Chapter 01
Setelah selesai berurusan dengan virus Monokuma, angkatan kami kembali memainkan game virtual di pulau tropis impian, Jabberwock Island. Hanya diriku seorang yang mengingat kenyataan bahwa kami semua sebenarnya berada di dalam dunia permainan. Aku bekerja sama dengan Future Foundation untuk menyembunyikan kebenaran tersebut, maksud dari permainan ini tidaklah buruk, sebaliknya ini harus dilakukan demi kebaikan kita semua.
Aku, Nanami, dan Usami adalah tiga karakter yang mengetahui alasan sebenarnya kita semua harus memainkan permainan kekanakan yang mengharuskan kita semua untuk mengumpulkan kepingan pertemanan.
Aku dan Nanami salah satu dari 16 murid, sedangkan Usami si robot berbentuk boneka kelinci adalah guru pengawas kita semua.
Pertama kali ku membuka mata di dalam dunia virtual ini, Komaeda lah yang pertama kali kutemui. Dan untuk kedua kalinya pun, masih sosoknya lah yang pertama kali kulihat.
Komaeda Nagito, salah satu dari 16 murid yang terpaksa tinggal dan bertahan hidup di pulau Jabberwock. Pertama kali aku mengenalnya, aku sangat yakin bahwa dia adalah teman yang baik. Namun setelah aku mengenalnya lebih baik, aku belajar bahwa pemuda bernama Komaeda Nagito bukanlah seseorang yang mudah di tebak.
Saat game ini masih di bajak oleh virus Monokuma, game virtual ini berubah total menjadi permainan yang mengharuskan mereka semua untuk membunuh satu sama lain. Mereka semua terikat peraturan yang di buat Monokuma, sekaligus di permainkan olehnya.
Pada sidang pertama, Komaeda membuka topengnya. Pada sidang tersebut dia bukanlah pembunuhan. Namun setelah itu ia tetap membawa masalah bagi teman-teman sekelasnya. Komaeda mengaku sebagai seseorang yang mencintai "harapan" apapun akan dilakukannya untuk mendapatkan "harapan" idealnya.
Komaeda mempunyai ideologi yang rumit, yang sukar kupahami. Teman-temannya yang lain pun merasa demikian. Komaeda orang baik namun jalan pikirannya lebih daripada kata "unik"
Pada ronde kedua ini, dimana game virtual kebanggaan Future Foundation menjadi kenyataan, dimana tidak ada saling membunuh ataupun mencurigai satu sama lain. Aku ingin mencoba---- Mencoba untuk memahami jalan pikiran Komaeda.
Sebagai teman aku mencemaskannya. Rasa penasaranku membuatku sedikit takut. Mungkin aneh, tapi memang fakta bahwa aku takut tidak bisa memahami Komaeda.
OXO
Ketika membuka mata, wajah seorang remaja laki-laki menutupi sinar matahari langsung yang menerpa wajahku. Pemuda itu berkulit pucat, bersurai perak dan berperawakan tinggi dan kurus.
Ia tersenyum ramah padaku dan menjelaskan situasi aneh yang dialaminya berserta 15 orang lainnya. Saat ia mempertanyakan apa talenta yang kumiliki. Persis seperti ronde sebelumnya, jawabanku masih sama--- Aku lupa talenta apa yang kumiliki namun aku adalah salah satu murid dari SMA Harapan.
Sesuai skenario, tak lama kemudian semua orang berkumpul dan Usami menampakan dirinya. Boneka kelinci berwarna merah muda itu menjelaskan bahwa mereka sedang mengikuti program liburan yang di adakan oleh sekolah SMA Harapan selama 50 hari. Dalam rentan waktu itu mereka harus bisa menjalin pertemanan dengan satu sama lain.
Mengabaikan segala keluhan dan protes para murid, Usami meneruskan penjelasannya mengenai peraturan di dalam pulau tersebut dan kegiatan apa saja yang harus mereka lakukan.
Seiring berjalannya waktu, budaya saling bertukar hadiah, saling mengajak pergi "kencan" menjadi hal paling normal.
Selain Komaeda aku harus bisa mengakrabkan diri dengan yang lainnya. Mau seberapapun aku di buat penasaran dengan pemuda tersebut, aku tak mau untuk pilih kasih di antara teman-temanku yang lain.
