Chapter 04

Selagi aku duduk di pinggir ranjang. Komaeda bersujud di bawahku. Mataku menatap datar pemuda yang rupanya masih belum membasmi kebiasaan buruknya.

"Maafkan aku Hinata-kun. Selama kamarmu masih belum di bersihkan kau harus berbagi kamar dengan sampah sepertiku," ujar pemuda itu seraya mengadahkan kepalanya melihat ke arahku.

Mau sampai kapan Komaeda merendahkan dirinya? Apalagi semua ini bukan salahnya, kenapa dia yang harus meminta maaf padaku?

"Hentikan Komaeda," mintaku bersungguh-sungguh. "Kalau kau terus seperti itu aku akan menumpang ke kamar lainnya," ujarku sedikit mengancam.

"Eeh jangan Hinata-kun," Komaeda langsung bangkit berdiri dan menghampiriku. "Aku janji aku tidak akan menggangumu. Hmm...diruangan ini tidak ada sofa. Mungkin malam ini aku harus tidur di lantai," ocehnya yang sibuk dengan dunianya sendiri.

Rupanya dia masih belum mengerti apa yang barusan kuminta.

"Ukh kau berisik sekali sih," keluhku yang langsung membuatnya pucat pasi. Sebelum ia mengatakan sesuatu yang konyol lagi, aku menarik tangannya, membuat tubuh kurusnya terjatuh di sebelahku. Tanpa mengatakan apapun aku mendorong tubuh Komaeda untuk bergeser dan memberi sedikit tempat untukku berbaring.

"K-kau yakin Hinata-kun? Tidur satu ranjang bersama orang sepertiku?" Suara Komaeda bergetar di sebelahku, terdengar mirip dengan cara berbicara Tsumiki yang sedang gugup.

"...........Sudah kubilang," saking lelahnya aku menghelakan nafas panjang. "Katakan Komaeda. Apa sebenarnya keberadaanku mengganggumu?" tanyaku lalu memutar tubuhku untuk mengarah ke sisi Komaeda berbaring.

"Padahal kau bisa tidur di ruang kesehatan tapi aku malah menawarimu untuk menginap di kamarku. Tentu saja keberadaanmu sama sekali tak mengganguku," jawab Komaeda sambil tersenyum kecil. Tangan pucatnya menyentuh rambutku lalu mengusap pipiku dengan penuh kasih sayang.

"Warna matamu kembali normal," komennya sebelum mengecup lembut keningku. Spontan wajahku memanas. Komaeda masih suka menyentuhku dengan caranya yang aneh. Ini seperti seolah-olah kita adalah.....adalah sepasang kekasih.

Ingin ku berkata kasar. Mulutku gatal ingin memarahi Komaeda yang sepertinya tidak punya pemahaman dasar mengenai jarak privasi. Namun melihat wajah damainya. Ku urungkan niatku. Apalagi, aku tak sepenuhnya keberatan di sentuh oleh pemuda tersebut.

"Izuru cuma akan muncul waktu di butuhkan," jawabku dengan kedua alis yang tertaut, memandang sewot Komaeda yang sepertinya menikmati reaksiku. "Kalau aku terus berbagi kepribadian dengannya. Lama-lama aku bisa gila."

"Oh. Tapi bukannya kau hebat Hinata-kun?" Entah kenapa Komaeda malah semakin mendekatiku. "Kelihatannya dia tipe laki-laki keras kepala yang sombong. Meski begitu kau berhasil membujuknya untuk berbagi kesadaran," senyumannya menyilaukan mata. Setelah apa yang terjadi aku tak habis pikir kalau Komaeda masih sudi tersenyum seperti itu padaku.

"Jadi Hinata-kun....." Komaeda menahan tanganku. Dia tahu aku berniat kabur darinya. "Diriku yang mengagumimu dan mencintaimu beserta harapan yang di dalam hatimu. Dia tidak pernah mati," wajahnya semakin dekat denganku. Tak ada jarak diantara kami.

