04 Attraction
Menjelang pukul empat sore, Raline tergesa-gesa keluar dari kantor dan menenteng tas belanja dengan merek ternama. Ia menunggu pesanan ojek onlinenya, yang dengan gesit mengantarnya ke kosan. Sesampainya di kos, gadis itu segera bersiap mandi dan mematut gaun yang ada di dalam tas belanja tersebut. Istri Pak Dirga khusus membelikannya untuk dikenakan hari ini. Pak Dirga mengadakan acara untuk kepindahan rumah barunya, dan mengundang kolega serta investor penting untuk merayakan. Karena itu Raline harus datang untuk membantu menjamu tuan rumah. Nasib menjadi budak korporat. Namun, Raline cukup senang karena gaun ini sifatnya hadiah bukan pinjaman, serta bayangan ia akan makan makanan enak selama pesta.
Gaun berbahan satin itu berwarna abu-abu, cukup terbuka untuk menampilkan pundak tetapi tidak memperlihatkan belahan dada sama sekali. Raline cukup kagum karena pilihan Bu Maya—istri pak Dirga—tidak buruk juga. Apalagi panjang gaun itu berada di bawah lutut, bukan panjang menyapu lantai. Jadi Raline leluasa bergerak tetapi tidak perlu memamerkan pahanya. Gadis itu memulas riasannya tipis-tipis saja, karena tidak mau bersaing dengan nyonya rumah. Ia di situ hanya sebagai asisten pribadi, yang tugasnya membantu agar pesta berlangsung dengan baik, bukan menjadi the next Nyonya Dirga.
Setelah selesai, Raline kembali memesan ojek yang akan mengantarnya ke rumah sang bos. Ia datang lebih awal, dan segera mendengar arahan dari Bu Maya. Perempuan itu mengenakan gaun terbuka yang memamerkan punggung, tetapi tertutup di bagian dada. Terlihat anggun dan memesona. Di usianya yang menginjak kepala empat, Maya masih memiliki pesona dan kecantikan luar biasa.
"Kalau makanan habis di meja, tolong kamu sampaikan ke chefnya ya. Juga pastikan minuman harus selalu siap. Kalau ada tamu yang minumannya habis, ingatkan waiters untuk melayani mereka. Mengerti, Raline?"
"Iya, Bu." Gadis itu mengangguk.
"Bagus." Maya kemudian menunjuk dekorasi yang ada di ruang tamu yang seluas empat puluh meter persegi itu. "Gimana menurut kamu? Oke, nggak? Ada yang butuh dibenahi?"
Selama lima belas menit, mereka berdua segera membahas mengenai persiapan pesta yang akan dimulai satu jam lagi. Setelah semuanya siap, Raline kemudian dipersilakan untuk makan dan minum terlebih dahulu oleh tuan rumah.
"Kamu makan aja dulu. Takutnya nanti kebanyakan ngobrol sampai lupa." Pak Dirga menyuruh Raline bersama stafnya yang lain menikmati hidangan yang disediakan. Kebetulan yang menyenangkan, gadis itu bisa berhemat karena makan malam di tempat bosnya.
Pesta berlangsung lancar, dan Raline berkeliling memastikan semua tamu mendapatkan akomodasi yang disediakan. Ia juga menyapa beberapa tamu yang pernah bertemu dengannya, dan bertukar kabar sebentar. Ada beberapa sekretaris dan asisten pribadi yang diundang juga menemani sang bos, sehingga Raline bercengkerama dengan mereka karena pernah bertemu sesekali.
Di tengah acara, muncul seseorang yang belum pernah Raline lihat sebelumnya. Pak Dirga segera memanggil Raline dan memintanya berkenalan. "Ini asisten saya, Raline. Nanti kita bisa berkorespondensi melalui dia ya, Pak." Dirga menoleh ke arah asistennya, "Raline, ini Pak Iko. Kamu jangan lupa minta nomer sama sekretarisnya nanti."
"Baik, Pak."Raline menjabat tangan Pak Iko—lelaki yang berperawakan tinggi besar itu—dengan erat. "Raline."
"Iko Santoso." Senyuman di wajah lelaki itu terkesan sangar. "Ini Meisya, sekretaris saya. Dan ini D, bodyguard saya."
Raline ternganga. "Lho, Mas D?" Namun, menyadari kalau bisa jadi D akan tidak nyaman, gadis itu segera menutup mulutnya. "Maksud saya, salam kenal."
"Kamu sudah kenal sama D?" Iko mengangkat sebelah alisnya. Tatapan matanya menyelidik. "Kenal di mana?"