Setiap pagi, sudah menjadi kebiasaan semenjak permainan ronde pertama. Setelah pengumuman pagi aku selalu mampir ke restoran yang terletak di lantai dua bangunan hotel. Begitu membuka pintu, aroma enak sarapan hari ini menyapa diriku yang sudah kelaparan sejak malam.
"Selamat pagi Hinata-kun," seorang gadis bersurai pirang menyapaku dengan senyuman ramah.
"Selamat pagi Sonia-san," balasku dengan senyuman yang tak kalah bersahabat.
"Met pagi Hinata...." Kemudian seorang gadis berkulit tan giliran menyapaku. Gadis itu tak menoleh, melirik pun tidak. Dia terlalu sibuk melahap setumpuk makanan di hadapannya.
"Selamat pagi Akane-san," balasku kali ini dengan senyuman lemah. Sampai kapaanpun, nafsu makan Akane tak pernah gagal mengejutkan ku.
Aku berjalan mendekati meja dimana Teruteru merapikan segala hidangan sarapan. Setelah mengambil jatahku aku memilih bangku yang terletak tak jauh dari jendela. Di sana Komaeda duduk, sudah menghabiskan setengah makanannya. "Selamat pagi Komaeda," sapaku sebelum duduk berhadapan dengannya.
"Oh selamat pagi Hinata-kun!" Komaeda balik menyapa, senyuman nya bersinar bagaikan matahari pagi diluar sana. Setiap kali melihat wajahnya yang berseri-seri, aku tak habis pikir bahwa Komaeda di hadapanku ku ini adalah orang yang sama dengan yang ada di ronde sebelumnya.
Aku membuka mulutku, hendak memakan roti bakar di tanganku. Di tengah posisi tersebut, tiba-tiba aku dikejutkan oleh selembar tiket berwarna merah muda yang familiar. Komaeda memamerkan tiket tersebut tepat di depan wajahku, kali ini senyumannya terlihat canggung dan malu-malu.
"Hi- hinata-kun maukah kau meluangkan waktumu bersamaku siang ini?"
Spontan aku mengangguk. Karena tuntutan permainan aku sering mengajak Komaeda meluangkan waktu bersamaku dan dia selalu menyetujuinya, tapi ini pertama kalinya Komaeda yang memintaku duluan.
"Tentu saja. Bagaimana kalau kali ini kau yang menentukan tempatnya?"
OXO
Siapa sangka Komaeda akan memilih untuk pergi ke taman bermain. Meskipun semua tempat di pulau ini membawa kenangan buruk namun menurut pendapatku, taman bermain di pulau ini adalah tempat terburuk yang pernah ada. Dan semua kenangan mengerikan itu ada berkat Monokuma.
Mungkin kalau Komaeda mengingat kejadian di masa lalu, pasti dia akan sependapat denganku. Terutama karena kematian pemuda itu terjadi setelah taman bermain ini di buka. Seperti kejadian kemarin lusa, aku ingat jelas senjata yang mana yang telah membunuh avatar game bernama Komaeda Nagito.
Sambil memikirkannya, tak sengaja langkah ku berhenti di depan kastil Nezumi. Komaeda memperhatikan ku untuk sesaat, setelah itu mendekat dan menepuk pundakku.
"Kau mau mampir kedalam sana?" tanyanya. "Tapi di sana hampir tidak ada apapun," lanjutnya dengan pandangan mata yang kini tertuju pada pintu gerbang kastil tersebut.
"......Kau pernah masuk kedalam?" tanyaku sedikit penasaran. Aku tak ingat kalau dalam ronde ini kastil tersebut pernah dibuka. Seharusnya Komaeda tidak ingat bagaimana wujud bagian dalam kastil itu.
"Eh?" Komaeda sepertinya terkejut akan pertanyaanku. Ia menyentuh dagunya, kedua alisnya tertautkan. Kelihatannya pertanyaanku membingungkannya. Melihat wajahnya yang sepertinya kesusahan untuk mengingat membuatku sedikit menyesal. Seharusnya tadi aku diam saja.
"Tapi kurasa kau benar. Lihat? Disana ada papan pengumuman," menutupi kepanikan batinku aku menunjuk papan kuning yang bertuliskan "SEDANG DALAM RENOVASI" yang kebetulan terpasang di depan pintu gerbang.
