Chapter 02

Di luar dugaan, Komaeda masih belum membongkar rahasiaku. Sangatlah berbeda dengan apa yang kualami di ronde pertama. Sebelumnya Komaeda terlihat sangat membenciku, apapun akan ia lakukan untuk menyengsarakanku.

Seperti biasa aku sarapan di restoran, bersama dengan teman-temanku yang lainnya. Hari ini Komaeda tidak menyapaku dan terlihat jelas kalau pemuda itu berusaha menjauhiku. Jujur saja, akan lebih baik kalau ia mengolokku dengan sebutan "Murid cadangan rendahan" seperti sebelumnya, daripada mengabaikanku seperti ini.

Tak lama setelah semuanya keluar dari restoran, Usami menampakan dirinya. Ia meminta kita untuk mengumpulkan bahan-bahan keperluan sehari-hari. Tak seperti saat berada di ronde pertama, pada ronde ini kita harus mengumpulkan bahan makanan sendiri, atau terkadang Usami akan meminta kita mengumpulkan bahan kerajinan untuk tugas harian yang apabila berhasil di selesaikan Usami akan memberikan kita tiket kencan.

Kami semua harus bekerja sama mengerjakan tugas tersebut, setelah itu barulah kita mendapatkan jam bebas. Pada saat itu aku dan yang lainnya akan mengajak satu sama lain untuk menghabiskan waktu untuk berbincang dan bermain, saling bertukar kepingan pertemanan.

Hari ini aku memutuskan untuk pergi bersama Tsumiki, gadis bertalenta perawat yang pemalu dan kikuk. Susah untuk berbicara normal dengannya namun aku tahu Tsumiki adalah gadis baik yang selalu berjuang keras dengan caranya sendiri. Apapun yang terjadi aku ingin agar gadis itu sedikit terbuka denganku dan teman-temannya yang lain.

Tsumiki menjelaskan panjang lebar mengenai perbedaan kualitas perban dan apa saja kegunaannya, baru kali ini aku melihatnya begitu antusias membicarakan sesuatu. Aku tersenyum kecil, dari tadi aku hanya mendengar penjelasannya. Melihat wajahku, Tsumiki terkesikap lalu wajahnya berubah pucat.

"Ma-maaf HInata-kun tanpa sadar aku....." Gadis itu terlihat seperti ingin menangis, padahal sedari tadi aku tak komen apapun mengenai ocehannya yang panjang. Justru aku suka kalau ia lebih banyak berbicara.

Kalau saat ini Komaeda bersamaku, pasti ia akan berpihak pada Tsumiki dan berkata: "Ah Hinata-kun tidak baik menggangu seorang perempuan." Walau terlihat seperti itu, Komaeda ramah terhadap perempuan dan anak-anak.

"Tenang Tsumiki. Kalau aku merasa keberatan akan ocehanmu mana mungkin aku bertanya kan?" Sedikit berhati-hati kujulurkan tanganku untuk mengusap air mata gadis itu. "Lain kali aku ingin kau berbicara lebih banyak. Kita bisa mengobrol tentang apapun yang kau mau," ujarku lembut berusaha menenangkannya.

Wajah gadis itu memerah, terlihat sangat menggemaskan dimataku. Tsumiki bagaikan seorang anak kecil yang baru saja di puji oleh orang tuanya. "Te-terima kasih HInata-kun!" serunya malu-malu. "Ini pertama kalinya ada seseorang yang mau mendengarkanku...." pengakuannya itu terdengar sedikit menyedihkan. Aku tak tahu apa saja yang telah dialami gadis itu, tapi aku senang apabila gadis itu bisa memahami maksud baikku.

Tanpa sadar kita berdua sudah sampai di depan gerbang hotel. Tsumiki pamit duluan untuk kembali ke pondok pribadinya dan aku melambaikan tangan kepadanya. "Sampai jumpa besok," kataku lalu kembali ke pondokku sendiri.

Langkahku berhenti di depan pintu. Aku terkejut mendapati Komaeda yang berdiri di depan pondokku. "Ko-komaeda," panggilku gugup nan lirih. "Apa....kau perlu sesuatu?" tanyaku dengan kepala tertunduk. Aku tak berani menatap wajahnya, perasan bersalah ini menghantuiku.