"Oh, nggak. Maksudnya namanya kok cuma D aja. Gitu." Buru-buru Raline menambahkan. Wajahnya dengan gelisah menatap lelaki di hadapannya.
"Iya namanya Devan, tetapi kami biasa memanggilnya D begitu saja." Iko tersenyum, ekspresinya melunak. Entah mengapa Raline menangkap kesan mengerikan dari bos D.
"Meisya." Gadis di sebelah Iko mengenakan gaun berwarna merah marun, mengulurkan tangan. "Salam kenal."
Raline menyalami sekretaris pribadi Iko, kemudian tersenyum sopan. Ia memberikan kartu namanya kepada Meisya, begitu sebaliknya. Sejak bekerja kepada Pak Dirga, Raline diberikan satu set kartu nama sendiri untuk diberikan kepada klien penting sang bos. Karena itu ia selalu membawanya di manapun.
Iko dan stafnya segera bergabung dengan tamu-tamu yang lain, menikmati hidangan dan minuman yang disajikan. Setelah mereka tak tampak di pandangan, Raline mengembuskan napas. Ia meraih segelas minuman dari waiters dan segera menenggaknya. Mendadak saja tubuhnya kegerahan. Ia yakin itu tadi D, yang ia ajak makan mie ayam beberapa hari yang lalu. Namun, mengapa ekspresi lelaki itu tadi begitu ... kosong? D seperti tidak mengenalnya. Apakah ini memang kesehariannya di dunia kerja? Raline mengerutkan bibir. Tangannya berulangkali menyentuh telinga, membenahi helaian rambut yang mencuat dari sana.
Jemari Raline mengetuk dinding yang disandarinya dengan gelisah, sementara matanya mulai menjelajahi seluruh ruangan, mencari sosok D. Sayangnya, lelaki itu tidak terlihat di manapun. Jadi itu pekerjaannya, batin Raline. Pantas saja reflek beladirinya bagus sekali.
Tak sanggup membendung rasa penasaran, Raline kemudian mengedari seluruh ruangan, demi menemui D sekali lagi. Akhirnya, gadis itu berhasil melihat D yang sedang berdiri tegap di belakang sang bos, sama sekali bergeming. D memang bukan orang yang jahat, tetapi Raline tidak bisa memercayai bos lelaki itu. Iko memberinya pengalaman yang menakutkan padahal hanya lima detik saja lewat tatapan matanya. Raline kembali diserang keraguan untuk menghampiri D.
Namanya Devan. Raline mengulangi ucapan Iko dalam benaknya. Bukan cuma huruf D saja. Mengapa lelaki itu tidak mengatakan yang sebenarnya? Apakah memang profesi bodyguard serahasia itu?
Semakin malam, pesta semakin liar. Ini bukan pertama kalinya Raline melihat kegilaan para orang-orang kaya. Jadi ia memilih melipir ke lantai dua, di mana ia bisa mengawasi para tamu tanpa harus terlibat dengan lelaki-lelaki hidung belang yang mulai mabuk. Gadis itu menghela napas, lalu bersandar ke dinding kaca pembatas lantai dua. Tak lama ia mendengar suara kemerisik seseorang dari sisi kanannya. Gadis itu tersentak saat menyadari jas berwarna biru yang sepertinya dipakai oleh D. Terdorong rasa penasaran, Raline menghampiri sosok itu yang tersembunyi di balik lekukan dinding.
Saat ia mendekati sosok tersebut, langkahnya terhenti. Di hadapannya, D tengah bercumbu dengan Meisya tepat di depan kamar mandi. Mata Raline memanas, kemudian ia memutar tumit dan menjauh dari sana secepat mungkin.
"Nggak mungkin," gumamnya menahan air mata yang hendak tumpah. "Nggak mungkin."
Raline menuruni tangga secepat kilat dan memasuki kamar mandi yang terletak persis di bawah tangga. Air matanya luruh, tak peduli sekeras apapun ia menahannya. Di benaknya segera terputar rangkaian pertanyaan yang ia lontarkan kepada D beberapa hari yang lalu.
"Apa Mas D sudah menikah?"
Lelaki itu menggeleng.
"Kalau pacar atau tunangan, punya?"
D menatap mata Raline dalam-dalam dan berkata, "Nggak ada."
*episode04*
Ah, si D. Baru aja mau digebet, udah nyosor cewek lain duluan. Lah terus gimana ini nasib Raline yang udah kadung menaruh harapan? Terusin nggak nih ceritanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top