"Kalau begitu lebih baik kita melihat yang lainnya," Komaeda kembali tersenyum. Setelah ia berbalik badan, barulah aku bisa bernafas lega. Sesuai harapanku dia tidak lagi mempermasalahkan pertanyaan bodohku.
Tak jauh dari kastil Nezumi, selanjutnya kita sampai ke salah satu wahana yang mengungkit kenangan buruk lainnya. Komaeda berhenti di tengah area kereta mainan yang desainnya sedikit berbeda dari yang kuingat. Sebelumnya kereta itu mempunyai desain kepala Monokuma, sekarang kereta itu berkepala Usami.
"Hmm... Komaeda?" Kutepuk pundaknya karena sedari tadi pemuda itu diam saja menatap kereta mainan itu. Seperti yang terjadi di kastil Nezumi, mungkin melihat kereta itu membuatnya mengingat sesuatu.
"Ne Hinata-kun," tiba-tiba saja Komaeda memutar tubuhnya lalu mencengkram kedua pundakku. Matanya menatapku penuh arti, di hadapan sorotan mata tersebut aku tak kuasa untuk menatap wajahnya.
"Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?--- bukan, lebih tepatnya. Apakah kau menyembunyikan sesuatu dari kita?" tanyanya. Dari nadanya ia menaruh harapan besar kepadaku, mengharapkan kebenaran terlontarkan dari mulutku, yang tak mungkin ku katakan begitu saja. Aku sudah berjanji pada Naegi dan yang lainnya untuk merahasiakan ingatan mereka.
"Aku sendiri tidak bisa mengingat apa talentaku. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu dari kalian?" tanyaku balik, mencoba terdengar lebih meyakinkan. Karena aku tahu, komaeda terlalu cerdik untuk dibohongi begitu saja.
"Akhir-akhir ini aku merasa ada yang janggal...." Komaeda menjauhkan tangannya dariku. Kalau diperhatikan kembali, dari ekpresi wajahnya sepertinya aku tahu kenapa hari ini dia ingin meluangkan waktunya bersamaku.
"Jangan bilang kalau kau....mencurigaiku?" Aku hanya sekedar menerka, tak lebih. Setelah apa yang terjadi di ronde pertama, aku sudah terbiasa di perlakukan seperti orang yang mencurigakan, terutama oleh Komaeda.
"Ma-mana mungkin!" seru Komaeda seraya mengambil beberapa langkah mundur. "Ju-justru karena aku mempercayaimu makanya aku bertanya," kedua tangannya melambai ke arahku, usaha kecil untuk membuatku tak mendekatinya lebih daripada ini.
"K-kau mempercayaiku?" Aku tak bisa mempercayai apa yang baru saja kudengar. Kalau Komaeda berkata sejujurnya, giliranku untuk mencurigainya. Siapa tahu Komaeda yang ini hanyalah sebuah AI.
"Tentu saja aku mempercayaimu," sekarang komaeda yang mendekatiku dan aku yang berusaha menjauhinya, posisi kita jadi terbalik. "Hanya kau seorang yang mau mendengarkan ocehanku mengenai Harapan ku yang ideal," ujarnya seraya menangkap salah satu tanganku, lalu menggengamnya dengan kedua tangannya dan menempelkannya ke depan dadanya.
Tanpa kusadari wajahku terasa hangat, ingin kutarik saja tanganku, namun tak tega juga karena aku tak mau menyinggung perasaan Komaeda. Alhasil aku membiarkannya.
"Meski kau bilang begitu. Jujur saja, aku masih tak mampu untuk memahami jalan pikiranmu....."
"Semenjak pertama kali aku bertemu denganmu aku mengetahuinya. Kita berdua sangatlah mirip," bahkan dalam ronde ini, perkataan Komaeda terhadapnya masih sama persis. Ia menganggap kita berdua mirip, yang entah darimananya aku tak tahu.
Dan seperti sebelum-sebelumnya aku menggelengkan kepala. "Aku berbeda denganmu. Aku tak bisa memahami pola pikirmu. Aku selalu dibuat bertanya-tanya sebenarnya kau berada di pihak mana?"
"Aku selalu mendukung pihak yang memiliki harapan paling besar, seseorang yang dapat membela keputusasaan dengan harapannya...." Komaeda mulai mendekatiku, wajahnya terlalu dekat, hidung kami saling bersentuhan. Aku memberanikan diri untuk tetap di tempat, pandanganku tak kualihkan.
