Save Our Forwis(h)Tree!

Apa arti harapan bagimu?

Tidak perlu repot-repot mencarinya di Google atau KBBF, Kamus Besar Bahasa Forwistree. Tidak perlu juga susah payah untuk menanyakannya pada Konselor Selenic, orang paling bijak di Forwis Land, penasihat resmi Kepala Mayor Hana, yang selalu punya jalan keluar untuk setiap problematika.

Tak apa. Tidak usah berusaha sekeras itu untuk mencari jawabannya. Karena sekeren apa pun jawabanmu, tidak akan ada yang menghadiahimu piring cantik, oke? Cukup kau pahami dan rasakan maknanya dalam hati.

Di Forwis Land ini, setiap senti kehidupan selalu berakar pada harapan. Percaya atau tidak, semua energi di dunia ini memang bersumber dari harapan, dan intinya berada di dalam batang pohon Forwis yang letaknya di pusat kota. Iya. Begitulah yang didesain oleh Kreator Revan, arsitek paling legendaris di setiap penjuru Forwis Land ini. Tidak ada satu pun rakyat yang tidak mengenalnya. Bahkan nyaris keseluruhan bangunan dan tata letak Forwis Land berasal dari ide briliannya.

Sentral kota terdiri dari tempat tinggal Kepala Mayor, para sekretaris jendral, dan orang penting lainnya. Meski begitu, kontruksi ikonik yang melegenda dari pusat kota Forwis Land adalah sebatang pohon yang tinggi menjulang hingga dua belas meter. Namanya Pohon Forwis.

Pohon tersebut sudah berdiri sejak peradaban di Forwis Land baru bermula. Umurnya jauh lebih tua dibandingkan nenek moyang Kepala Mayor Hana sekalipun. Diameter Pohon Forwis berkisar tujuh hingga delapan meter. Batangnya yang kokoh berdiri di sentral kota seolah berkata bahwa dirinyalah penguasa Forwis Land.

Sebagaimana pusat kota pada umumnya, kawasan Pohon Forwis ini sangat ramai oleh penduduk yang berlalu-lalang. Selain energi dari setiap rimbun daunnya yang berwarna-warni, ada alasan lain mengapa pohon ini disebut sakral dan dihormati setiap rakyat.

Sesuai maskot Forwis Land, bersatu untuk tumbuh dan membuahkan harapan. Begitulah Pohon Forwis. Setiap orang yang memohon dan menggantungkan harapan di antara melodi yang tercipta dari gesekan rimbun dedaunan Pohon Forwis, maka sehelai daun yang jatuh ke atas permukaan bumi itu akan menghasilkan energi dari pigmen warna daun tersebut, lalu mengabulkan segala harap dan pinta.

Benar. Begitulah cara kerja semesta Forwis Land. Dari Pohon Forwis, semua rakyat bisa bertahan hidup. Tak heran jika kehidupan di Forwis Land terbilang memiliki kesetimbangan alam yang kuat.

Pohon Forwis tidak pernah berhenti didatangi pengunjung. Akan tetapi, ada suatu peraturan sakral yang selalu ditekankan pemerintah. Suatu peringatan yang selalu menjadi prioritas utama dalam setiap konferensi pers, atau setiap kali sosok Kepala Mayor Hana muncul di layar lebar transparan yang tak memiliki pijakan di persimpangan utama sentral kota Forwis Land, tidak begitu jauh dari letak Pohon Forwis.

Peraturan tersebut bahkan sempat diamandemen dan sudah sempurna paten untuk dikategorikan ke dalam Dekret dan Pasal Utama Monumental Forwis Land. Pasal 1 ayat 2(a), yang kedudukannya hanya berada setingkat di bawah perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Peraturan sakral itu berbunyi:

Pohon Forwis selalu terbuka untuk rakyat-rakyat yang tiada ragu menggantungkan harapan-harapannya di antara rimbun dedaunan warna-warni yang sarat akan keberagaman entitas di muka bumi Forwis Land. Semua harapan tersebut ditopang dalam satu kesatuan Pohon Forwis yang utuh.