Menatap ke bawah, aku melihat sepasang sepatu Komaeda mendekatiku. Masih tak ada satu patah katapun keluar dari mulut pemuda berkulit pucat itu. Tanpa kusadari sepasang tangan memaksaku untuk mengadah, memaksaku untuk bertemu tatap dengan Komaeda. Mataku terbuka lebar saat ku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Manis, begitu pikirku sesaat setelah bibir kami berhenti bertaut. Komaeda suka minuman bersoda, rasa manis yang kurasakan pasti berasal dari minuman kaleng tersebut.

"Aku tak bisa mengingatnya. Aku tak berhasil mengingat diriku yang kau bilang telah mati," ujar Komaeda lirih tepat di sebelah telingaku. Tangannya masih menyentuh kedua pundakku, berada di dekat pemuda itu membuatku aneh. Jantungku berdebar kencang, wajahku menghangat, keberadaan pemuda itu membuatku lupa cara bernafas.

"Te-tentu saja kau tak mengingatnya," aku berusaha untuk tersenyum.

"Jangan tanya aku kenapa. Saat ini aku tak bisa menjawabmu tapi aku janji. Setelah kegiatan sekolah ini berakhir kau pasti akan mengingat segalanya, kalau tidak.....aku yang akan mengingatkanmu."

Aku yang paling tahu apabila janji itu kemungkinan besar tak bisa kutepati. Setelah game ini berakhir kita semua hanya akan bisa mengingat apa saja yang terjadi di dalam game ronde ini. Demi mengembalikan kita semua ke jalan yang benar. Future Foundation sengaja menghilangkan ingatan kita semua dan mengganti ingatan tersebut dengan kenangan indah yang di buat di dalam game ini.

Ronde pertama yang hanya berisikan kesedihan dan keputusasaan akan dihapuskan dari memori. Sementara aku, tentu saja aku akan kembali menjadi Izuru. Semenjak aku menawarkan diriku sendiri sebagai subjek percobaan, nama Hinata Hajime sudah mati dan terlupakan. Keberadaannya tersembunyi dan terkubur di dalam tumpukan talenta yang bercahaya.

Kali ini aku muncul hanya untuk membuktikan kepada Izuru bahwa harapan umat manusia bisa jadi lebih menarik daripada keputusasaan.

Kumukura Izuru mencari sesuatu yang bisa menghiburnya, ia mencari sesuatu yang sukar untuk di tebak. Walaupun ia adalah salah satu dari personalitiku, aku menemukan bahwa dialah yang dimaksud Komaeda mirip dengannya.

Meskipun aku tak begitu mengerti harapan seperti apa yang diinginkan Komaeda. Hanya satu yang kuketahui. Komaeda dan Izuru sama-sama rumit, mereka berdua selalu bertingkah seperti orang di balik layar, seseorang yang entah berada di pihak mana.

"K-komaeda...." Berlahan panas di wajahku menjalar ke seluruh tubuhku. Komaeda tiba-tiba memelukku, pelukannya sangat erat, seolah ia tak ingin melepaskanku untuk selamanya.

"Ne Hinata-kun. Aku memang tak bisa mengingat apapun tapi tubuhku bergerak sendiri. Instingku mengatakan kalau aku menginginkanmu...."

Apa yang dikatakannya? Bukannya selama ini dia membenciku? Sebenarnya apa yang terjadi pada program ingatan Komaeda? Mau bagaimana pun, aku tahu kalau pemuda di hadapanku ini sedang bertingkah tidak sesuai dengan kepribadiannya sendiri.

"A-anu Komaeda....bisa gawat kalau ada yang melihat kita seperti ini," kataku berusaha mengingatkan. Karena sepertinya komaeda sedang melamun aku menepuk punggungnya beberapa kali. "Lebih baik kita melanjutkan pembicaraan kita di kamarku. Bagaimana?" Aku berharap dia mau menerima tawaranku.

OXO

Aku mempersilahkan Komaeda untuk duduk di atas ranjangku. Karena setiap kamar tidak memiliki perabotan yang lengkap, tentu saja aku tidak bisa menjamu tamuku seperti di rumah ku sendiri, yang bisa kuberikan pada Komaeda hanyalah satu botol air mineral persedianku. Aku menyiapkannya hanya untuk berjaga-jaga apabila aku terbangun di tengah malam karena kehausan atau pada saat aku malas untuk keluar ke restoran atau sepermarket.

"Komaeda....sebenarnya apa yang terjadi padamu?" tanyaku bersamaan dengan komaeda mengambil botol air mineral dari tanganku.

"Aku tahu kalau kau eh....unik tapi apa yang barusan kau katakan itu...."

Bingung darimana aku harus menjelaskannya, aku duduk di sebelah Komaeda. Daripada aku melanjutkan kalimatku barusan, lebih baik aku menunggu Komaeda berbicara.