Mengantipasi sesuatu, spontan aku menutup rapat kedua mataku. Dalam keadaan kedua tangan yang di tahan oleh Komaeda, kepalaku menunduk berusaha menyembunyikan mukaku yang sudah semerah buah tomat.

Melihat reaksiku yang memalukan. Komaeda malah terkekeh geli.

Merasa terlecehkan aku membela diriku sendiri. "Pa-padahal kau sendiri yang bilang kalau kau ingin berteman denganku kan?" Namun berkat keisengan Komaeda. Suaraku jadi terbata-bata. Pemuda itu berhasil membuat ku gugup setengah mati.

"Te-teman tidak akan berbuat sampai sejauh ini," lanjutku seraya membuka satu mata. Mengintip raut wajah Komaeda yang sebenarnya sudah bisa kutebak.

"Sudah kubilang waktu itu adalah salah satu dari hari sialku," senyuman Komaeda masih tetap bercahaya. Terbanding terbalik dengan diriku yang saat ini termenung di tengah kegelapan suasana hati.

"Kau ingat apa yang terjadi pada kedua orang tuaku? Berkat siklus keberuntungan dan kesialanku. Aku sering kehilangan sesuatu yang berharga, tak terkecuali orang-orang yang kusayangi."

"Kedua orang tuaku hanyalah manusia biasa. Jauh berbeda dengan dirimu saat ini," Komaeda melepaskan tangannya yang menahan pergerakanku.

"Orang sepertimu tidak mungkin terbawa arus talentaku. Mau seberapa besar rasa sayangku terhadapmu, mau seberapa besar kesialan yang kualami. Sekarang sudah tak ada lagi yang bisa membahayakan dirimu."

Sebagian dari diriku mengasihani Komaeda. Berbeda dari orang kebanyakan. Talentanya membawa kutukan bagi pemiliknya. Bagaikan sebuah neraca. Komaeda harus mampu menyeimbangkan antara kesialan dan keberuntungan nya.

Talentanya itulah yang membuatnya menjadi karakter yang sulit untuk dipahami. Dan karna itu pula, aku tak bisa membiarkannya begitu saja.

"Selama ini aku selalu berusaha mengabaikan ocehanmu," aku menurunkan pertahananku. Lalu menghembuskan nafas panjang. Mau sampai kapanpun alur pembicaraan kita masih tetap sama, tanpa lelah terus membicarakan tentang telanta Komaeda dan harapan.

Bahkan setelah mendapatkan setengah dari kekuatan Izuru. Aku masih tidak memahami karakter seorang Komaeda Nagito.

"Mungkin kau tidak begitu mengingatnya tapi kau pernah bertemu dengan Izuru."

Padahal Izuru sendiri yang bilang bahwa tindak-tanduk Komaeda sama saja dengan manusia lainnya. Mudah di tebak dan bersifat lebih manusiawi daripada siapapun yang kukenal di dalam game.

"Komaeda Nagito adalah orang yang sangat membosankan," ujarku menirukan kata-kata Izuru.

Dari hal tersebut setidaknya aku mulai menyadari. Walaupun aku berbagi kekuatan dan kesadaran dengannya, namun kami berdua tak sepemahaman.

Komaeda berkedip beberapa kali. "Ah kau membuatku mengingatnya. Sepertinya dia memang pernah mengolokku seperti itu," dari nada bicaranya. Aku yakin dia berbicara jujur.

Lalu Komaeda menunjukan tangan kirinya. Tangan buatan yang bergerak seperti robot. Kutatap tangannya. Dulu tangan itu digantinya dengan tangan Enoshima Junko sebagai bukti rasa benci dan cintanya terhadap perempuan itu.

Entah kenapa aku muak melihatnya.

"Lalu? Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak sudi menjadi pengganti Enoshima Junko," ujarku ketus

"Apa yang kuinginkan? Tentu saja aku ingin menjadi kekasihmu," jawab Komaeda santai. Raut wajahnya terlihat sangat polos tak berdosa saat mengatakannya.

