03 Attention
Hari ini berjalan seperti biasa. Tidak ada yang aneh. Tidak ada instruksi dari bos. Jadi D memutuskan untuk berdiam saja di rumah. Lagipula tak ada keharusan ia harus keluar rumah ketika tidak ada instruksi.
Namun saat ia mengangkat beban di ruangan gym pribadinya, ponselnya berdering nyaring memecah keheningan. D menatap nama yang tertera di layar dan menghela napas. Sepertinya nama ini asing. Raline. Lelaki itu segera mengusap layarnya untuk menerima panggilan tersebut.
"Ya, Raline?"
"Mas D? Apa hari ini ada waktu luang?" Suara di seberang sana terdengar gugup.
"Ada."
"Bisa kita ketemu? Mas D sukanya makan apa?"
Nah, ini pertanyaan yang cukup sulit. "Saya makan makanan normal kok."
Tawa yang terdengar di telinga D merdu sekali. "Maksudnya ayam, atau steak kayak yang sebelumnya? Atau Mas D keberatan nggak makan di pinggir jalan?"
"Kenapa mesti makan di pinggir jalan?" Lelaki itu mengernyitkan dahi. Memangnya nggak dilarang pemerintah?
"Ah, Mas D bercanda mulu nih. Iya, iya, standarnya Mas D pasti high class. Apa Mas D punya restoran langganan? Resto favorit?"
D menatap dinding ruang gymnya yang bergambar seorang lelaki bertubuh kekar. "Hmm. Nggak ada. Kamu ada resto favorit?"
"Saya ... jarang ke resto, Mas. Mahal."
"Ya sudah. Kita makan di pinggir jalan saja," putus D tanpa pikir panjang.
"Hah? Beneran, Mas? Emang Mas D nggak alergi gitu? Kan makanan pinggir jalan nggak ... kayak standar resto gitu lah."
"Saya nggak ada alergi. Oh ada." D segera menambahkan, "Saya alergi makanan yang nggak enak."
"... alergi makanan yang nggak enak." Raline mengucapkan kalimat itu bersamaan dengan D, lalu tertawa. "Iya saya tahu, kok."
D tersenyum. "Ya sudah, kita bertemu di mana?"
"Saya share lokasinya ya, Mas. Kita ketemu di situ."
Reflek, D segera menulis alamat itu ke aplikasi ojek online dan memesan mobil untuk ke sana. Setelah itu, ia menuju kamar mandi, menyalakan shower air hangat yang segera membuat dinding kacanya berembun. Tanpa sadar, D menulis nama Raline di dinding dan tersenyum. Ia punya kencan.
***
Seminggu sejak pertemuan keduanya dengan D, Raline diterpa kesibukan yang cukup padat. Ia sampai lupa akan mengirim pesan kepada D seusai pertemuan itu. Apa boleh buat. Kalau ia tidak melaksanakan tugas dari Pak Dirga, bisa-bisa ia kena semprot.
Karena itu, saat akhirnya bosnya berlibur ke luar negeri dan tidak mengajak dirinya, Raline memutuskan untuk menelepon D. Jantung gadis itu berdebar-debar, tetapi ia memberanikan dirinya. Mungkin, menjadi aktif dalam pendekatan, tidak buruk juga. Saat D mengucapkan namanya, Raline merasa dirinya terbang ke langit ketujuh. Apalagi saat lelaki itu tidak keberatan makan di pinggir jalan. Namun, setelah berbagi lokasinya, gadis itu segera menyesali keputusannya.
Bisa saja lelaki itu hanya berbasa-basi. Raline mengenali kartu kredit berwarna hitam itu tanpa perlu memegangnya. Bosnya punya yang seperti itu dan sering memberikannya kepada Raline saat butuh membayar apapun keperluan sang bos. Masak iya, orang sekaya itu mau makan di pinggir jalan? Semangatnya mengempis.
Ia memang berada di gerobak mie ayam yang sering mangkal tak jauh dari kantornya, tetapi ia tak berharap banyak. Dengan sedih ia mengaduk mienya dengan sambal dan saus tomat berwarna merah, lalu menyantapnya tanpa selera.
Alangkah terkejutnya Raline saat sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari gerobak mie ayam, lalu keluarlah D dengan setelan jas mahal. Gadis itu tercengang, bahkan ia sampai menutup mulutnya dengan tangan. Kenapa D datang dengan penampilan seperti itu? Lelaki itu bahkan menenteng kardus persegi panjang yang Raline kenali sebagai bungkus wine mahal yang sering dipesan bosnya.