Komaeda menghela nafas panjang. "Kau bertanya padaku? Aku sendiri tidak mengerti," ujarnya seraya membuka segel tutup botol. "Setelah kau selesai melengkapi kepingan pertemananku. Aku mendengar suara seseorang yang memintaku untuk mendekatimu, orang itu pasti juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu."

"Mmm....Komaeda," panggilku seraya menyentuh punggung tangannya. Saat ia menoleh ke arahku. Tanpa pikir panjang aku menciumnya, Komaeda dikejutkan oleh serangan tiba-tiba tersebut. Tak sengaja ia menjatuhkan botol air di tangannya.

"Terima kasih," ucapku lalu memungut botol air di bawah kakiku. "Karena tidak membenciku. Kukira setelah mengetahui identitasku, kau pasti akan membenciku...." Dari dalam lubuk hati yang paling dalam ku tersenyum. Aku tertawa pelan setelah menyadari wajah Komaeda yang memerah padam akibat ulahku.

Komaeda menatapku tak percaya sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. Karena warna kulitnya yang pucat, semburat merah muda itu berubah menjadi merah padam lebih cepat daripada kebanyakan orang.

OXO

"Onii apa yang kau lamunkan?" Suara tinggi Saionji membuyarkan lamunanku. Aku tersadar dari rasa kantuk setelah gadis kecil itu berteriak dan menguncang tubuhku. Kemarin malam aku berdiskusi panjang dengan Togami dan Naegi mengenai masalah yang kualami dengan Komaeda. Padahal mereka sendiri yang bilang selain Nanami, aku dan Usami tak akan ada satupun teman sekelasku yang ingat akan kejadian di ronde pertama.

"Maaf...aku hanya sedikit mengantuk," jawabku lalu mengusap puncak kepala gadis kecil itu. Saionji langsung melemparkan tatapan maut padaku. Aku benar-benar lupa kalau dia tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.

Mau bagaimana lagi? Gadis itu bertingkah dan berpenampilan seperti anak kecil. Tanpa sadar aku jadi memperlakukannya seperti anak kecil kan?

".......padahal kau yang minta aku meluangkan waktu bersamamu." Tidak seperti biasanya. Daripada berteriak memarahiku. Saionji malah menunduk sambil bergumam kecil.

"A-aku benar-benar minta maaf," hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghiburnya. Aku tak pandai menghibur seseorang, apalagi menghibur perempuan. "Oh bagaimana kalau mampir ke supermarket?" tawarku ketika kita berdua melewati tempat yang kumaksud.

".....Kalau Onii mau membelikanku permen," gadis itu memainkan ujung lengan kimononya. Meski wajahnya masih cemberut, aku tersenyum karena telah mendapatkan kesempatan untuk menebus kesalahanku.

"Tantu saja. Hari ini kau boleh minta apapun.....asal bukan sesuatu yang mahal," ujarku yang di tengah jalan sedikit mengkhawatirkan isi dompetku. Bahkan di dalam ronde ini pun, kita masih harus memakai koin Monokuma.

"Yey terima kasih Onii!" seru Saionji lalu berlari masuk kedalam supermarket. Aku menyusul di belakangnya. Ternyata di dalam supermarket sudah ada Sonia dan Akane. Aku menghabiskan waktu bebasku bersama mereka bertiga.

OXO

Aku menghabiskan sisa hari yang di tentukan Usami bersama dengan orang-orang yang harus kulengkapi kepingan pertemanan nya. Aku tak sempat menjenguk Komaeda, walaupun berpapasan kita berdua hanya sekedar bertegur sapa.

Pada hari terakhir Usami mendatangi kamarku. Rupanya seseorang yang paling banyak menghabiskan waktu berkencan denganku akan merayakan "Kelulusan" nya bersama denganku.

Saat kutanya siapa yang akan menemaniku di acara "Kelulusan" itu,

Usami menjawabnya dengan nama "Komaeda," dialah yang akan menemaniku di hari terakhir.

Sebenarnya aku lebih berharap apabila Nanami yang menemaniku namun tak bisa kupungkiri saat ini Komaeda lah yang paling banyak menghabiskan waktunya bersama denganku.

"Setelah aku terbangun dari game ini apakah aku akan menghilang?" tanyaku pada Usami.

Naegi bilang kalau aku berhasil mempertahankan kepribadianku sebagai Hinata Hajime maka Izuru yang akan tertidur di dalam diriku.