"Ha!?"

Saking kagetnya, hampir saja aku jatuh dari atas kasur. Aku sudah terbiasa mendengarkan ocehan konyol Komaeda. Namun kali ini dia sudah keterlaluan.

"Bukannya itu seperti dari 0 loncat ke 100?"

Kepalaku terasa berat. Aku menyerah. Berusaha memahami Komaeda sama dengan mencoba untuk memahami seluruh alam semesta.

"Tapi Hinata-kun....kau bilang selama ini kau menganggapku teman." Komaeda kembali menarikku masuk kedalam pelukannya. Walaupun di buat kesal akan nada bicaranya yang seolah seperti menyalahkanku. Aku membiarkannya.

"Dan aku baru saja mengutarakan perasaanku. Bukannya aku sudah mengikuti prosedurnya dengan baik?"

"Kau terlalu memaksa," ketusku seraya memukul pelan wajah pemuda berkulit pucat itu. "Bahkan untuk urusan seperti ini pun kau masih mengandalkan keberuntungan mu huh...." aku mengomel tanpa henti. Kelamaan bersama dengannya, membuatku jadi ikut-ikutan terlalu mempercayai keberuntungan dan kesialan.

"Aww.....padahal aku yakin kalau Hinata-kun juga menyukaiku," Komaeda menggosok dahinya yang memerah. "Talentaku ada hanya untuk menaikan persentase kemungkinan. Dan aku yakin kemungkinan Hinata-kun juga menyukaiku sangatlah besar," ia mulai menjelaskan cara kerja talentanya yang sebenarnya sedikit membuatku tertarik untuk lanjut mendengarkannya.

"Maka karna itu. Daripada mengandalkan keberuntungan. Aku yakin kau pasti akan menyukaiku juga!"

Kali ini tali kesabaranku putus. Sebelum Komaeda mengatakan sesuatu yang lebih egois dan semena-mena. Melimpahkan segala kekesalanku, aku mengambil bantal dan melemparkannya ke wajahnya.

"Hi...Hinata-kun!" ia memanggil namaku dengan suara lemah. Hanya untuk sesaat aku melihatnya seperti seekor anjing yang baru saja dimarahi majikannya. "Se-setidaknya aku ingin kau mempertimbangkannya," ujarnya masih berusaha membujukku.

Sampai sejauh itukah ia menyukaiku?

Dasar Komaeda bodoh. Kenapa kehadirannya selalu membuatku tak tenang?

OXO

Setelah beberapa saat tinggal di atas kapal bersama dengan teman-teman seperjuanganku. Aku menyadari masih ada satu orang yang masih terbeban oleh dosanya.

Mitarai....iya Mitarai. Salah satu orang yang bertanggung atas kekacauan yang di perbuat Enoshima Junko. Talenta nya sebagai Ultimate Animator berperan besar dalam pembuatan senjata pencuci otak yang menjadi andalan gadis sialan tersebut.

Setelah mendapatkan kabar mengenai di serangnya markas utama Future Foundation. Kami semua berencana untuk menjemput Mitarai. Siapa tahu dia akan melakukan hal aneh, sesuatu yang kemungkinan besar akan di sesalinya di kemudian hari.

OXO

Di antara kita semua, Komaeda terlihat paling bersemangat. Dia penggemar berat Naegi Makoto. Dia sangat antusias untuk membantu pemuda yang saat ini dijuluki sebagai seorang pahlawan harapan, sosok yang menjadi musuh kita.

"Aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi Naegi-kun," di tengah kebingungannya. Komaeda datang untuk menjabat tangannya.

"Pertama kali kita bertemu aku terlalu sibuk mencemaskan Hinata-kun.....eh--tu-tunggu!" Mendengarkan ocehan Komaeda tidak akan ada habisnya.

