05 Confusion
Ketika Alice melihatnya pagi itu, mata Raline bengkak total. Gadis dengan potongan rambut pendek itu sampai harus membekap mulutnya sendiri. "Ya ampun! Ngedrakor lagi? Begadang?"
Gelengan kepala Raline terlihat selesu sayuran di siang hari. "Nggak. Pinjem kacamata dong. Yang item."
"Pak Dirga bakal kepo, bego. Di dalam gedung pake kacamata item. Kayak artis aja deh kamu." Alice menghela napas. Kompres pake masker mata punyaku di kulkas tuh."
"Kamu nyimpen gituan di kulkas bos?"
Alice meletakkan telunjuk di atas bibir. "Udah nggak usah berisik. Pak Dirga jarang ngecek kulkas. Dah sono. Kompres lima menit biar lebih seger sedikit."
"Makasih, ya, Al!" seru Raline yang segera ngibrit ke ruangan kerja sang bos. Diambilnya masker yang berbentuk gel yang terbungkus plastik rapat, terasa dingin dan menyegarkan. Setelah itu ia berlari ke kamar mandi dan menempelkan benda itu di bawah mata. Rasanya tolol sekali menghabiskan waktu semalaman demi menangisi cowok yang pacaran dengannya saja belum. Raline mengutuk dirinya sendiri yang mudah baper.
"Pokoknya setelah ini, aku nggak boleh baper-baper lagi. Harus kuat." Gadis itu menggumam dan menenangkan dirinya. Setelah ia merasa wajahnya lebih segar, ia segera membilas masker tersebut dan menaruhnya lagi di kulkas.
"Habis ngapain kamu? Diputusin?" tanya Alice saat Raline kembali ke mejanya.
Raline menepuk alas bedak di wajah tipis-tipis sembari menjawab,"Belum jadian. Lebih parah daripada diputusin."
"Oh, sama si cowok bra yang kapan hari itu?"
"Ish, Al! Dia bukan cowok bra!" Gadis berambut panjang itu mendesis kesal. "Namanya D! Dan ternyata ... dia udah punya pacar."
Bukannya menenangkan, Alice malah tertawa ngakak. "Yah, kasian. Padahal kamu udah ngarep banget ya. Duh sayang ... tapi emang cowok tampan dan mapan itu memang tak bisa lagi dijadikan harapan."
Mendengar petuah bijak dari rekan kerjanya, Raline mencebik. "Kamu tuh harusnya pukpuk aku, kek. Ngehibur kek. Apa. Malah ngetawain."
"Yah, aku kan dah bilang. Cowok perfect itu susah digapai. Nggak usah terlalu ngarep. Memangnya cowok yang biasa makan makanan jutaan, bisa terpesona setelah ditraktir mie ayam? Ngadi-ngadi." Alice mengangkat bahu. Ponselnya berdering dan gadis itu reflek menegakkan punggung saat menjawab panggilan tersebut. "Pagi, Pak Dirga."
Meskipun sang bos tidak berada di ruangan yang sama, Raline mengikuti jejak Alice dengan duduk tegap dan berfokus pada pekerjaannya. Sebenarnya setelah pesta tadi malam, Pak Dirga memberinya kompensasi untuk berangkat kerja siang, tetapi Raline merasa jenuh di dalam kamar kosnya. Daripada ia harus berkubang dalam air mata karena menangisi D, lebih baik ia bekerja saja. Toh, Pak Dirga memberinya uang lembur untuk kedatangannya kemarin malam.
"Say, kamu bisa beliin kopi nggak di bawah? Pak Dirga udah otw, mau nyampe sekitar tiga puluh menitan. Aku nitip juga ya. Kerjaan lagi banyak nih, nggak bisa ditinggal." Alice berpaling ke arah Raline setelah menutup panggilan telepon. "Abis ini ada audit."
Raline mengangguk dan memulas kembali lipcream pada bibirnya. Setelah itu ia meraih kartu kredit yang disodorkan oleh Alice dan mencangklong tasnya. "Yang biasa, kan?"
"Tambah pain au chocolat ya, Say. Tengkyu."
"Ye ... banyak mau."
"Sekalian lah. Lagian kan kamu masih diitung cuti. Lama-lamain juga nggak papa kali. Siapa tahu ketemu cowok cakep lagi." Cengiran Alice itu berbalas timpukan berkas dari Raline. "Duh, rileks dikit napa. Jangan sedih dong. Masih banyak ikan di laut."