Pohon Forwis adalah hidup. Hidup adalah Pohon Forwis.

Demi menjaga eksistensi Pohon Forwis yang telah menjadi nyawa bagi setiap jiwa-jiwa yang berjalan di atas muka bumi Forwis Land ini, penting kiranya untuk ditegaskan secara lugas dan jelas.

Pohon Forwis memiliki jeda untuk menghidupkan kembali harapan-harapan yang telah mati. Karena itu, dimohon dengan sangat, seluruh rakyat Forwis Land diperintahkan dengan keras untuk menjaga kesetimbangan Pohon Forwis, dengan tidak memasuki kawasannya pada tengah malam.

Demi Pohon Forwis, demi hidup kita.

Pohon Forwis adalah hidup. Hidup adalah Pohon Forwis.

Sejak mampu bicara, mendengar, dan berkomunikasi dengan baik, setiap anak yang terlahir di Forwis Land sudah diharuskan untuk menghafal pasal tersebut di luar kepala. Tak terkecuali dengan anak perempuan berusia enam belas tahun yang tengah bersandar di balik lampu jalanan yang sunyi.

Tangan mungil itu terulur, menarik tudung hoodie hitamnya ke bawah, membuat tatapan gadis itu tambah tertutupi. Anak itu sedikit mendongakkan kepala, mengamati jarum jam raksasa di pusat kota. Namanya Fortime Clock, yang akan berdentang sebanyak dua belas kali, dengan diiringi nyanyian singkat lagu kebangsaan Forwis Land, ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat.

Kehidupan malam yang hangat oleh cahaya lampu di pinggir jalan dan bangunan lainnya yang ramai oleh pengunjung. Seperti biasa.

Sudut manik mata hitam legam itu melirik jarum jam Fortime Clock yang bergerak seiring ritme detak jantung di dadanya. Oh, apa mungkin jantungnya sudah lebih dulu menggila, malam ini?

Pohon Forwis adalah hidup. Hidup adalah Pohon Forwis.

Sudah tengah malam. Salah satu sudut bibir anak perempuan itu terangkat begitu mendengar lagu kebangsaan Forwis Land yang menggema dari Fortime Clock. Baginya, semua itu tak lebih dari melodi sumbang yang sudah sangat memuakkan di telinga.

Anak itu melompat turun, menjauh dari keramaian. Ya. Begitulah Forwis Land. Semakin larut malam, masyarakat justru semakin gencar menampakkan diri di jalanan. Entah untuk suatu keperluan, jalan-jalan bersama sahabat, makan malam dengan keluarga, berkencan, ataupun sekadar membeli makanan ringan di minimarket.

Hanya ada satu tempat yang tidak akan didatangi siapa pun di tengah malam begini, dan itulah tujuan gadis itu. Dengan napas memburu, anak itu mengecek Forknife Death di tangannya. Sebilah pisau tajam yang tak pernah disentuh siapa pun sebelumnya, bahkan oleh Kepala Mayor Hana sekalipun.

Namun, di tengah langkah tergesanya yang setengah berlari, anak itu meneda pergerakannya untuk sejenak. Persis ketika ia mendapati bulan purnama menggantung dengan berjuta sinar lembutnya yang diselaputi awan kelam malam di atas sana, sekelebat memori hidup di kepala anak itu tanpa bisa dikendalikan.

*   *   *

"Anak dari distrik rendahan!" teriak seorang pria berbadan besar, dengan perut yang begitu buncit bagaikan balon yang baru selesai diisi udara. Lengannya menyikut pinggang kawanannya yang kurus kerempeng, tetapi memliki tulang-tulang menyembul yang tampak keras dan mengerikan. "Kamu tidak pantas hidup dengan nyaman di Forwis Land ini. Distrik asalmu dulu selalu saja berperang dan menciptakan konflik dengan kedaulatan rakyat Forwis Land, 'kan? Kepala Mayor Tak Berguna. Seharusnya penduduk anarki dan pembuat masalah sepertimu dienyahkan saja! Kenapa mereka masih mempertahankan kehidupanmu di sini hah?"