Kita semua harus segera mundur dari tempat ini. Walaupun kita datang membantu namun peran kita tidak pernah berubah. Tanpa menunggunya selesai berbicara. Nekomaru mengendong tubuh kurus Komaeda seperti sebuah karung besar.

"Tu-tunggu Naegi-kuun~" seru Komaeda yang tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah idolanya yang masih mematung di tempat.

"Abaikan saja dia abaikan," oceh Saionji seraya menyeret Tsumiki untuk ikut bersama kami kembali ke kapal.

Tidak ada yang mengejar kapal kami. Entah kapan kita bisa kembali ke daratan. Aku bersandar pada pinggir kapal, menikmati pemandangan matahari terbit yang indah. Sementara teman-temanku yang sibuk berpesta merayakan kepulangan Mitarai.

Samar aku merasakan keberadaan Nanami yang berdiri di sebelahku. Gadis itu tidak mengatakan apapun, hanya diam dan ikut menikmati pemandangan di hadapan kami berdua.

Aku tersenyum kecil dan mengandai.

Andai gadis itu masih bersama kami.

Namun Nanami berbeda dengan ku dan yang lainnya. Gadis itu tidak mempunyai dosa apapun, dia adalah seseorang yang selamanya menjadi pujaan hati kita semua. Kehilangan dirinya membuat kita semua jatuh kedalam dosa yang entah sampai kapan bisa ditebus.

"Oi Hinata-kun," Komaeda mendatangiku. Suaranya membuyarkan lamunanku. "kenapa kau tidak ikut makan bersama kami?" tanyanya lalu menyodorkan makanan ke depan wajahku.

"...........Komaeda," meski ragu aku tetap menerima pemberiannya dan bergabung ke dalam pesta.

"Ngomong-ngomong Komaeda," setelah beberapa saat sorak-sorai pesta mulai mereda. Aku menoleh ke arah pemuda yang masih sibuk mengunyah makanannya. Di bandingkan penampilannya, rupanya dia juga punya nafsu makan yang besar huh.

"Kau yakin orang yang kau sukai adalah aku?" Pertanyaan ku membuat Komaeda tersedak minumannya. "Aku akan lebih percaya kalau kau bilang kau menyukai Naegi Makoto," kusambung pertanyaanku dan kuabaikan Komaeda yang batuk-batuk di sebelahku.

"Hi-hinata....." Komaeda menyeka mulutnya. Kaos putihnya ternodai oleh warna minuman bersodanya. "jangan bilang kau cemburu pada Naegi-kun?" tanyanya lalu beranjak untuk mencari kain lap.

"Komaeda-kun kenapa kau ceroboh sekali?" Kebetulan Tsumiki melewati tempat kami berdua. Tanpa perlu Komaeda mencari jauh-jauh, gadis itu menyodorkan kain lap untuk mengeringkan tumpahan soda.

Setelah itu Tsumiki di panggil teman-teman perempuannya, meninggalkan kami berdua.

Aku diam, saat ini aku tak sudi menunjukan wajahku kepada siapapun. Komaeda mengamati ku dari samping, sepertinya ia mengiraku marah kepadanya.

"Hinata-kun aku hanya bercan---" Komaeda tidak menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya memerah padam lalu bergeser untuk menjauhiku.

"Aku hanya mengagumi Naegi-kun...tidak lebih," ujarnya lalu kembali mencengram kedua pundakku.

Tubuhku berputar mengarah padanya. Karenanya aku sudah tak bisa menyembunyikan wajahku.

Wajahku semakin memerah dan entah kenapa Komaeda malah ikut-ikutan memerah. "He-hentikan...." mintaku lirih lalu beranjak berdiri.

"A-aku mau kembali ke kamarku," tertelan kepanikan aku kabur dari tempat pesta. Meninggalkan Komaeda yang masih duduk sambil menggosok belakang lehernya dengan canggung.