"Yang kakap jarang," sahut Raline asal sembari melangkah ke luar ruangan dan menuju lift.
***
"Double shots espresso latte. Caramel Macchiato, less sugar, dua. Pain au chocolat, dua." Raline menyebutkan pesanannya, kemudian menyodorkan kartu kredit ke arah kasir. Setelah melakukan pembayaran, ia bergeser ke bagian pengambilan dan tersentak saat melihat D ternyata mengantre di belakangnya. Baru saja ia menata kepingan hatinya yang terserak, tetapi secepat itu Tuhan membuatnya retak kembali. Dengan tatapan sedih, Raline mencuri pandang ke arah D, bingung bagaimana harus bersikap di depan lelaki itu.
D bergeser dan berdiri di dekat Raline, tanpa mengatakan apapun. Meskipun merasa patah hati, Raline merasa heran karena lelaki itu seolah tak mengenalinya. Ragu-ragu, Raline memberanikan diri untuk menyapa duluan. "Mas D? Mas Devan?"
Lelaki itu menoleh dan memindai wajah Raline perlahan-lahan. Ekspresinya penuh curiga. "Kamu kenal ... saya?"
Mendengar kalimat itu, gemuruh di dada Raline semakin keras. Ia menunduk karena menganggap D memang hanya bermain-main dengannya waktu itu. Atau hanya tak enak dan sekadar menanggapi ucapan terima kasih Raline dengan sopan. Benar kata Alice, lelaki tampan dan mapan memang jauh dari harapan. Untung saja, pesanan Raline sudah siap, sehingga gadis itu selekas mungkin undur diri dari sana. Sekarang sudah tidak ada harapan yang tersisa. Menguap diterbangkan angin.
Namun ia sekuat mungkin menahan air matanya dengan menyesap kopi dinginnya pelan-pelan. Tidak, ia tidak boleh baper lagi. Ia sudah semalaman menangisi D, dan tak mau menghabiskan hari ini menangisinya lagi. Sudah cukup. Sudah untung mereka baru kenal dua hari, sehingga Raline tak menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi lelaki yang sudah tak mungkin jadi miliknya.
***
"Mas D? Mas Devan?"
Saat D menoleh, ia mencoba mengenali wajah yang ada di hadapannya. Namun sekeras mungkin ia mengingat, tak ada yang bisa disajikan otaknya saat ini. Apa mereka pernah bertemu di suatu tempat? Tak putus asa, D menjelajahi setiap sudut pikirannya, demi menemukan sesuatu yang bisa mengingatkannya dengan gadis ini. Kenapa gadis itu seolah hendak menangis? Lelaki itu menatapnya dengan bingung. Jangan-jangan, ia telah menyakiti gadis itu. Tapi kenapa dan apa?
"Apa kamu ... kenal saya?"
Saat pertanyaan itu terlontar, wajah gadis itu berselimutkan mendung. Siap membawa hujan deras bersamanya. D merasa bersalah, meskipun tak yakin ia telah melakukan kesalahan. Sungguh, memangnya apa perilakunya yang telah menyakiti gadis ini? Sejak pagi tadi ia bekerja, ia tidak pernah melakukan kesalahan. Sang bos yang irit senyum itu pun memuji kinerjanya. Rekan kerjanya pun tidak ada yang mencelanya. Namun, mengapa gadis itu datang dan menyebabkan dirinya tenggelam dalam kebingungan?
Lelaki itu ingin bertanya lagi, tetapi sayangnya gadis berambut panjang itu sudah menjauh pergi karena pesanannya sudah jadi. Karena itu, reflek, ia membuntuti gadis itu dan berhenti saat berada di depan sebuah gedung pencakar langit. Ia tak punya akses masuk dan tak mengenal siapapun di gedung ini. D menggigit bibir, kemudian ia memutar tumitnya dan kembali.
Ada sejuta pertanyaan yang tak terjawab di dunia ini, tetapi kali ini D hanya penasaran siapa nama gadis itu dan mengapa ekspresi wajah sedihnya mengganggu pikirannya.
*episode05*
Maaf, Kels. Kemarin nggak bisa update. Ada kerjaan dunia nyata yang bikin keteteran.
Btw, aku datang membawa cast untuk Raline Prameswari kita tercinta :
Gimana, cocok nggak?
Kalo yang ini, adalah D yang lagi mode serius :D
Atau kalo kalian punya referensi, boleh deh kasih tahu aku di komen ya. Love you all, see you tomorrow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top