. Tapi yang mau saya omongin, kamu kayaknya kenal sama saya. Tapi saya lupa sama kamu. Bisa nggak kamu kasih tahu namamu siapa?" Suara D lembut seakan tengah membujuk anak-anak yang tengah ngambek.

"Astaga. Memangnya kalau saya kasih tahu sekarang, kamu bakal ingat gitu besok? Nggak jelas amat sih jadi orang." Gerutuan Raline terdengar seperti berbisik. Ia menoleh dan petugas di belakang counter memanggil dan mengacungkan pesanan Raline. "Tuh, kopinya sudah jadi. Makasih udah dibayarin, sekarang aku mau balik."

Tak diduga, D melepaskan cekalan tangannya dan membiarkan gadis itu mengambil kopinya dan pergi. Raline yang merasa aneh. Setiap kata yang diucapkan oleh D tidak masuk akal, dan perbuatan D yang memaksa membayari kopinya juga tidak masuk akal.

Sesampainya di kantor, Raline meluapkan emosinya kepada rekan kerjanya yang bersuka cita menyantap roti isinya. "Sampai sekarang, aku nggak paham D itu orang yang kayak apa! Udah pelupa, tukang bohong lagi. Aku udah kemakan omongannya yang bilang nggak punya cewek, eh dianya malah mesra-mesraan sama cewek lain. Terus sekarang dia lupa sama aku! Bayangin. Dia tanya namaku siapa, padahal jelas-jelas kita udah kenalan dua kali!"

Alice ternganga. "Hah, kok dua kali?"

"Iya, yang di pesta pak Dirga itu kan kita kenalan lagi. Karena si D itu beneran nge-blank mukanya pas ngeliat aku!" Raline semakin berapi-api. "Jangan-jangan dia ikutan proyek pemerintah buat ngapus ingatan gitu. Soalnya beneran sampai ekspresi mukanya kayak nggak kenal!"

"Jangan-jangan, dia emang nggak kenal sama kamu?" Alice menatap rekan kerjanya di seberang meja seraya menyesap kopi kesukaan. "Mungkin kayak yang di drakor itu lho, Lin. Yang dia ngerasa wajah tiap orang berubah-ubah gitu. Jadi dia nggak ngenalin orang. Itu penyakit beneran tahu."

Mendengar penuturan Alice, gadis berambut panjang itu terdiam. Ia meresapi perkataan rekannya, sembari mengingat perubahan perilaku D yang memang aneh. "Tapi kan ... kalo di drakor itu, dia bisa ngenalin orang dari suara sama gaya berpakaian. Ini masak nggak kenal sama sekali?"

"Kan kamu ngehindar dari dia ...."

"Kita tadi ngobrol lho, Al. Beneran ngobrol yang sampai lama. Dia bahkan bayarin kopi pesenanku dan bersikeras aku harus terima itu semua."

Alice menjentikkan jari. "Nah, itu dia. Dia baru inget setelah denger kamu ngomong kan? Mungkin aja dia emang ada penyakit gitu lho. Bukan karena emang nggak kenal sama kamu karena sengaja."

Dengan tegas, Raline menggeleng. "Nggak, nggak mungkin. Dia tadi nanya namaku lho. Aneh, kan?"

*episode06*

Maaf, Kels. Telat lagi. Dari kemarin sibuk. Mohon maklum ya. Sore ini kalo sempat bakal update. Love you.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top