Anak perempuan yang baru saja membuahkan harapannya dengan sekantung besar penuh uang untuk biaya pengobatan ibunya itu, kini terguling di pinggir Pohon Forwis yang sepi karena malam hari sudah mencapai puncaknya. Ia kira, dengan melanggar peraturan di mana tidak ada seorang pun yang bisa memasuki kawasan sini, maka dua orang brengsek di hadapannya ini tidak akan datang juga. Ia kira, ia bisa selamat dengan menggunakan waktu ini ....

"Hei, hei. Kau habis meminta uang pada Pohon Forwis? Ha! Seenaknya sekali. Siapa kamu?"

Benar. Forwis Land memiliki Pohon Forwis yang menopang segala pundi kehidupan. Tidak ada satu helai pun harapan yang dibiarkan gugur tanpa terwujud, oleh Pohon Forwis. Semua kehidupan dijamin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kepala Keamanan Avis pun tidak perlu merisaukan banyak hal, karena tidak begitu banyak masalah serius yang timbul. Kekuatan harapan dari Pohon Forwis sudah cukup untuk mengatasi segalanya.

Pada kebiasaan lazimnya, kejahatan hanya datang ketika kebutuhan antar-manusia saling tumpang tindih dan menyerang satu sama lain dalam proses pemenuhan kebutuhannya masing-masing. Selama kebutuhan itu bisa diatasi dengan baik oleh kekuatan magis Pohon Forwis, tidak perlu lagi adanya saling sikut dalam memenuhi kebutuhan. Tidak perlu ada lagi kejahatan.

Akan tetapi, nyaris setiap orang mulai melupakan, bahwa masalah justru tiba di saat kita merasa tidak ada yang salah ....

Kejahatan itu akan selalu ada. Jika bukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang saling berlanggaran, maka konflik itu masih bisa timbul. Sebagaimana kedua pria bertato ini, mereka masih punya sejuta alasan untuk menyebarkan kejahatan di muka bumi, bahkan Forwis Land yang kesetimbangan alamnya selalu terjaga ini.

Mereka masih punya sejarah kelam yang selalu bisa dijadikan sebagai alat untuk melancarkan tindakan tidak baik. Mereka bisa berlaku seenaknya di balik tameng perlindungan berlabel 'balas dendam'.

Dan ... ya. Selama kehidupan masih memiliki manusia, tidak akan ada yang menghentikan munculnya problematika. Karena permasalahan itu sendiri berasal dari manusia. Selalu ada hasrat atau ambisi untuk menguasai yang lainnya.

"Kau lupa, hah? Apa sudah pikun? Setiap kali kamu dan rakyat dari distrik sialanmu itu ingin memohon pada Pohon Forwis, transaksikan dulu pembayaran pada kami, penduduk asli Forwis Land." Tangan besar itu terulur tepat ke depan wajah anak tadi. Seringaian garang tercetak dengan jelas dalam gurat wajah pria tersebut. "Jangan bersikap tidak tahu diri, ya ... Bajingan. Kamu hanya menumpang di dunia ini."

Segepok uang di tangan anak itu terentak, lepas dari genggaman. Uang itu sempurna berpindah tangan. Kenapa mereka terus merenggut semua harapan-harapan anak itu, padahal mereka bisa saja meminta sendiri pada Pohon Forwis?

Ambisi, hasrat, dan iblis dalam jiwa manusia ....

Sekali lagi, orang-orang itu bertindak bukan semata-mata karena membutuhkan uangnya, melainkan suatu dorongan jiwa iblisnya untuk memiliki dominasi lebih dalam hubungan bermasyarakat. Dengan adanya Pohon Forwis yang menjamin segala harap, tidak ada lagi yang mempermasalahkan soal ekonomi di negeri ini.

Akan tetapi, sebagaimana insting alamiah dari seorang manusia, ia akan selalu menuntut adanya stratifikasi status sosial di masyarakat. Dan setelah harta tak lagi ada gunanya, orang-orang menggunakan kekuatan untuk lebih unggul dan menguasai orang yang lain.