Atau apabila aku berhasil mengendalikan Izuru maka aku akan berbagi kepribadian dan talenta dengannya.

Sayangnya aku tak punya kepercayaan diri sampai sebesar itu. Mana mungkin aku akan berhasil mengendalikan Izuru. Jawabannya sudah pasti. Sesaat setelah badanku di dunia nyata membuka matanya, aku akan lenyap dari dunia ini.

"Kau belum boleh berhenti berjuang Hinata-kun," Usami memutar tongkat sihirnya. Senyum cerianya sedikit menghiburku. "Kamukura Izuru suka hal-hal yang berada di luar ekspektasinya. Aku yakin kalau itu kau. Hinata-kun pasti bisa melakukannya!" seru boneka kelinci itu dengan semangat yang mengebu-gebu.

Aku tertawa ringan. Usami berhasil menghiburku. Sedikit memalukan namun boneka kelinci itu telah berhasil mengembalikan semangatku. Daripada menunggu eksistensiku menghilang, lebih baik aku memperjuangkannya.

OXO

Keesokan paginya. Setelah pengumuman pagi di siarkan melalui monitor. Aku langsung berangkat menuju kepantai, tempat dimana pertama kalinya aku membuka mataku di dunia game virtual ini.

Tempat dimana pertama kali aku bertemu dengan Komaeda Nagito.

Sungguh ironis. Pada hari terakhir pun, aku masih harus menghabiskan detik-detik terakhirku bersama dengannya. Dan anehnya, aku sama sekali tidak keberatan.

"Selamat pagi Hinata-kun," ia menyapaku seperti biasanya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. "Selamat pagi Komaeda," balasku seraya melangkah mendekatinya.

"Pada akhirnya tidak terjadi apapun pada kita semua. Padahal kukira akan terjadi sesuatu yang mengharuskan kita semua saling membunuh atau sejenisnya," Komaeda mengoceh tanpa henti. Pemandangan familiar yang hanya bisa kutemukan di ronde sebelumnya. Kelihatannya, mau dalam mode apapun. Komaeda tetaplah Komaeda.

Aku menghela nafas panjang, di depannya aku bersedekap dada. "Bukannya lebih baik seperti itu?" tanyaku kesal. "Seharusnya kau senang. Setelah apa yang terjadi kau cukup beruntung karena telah bertahan sampai pada titik ini," setiap kali Komaeda masuk kedalam mode "Pembuat onar" nya. Aku tak tahan untuk tak mengomel panjang.

"Oh Hinata-kun kau masih belum mendengar semua yang ingin kukatakan," Komaeda tertawa. "Kau pasti masih mengingatkannya kan? Bagaimana situasi saat pertama kali kita menginjakan pulau ini. Selama ini aku merasa kedatanganku ke pulau ini hanyalah salah satu kesialan....." Aku membiarkannya berbicara. Setelah kita keluar dari game ini, belum tentu aku bisa bertemu dengan Komaeda dan yang lainnya lagi.

"Makanya aku mengharapkan satu atau dua keberuntungan. Ending seperti ini sangatlah menggantung, aku binggung memilih apakah ending seperti ini merupakan keberuntungan atau kesialan?"

Aku menatap pemuda itu datar. Kalau bukan harapan dan keputusasaan, Komaeda pasti akan berpindah topik ke keberuntungan dan kesialan. Keempat hal tersebut terdengar seperti sebuah penyakit apabila keluar dari mulut seorang Komaeda Nagito.

Setelah mengenal Komaeda cukup lama. Mau tak mau aku terbiasa mendengarkan ocehannya. Pembicaraan seperti ini sudah seperti topik normal diantara kita. Walau pada akhirnya, aku masih tak mampu memahami isi pembicaraan kita.

"Hmm.....mengingat kepribadianmu. Kau pasti menganggap akhiran seperti ini sama dengan kesialan kan?" ujarku ketus dan asal. Menurut pengalamanku. Apapun yang kukatakan tak ada artinya di hadapan Komaeda.

Selama aku sibuk merajuk, aku tak menyadari Komaeda sedang merenung. "......Hinata-kun. Kukira aku akan mati di pulau ini," tiba-tiba ia memecahkan keheningan. "Kukira aku akan terbebaskan dari siklus keberuntungan dan kesialan yang selama ini menghantui kehidupanku."

Mulutku tertutup rapat. Kali ini aku tidak bisa komen apapun. Pada ronde sebelumnya Komaeda mati bunuh diri dan sidang kelasnya membuat orang sakit kepala. Kasus kematiannya memutar balikkan drama detektif pasaran. Hanya dia seorang yang bisa membuat posisi "korban" dan "pelaku" terjungkal.