OXO

Jam menunjukan angka 11. Aku berbaring di atas kasur menatap langit-langit ruangan. Mataku masih seringan bulu domba, tak ada rasa kantuk sedikit pun. Setelah kabur meninggalkan Komaeda, aku terus menyalahkan diriku yang pengecut. Dan bertanya-tanya, kenapa pula aku harus kabur darinya?

"Ukh....dasar Komaeda bodoh," aku menggerutu di balik telapak tangan yang menutupi wajahku yang kembali memerah.

"Hinata-kun," baru saja kusebut namanya. Komaeda mengetuk pintu kamarku.

"Aku ingin berbicara denganmu," ujarnya dari luar sana.

Meski enggan aku tetap membukakan pintu untuknya. Sesaat setelah ia melangkah masuk kedalam kamar. "Kurasa kau benar," ku tutup pintu di belakangku.

"Seperti yang kau katakan. Aku cemburu pada Naegi," entah kenapa aku mengakui hal memalukan tersebut. "Dia adalah harapan yang kau inginkan dan aku tak sebanding dengannya," tanpa mendengarkan alasan Komaeda kemari. Selagi aku masih mempunyai keberanian untuk berbicara, aku terus mengoceh dan meluapkan perasaanku.

"Eh?" Komaeda terlihat sangat kebingungan. Dia mengalihkan pandangannya dariku lalu mengangguk kecil. "K-kau masih ingin membahas yang barusan huh....." ujarnya lirih seraya merogoh saku jaketnya.

"Aku senang mendengarnya tapi kuharap kau tidak memaksakan diri," tiba-tiba Komaeda menyodorkan beberapa lembar foto kepadaku.

"Sebenarnya aku hanya datang untuk memberikanmu ini," jelasnya. "Koizumi-san baru selesai mencetaknya. Ia ingin kita menyimpannya sebagai kenang-kenangan."

"Ha!!?" Spontan aku berteriak. Dia tidak tahu betapa susahnya untuk mengumpulkan keberanian dan mengakui perasaan inferior ku terhadap seseorang yang lebih muda dariku.

"Ma-maaf Hinata-kun. Aku tak bermaksud membuatmu salah paham....."

Mana mungkin aku bisa menyalahkannya, batinku menahan kesal. Ini semua karena akhir-akhir ini aku terlalu gugup menghadapi Komaeda. Semenjak pengakuan cinta pemuda tersebut, sampai saat ini aku tak pernah menjawabnya ataupun membahasnya.

Namun pertemuannya dengan Naegi memicu perasaan lain di dalam diriku. Perasaan yang belum bisa kuberi nama.

"Hinata-kun?"

Tanpa mengatakan apapun aku memeluk Komaeda yang meskipun binggung namun tetap membalas pelukanku. Setelah kupikir kembali, sebenarnya aku tak pernah membenci ataupun jijik terhadap sentuhan Komaeda.

Bahkan setelah mendengarkan pengakuan cintanya, perasaan ku terhadapnya tak pernah berubah. Bermula dari rasa penasaranku menjadi rasa enggan untuk meninggalkan dirinya. Apapun yang menyangkut Komaeda membuat ku gugup dan merasa terbebani, namun aku tak pernah mempermasalahkannya. Justru semua hal itu memberikan warna di kehidupan ku yang membosankan.

"..........aku tak bisa memberikan nama pada perasaan ini. Jadi Komaeda beritahu aku," mintaku seraya mempererat pelukanku.

Komaeda tersenyum. Meskipun saat ini aku tak bisa melihatnya, aku yakin senyuman itu adalah senyuman menyilaukan dan menggemaskan khas dirinya.

"Aku juga mencintaimu Hinata-kun......"

Mendengarnya aku tertawa ringan. Kali ini aku mempercayainya, aku mempercayai Komaeda yang memberikan nama pada perasaan asing di dalam diriku.

Kami berdua saling menatap cukup lama. Komaeda memejamkan matanya lalu mendekatkan bibirnya ke arahku, spontan aku mengikutinya.

Sama seperti ketika di dalam game, ciuman Komaeda terasa manis.

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top