"Maka karna itu HInata-kun. Aku akan selalu mendukungmu dari balik layar. Aku telah jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada harapan yang bersemanyam di dalam dirimu," setiap kalimat yang terlontarkan dari mulut Komaeda terdengar sangat familiar. Aku menatap horor wajah pemuda itu, memahami setiap gerak-geriknya yang mencurigakan spontan aku mengeluarkan seluruh tenagaku.
"He-hentikan Komaeda!" seruku lantang seraya mendorong tubuh kurusnya. "K-kau salah paham! Perasaanmu itu....." Lidahku tercekat, aku tak mampu melanjutkannya. Barulah dalam detik itu aku memahaminya. Aku tidak ingin komaeda membenciku.
"Perasaanmu itu....." Namun, pada saat yang sama. Aku juga tak mampu untuk membohonginya. "Komaeda Nagito yang mengagumiku sudah lama tiada," lanjutku yang tak mampu menatap wajahnya secara langsung. "Maaf.....selama ini aku membohongimu," kedua tanganku mengepal erat. Sekarang sudah waktunya untukku jujur dan mengakuinya. "Aku hanyalah murid kelas cadangan. Aku bukan seseorang yang memiliki talenta seperti kalian semua," setelah selesai mengatakannya aku lari sekuat tenaga. Kabur dari kenyataan. Bahkan aku tak ingin membayangkan wajah Komaeda yang kecewa padaku.
Kutinggalkan Komaeda sendirian di tempat itu. Tanpa sepengetahuanku, pemuda itu masih memperhatikan sosokku yang berlari semakin menjauhinya. Ia tertegun, membeku di tempat. Informasi yang baru saja kuberikan kepadanya pasti telah membuatnya syok berat.
OXO
Kubuka pintu kamar dengan kasar setelah menutupnya kembali dari dalam ruangan. Tubuhku basah kuyup karena keringat. Merasa frustasi aku memilih untuk duduk di pinggir ranjang seraya mengusap wajahku. "Haaah kenapa aku memberitahunya?" keluhku menghela nafas. Sesaat setelah aku menyadari kelakuanku yang merugikan diri sendiri, aku langsung menyesalinya.
Itulah jati diriku sebenarnya. Hinata Hajime hanyalah seorang pemuda tak bertalenta, satu-satunya murid cadangan yang berhasil bertahan hidup dari tragedi mengerikan yang diciptakan oleh Enoshima Junko.
Pada ronde pertama, saat Monokuma menjajah program game virtual ini. Komaeda juga mengatakan hal yang sama, tentang betapa ia mencintai harapan yang terpendam di dalam diriku. Kenyataannya, aku sama sekali tak mempunyai harapan yang diinginkan Komaeda. Aku hanyalah remaja normal yang mengagumi talenta dan harapan.
Hanya saja aku sedikit beruntung daripada orang normal lainnya. Dari sekian banyak orang, SMA Harapan memilihku untuk menjadi objek penelitian. Dan penelitian itu sukses besar.
Saat ini di dalam game aku hanyalah seorang Hinata Hajime namun di luar sana aku adalah Kamukura Izuru, manusia yang dicintai oleh talenta. Seharusnya Izuru menjadi sosok pahlawan, seseorang yang bakal di panggil sebagai Ultimate Hope.
Sayangnya saat aku masih menjadi Izuru aku bertemu dengan Enoshima Junko. Meski Izuru adalah bagian dari diriku, aku tak memahami keputusannya untuk bekerja sama dengan Mastermind dari segala kekacauan di dunia ini.
Mungkin apabila aku adalah Izuru aku tak akan mengecewakan Komaeda. Tapi saat ini aku masih tak bisa membongkar semua rahasiaku pada teman-temanku. Lagipula tergantung kepada Izuru sama saja tergantung pada bom waktu yang entah kapan bisa meledak.
"Setelah ini Komaeda pasti memberi tahu yang lainnya," gumamku lalu berangkat menuju ke kamar mandi.
To be Continue
A/n:
ini pertama kalinya saya menggunakan penulisan sudut pandang pertama dan ini juga pertama kalinya saya menulis fanfic Danganronpa. Semoga memuaskan dan Happy Reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top