Sidang itu memperlakukan "korban" sebagai "pelaku"

Dan "pelaku" sebagai "korban"

Komaeda menatap telapak tangannya. Ia tersenyum simpul sambil melanjutkan kata-katanya. "Aku selalu tergantung kepada harapan yang samar. Harapan yang berasal dari orang lain, harapan yang mudah untuk dijangkau dalam jarak pandangku,"

"Namun sekarang berbeda. Selama aku menghabiskan waktu bersama mu di pulau ini. Aku menyadari bahwa diriku pun juga memiliki harapan...."

Aku dikejutkan oleh perkataannya. Seseorang yang selama ini menyebut dirinya sebagai sampah masyarakat, seseorang yang berkata dirinya ingin menjadi batu pijakan....

Komaeda Nagito telah berubah total.

"..........Jadi? Bukannya sebuah keberuntungan kalau kau bisa menyadari hal itu?" tanyaku seraya tersenyum tipis.

"Pemikiran seperti itu terlalu naif!" Sekali lagi Komaeda berada di luar prasangkaku. Pemuda itu berseru nyaring sambil menuding ke arahku, seolah kita berdua berada di dalam sidang kelas dan dia merasa keberatan akan pernyataanku barusan.

"Mana mungkin aku percaya begitu saja bahwa ada sesuatu yang abstrak dan tak pasti seperti itu sedang bersemayam di dalam diriku?" Pemuda itu membuatku mulai sewot. Sebenarnya yang mana yang ia percayai kalau begitu?

Komaeda menyentuh keningnya. Sama denganku, mungkin dia sendiri tidak tahu apa yang harus ia percayai. ".......Meskipun begitu. Aku belajar bahwa harapan juga bisa datang dari dalam diriku," ujarnya lalu mengintipku dari balik sela jari-jarinya.

Senyumanku melebar. "kalau begitu alangkah baiknya kalau kau tidak mengoceh tentang ingin mati atau sesuatu tentang pembunuhan lagi kan?" tanyaku yang tanpa sadar mengusap puncak kepalanya. Wajah Komaeda memerah namun terlihat kecewa setelah aku menarik kembali tanganku. "Kau tidak mau menghapus harapanmu sendiri kan?"

".......Ah sungguh sial sekali nasibku," tiba-tiba Komaeda menghela nafas panjang dan mengeluh. Ujung-ujungnya dia masih tak puas akan akhiran yang terlalu damai ini. "Kupikir ini waktunya aku di berkati oleh suatu keberuntungan...."

"Percuma saja kau mengeluh padaku...." Berbicara dengan Komaeda hari ini membuatku lebih pusing daripada biasanya. Melihatku menautkan alis, pemuda itu malah kembali tersenyum.

"Maka karna itu. Kurasa aku ingin mengatakannya sekarang....." Tanpa kusadari Komaeda sudah berada sangat dekat denganku. Keningku bersentuhan dengannya, senyumnya terpampang jelas di hadapanku.

"A-apa?" tanyaku gugup. Akhir-akhir ini Komaeda selalu membuat jantung ku bergerak 2 kali lebih cepat daripada orang normal.

"Hinata-kun," ia berbisik di sebelah telingaku. Nafasnya menggelitik, tangannya memelukku semakin erat. "Maukah kau menjadi temanku?" tanyanya yang langsung membuatku bernafas lega. Kukira dia akan mengatakan sesuatu yang aneh lagi.

"I-itu saja?" tanyaku sedikit tak yakin. "Tanpa kau memintanya pun. Kita berdua sudah berteman kan?" Dari raut wajahnya pasti Komaeda berpikir kalau selama ini aku tak menganggapnya sebagai teman. Dasar bodoh, sudah lama aku melihatnya sebagai seorang teman.

Setelah melepaskan pelukannya, Komaeda mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran tangannya lalu menggengamnya erat. Mungkin suatu hari nanti akan ada hari dimana kita bisa saling memahami. Sebelum aku datang ke pulau ini aku tak pernah merasa sebahagia ini.

"Komaeda...." yang kupanggil langsung melihat ke arah mataku. "Aku akan menepati janjiku. Aku akan menjelaskan apa saja yang sebenarnya terjadi mengenai ingatanmu dan pulau ini."

"Aah....." Komaeda terkekeh geli. "Benar juga. Kau berjanji seperti itu padaku. Seperti biasa aku berharap banyak padamu, Hinata-kun."

To be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top