Namun, yang aneh, D tampak celingak-celinguk seolah mencari seseorang, padahal Raline duduk tepat di depannya. Gadis itu melambaikan tangan dan mengajak D untuk duduk di bangku kayu panjang yang agak reyot. "Saya kira Mas D nggak akan datang."
"Maaf terlambat. Jadi kamu yang namanya Raline." D menyerahkan kardus yang ditentengnya kepada gadis itu. Raline mengerling ke arah D dan mengernyit. Namun, D dengan santai mengabaikan kebingungan gadis itu. Matanya malah terantuk pada mangkuk mie yang sudah setengah habis. "Oh ... ini namanya makanan pinggir jalan."
Salah tingkah, Raline segera memesankan mie untuk D, sementara benaknya masih mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Selama beberapa menit, mereka hanya terdiam sembari menunggu pesanan D datang. Saat penjual mie menaruh semangkuk penuh mie dengan potongan ayam cincang, di depan D, Raline tak tahan untuk segera memecah keheningan. "Mas D, nggak punya baju lain?" bisiknya.
"Oh." D menatap pakaian yang dikenakan. "Kata Google, ini pakaian bagus untuk kencan. Saya juga bawa wine yang terbaik."
Tangan Raline terangkat di kepala dan menggaruk rambutnya. "Ya kan ... kita ketemuannya di pinggir jalan, Mas. Nggak perlu bawa ginian juga."
"Gak papa. Kan hadiah." Kemudian lelaki itu membelalak. "Oh, kamu nggak suka wine? Apa harusnya saya bawa bunga mawar?"
Raline menggeleng, sembari tersenyum segan. "Anu ... kan kita cuma makan mie ayam, Mas. Mas D nggak usah bawa yang mahal-mahal. Toh ini kan ucapan terima kasih saya karena sudah ditolong Mas D." Gadis itu semakin menyesali keputusannya. Seandainya saja ia memesan reservasi restoran yang lebih layak daripada ini. D pasti merasa dipermalukan karena mengira akan makan di restoran mahal.
"Oh begitu," ucap D dengan raut wajah kecewa. "Saya kira kamu suka sama saya."
Demi apapun yang ada di dunia ini, gerakan mengaduk mie ayam yang sudah mengembang di mangkuk Raline mendadak terhenti. Kenapa tiba-tiba begini? Memangnya bisa ya secepat ini dalam mendekati seseorang?
"Ya, iya. Saya suka sama Mas D. Tapi saya nggak enak karena saya malah mengajak Mas D ke sini, bukannya ke resto mahal. Padahal Mas D kan biasa makan makanan restoran. Maaf ya Mas. Kalau misal mau pindah tempat, nggak papa, kok." Tenggorokan Raline seakan tersumbat. Saat tahu, D datang dengan mobil mewah, ia sadar bahwa lelaki itu sudah di luar jangkauannya. Ia jelas tidak bisa mengimbangi dunia D yang penuh dengan kemewahan dan kenyamanan.
D tidak menjawab. Ia menyuap mie ayamnya begitu saja tanpa campuran apa-apa, mengunyahnya perlahan. Lalu ibu jarinya teracung. "Ini enak, kok. Ini selera saya juga."
Mata Raline segera terantuk pada cipratan kuah yang berada di jas dan dasi D. Gadis itu segera menarik tisu dan membersihkan cipratan tersebut sebelum menjadi noda di jas mahal milik D. Namun, lelaki itu memegang tangan Raline dengan lembut dan berkata, "Udah nggak papa. Kalau buat makanan seenak ini, mau banyak nodanya juga nggak masalah. Yuk makan."
Tadinya Raline mengira itu hanya ucapan basa-basi belaka. Namun, saat mie ayam di mangkuk D tandas dalam hitungan menit, lalu lelaki itu memesan lagi, gadis itu merasa takjub. "Be-beneran mau tambah?"
"Oh, nggak boleh ya? Uangnya kurang?" Mata D mengerjap lagi. "Soalnya saya masih lapar."
Gadis itu tersenyum dengan dada berbunga. "Boleh kok. Hari ini saya yang traktir. Mas D boleh tambah berapapun jumlahnya."
"Terima kasih, Raline."
Hanya mendengar namanya disebut oleh D saja, Raline sudah merasa melayang di luar angkasa.
*episode03*
Mentang-mentang ditraktir, si D malah ngelunjak nih. Tapi siapa yang suka makan siang sama mie ayam? Kalian suka versi mie ayam yang pake ayam kecap, atau yang pake ayam cincang putih kayak mie yamin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top