Anak yang tengah meringkuk di tanah itu memahaminya dengan baik. Tak peduli dengan rasa sakit yang terus menghujami dari tendangan sepatu yang menyodok perut atau menampar muka, anak itu tetap menahan tangisannya.

Tidak apa, Wawa. Ibu bilang, jika kamu merasa tidak memiliki kekuatan, maka, menyembunyikan sisi lemahmu dari musuh adalah suatu kekuatan yang setidaknya mesti bisa kamu miliki.

"Berterima kasihlah karena kami sedang berbaik hati untuk tidak melaporkanmu pada Kepala Keamanan Avis. Mengunjungi Pohon Forwis pada tengah malam begini ... hahaha, itu tingkat kriminalitas yang bagus, Nak. Sesuai yang diharapkan dari distrik kehancuran tempatmu berasal."

Wawa masih tergeletak di tanah ketika dua pria tersebut melangkah pergi dengan uang rampasan, meninggalkannya sendiri. Dalam kondisi setengah sadar, Wawa menatap bulan purnama yang tengah merajai angkasa.

Wahai, Semesta ... untuk apalah harapanku mampu terwujud, jika pada akhirnya malah direnggut begitu saja?

*   *   *

"Wahai, Pohon Forwis, izinkan aku melangitkan harapan. Bantulah aku menghilangkan kekurangan mataku. Aku ingin melihat jelas tanpa memakai kacamata atau lensa bantuan lagi," bisik seorang lelaki berkacamata sambil menggenggam erat tangannya sendiri di depan Pohon Forwis. Mentari nyaris tenggelam dilahap garis cakrawala. "Pohon Forwis adalah hidup. Hidup adalah Pohon Forwis."

Sebagaimana biasanya, salah satu daun berwarna ungu cerah jatuh gugur dari tangkai. Akan tetapi, anehnya, kali ini, tidak ada energi yang keluar dari pigmen warna daun tersebut. Daun ungu tersebut justru langsung layu dan membusuk seperti kue gosong yang lupa diangkat, bahkan sebelum mencapai permukaan tanah. Detik berikutnya, lelaki berkacamata itu kehilangan penglihatan. Kedua bola matanya keluar, seolah ada tangan jahil tak terlihat yang mengeluarkannya dengan paksa.

Pengunjung lain yang baru mau melangitkan harapan di depan Pohon Forwis, seketika menjerit histeris begitu mendapati lelaki berkacamata tadi tumbang dan jatuh ke tanah dengan kedua bola mata yang tak lagi utuh.

Lonceng utama Forwis Land berdentang kencang, memenuhi setiap penjuru kota. Selama beratus0-ratus tahun sejak konflik perebutan hak atas Pohon Forwis antara Forwis Land dengan distrik terkutuk, lonceng darurat itu akhirnya kembali menghiasi langit-langit sore ini.

Di ruangannya, Kepala Mayor Hana tersentak kaget. Dengan sigap dan mencoba beradaptasi dalam kondisi urgensi begini, Kepala Mayor Hana bangkit dari duduknya, lantas memanggil Kepala Keamanan Avis, juga staf inti lainnya yang terdiri dari Wakil Kepala Mayor Zeyn, Konselor Selenic, dan Penasihat Re. Setelah berembuk singkat, Wakil Kepala Mayor yang memegang Akademi Forwis pun mengerahka anak muridnya.

Di bawah arahan Senior Ayala, para murid akademi angkatan pertama langsung bergerak untuk mendekorasi Pohon Forwis, kembali mewarnai dedaunan Pohon Forwis yang sudah sempurna layu semuanya. Para pasukan resmi yang dikerahkan Kepala Keamanan Avis, bersama para staf inti Forwis Land terjun langsung ke pusat peradaban mereka: Pohon Forwis, demi menganalisis masalah apa yang sedang terjadi di sana.

Ternyata, tak perlu waktu lama, Kepala Mayor Hana langsung menyadari penyebab utamanya. Kedua matanya memejam erat. Dengan sarung tangan kebanggaan Kepala Mayor Forwis Land yang turun-menurun dari generasi pertama hingga kini, Kepala Mayor Hana mengacungkan tangannya untuk menyentuh setiap senti batang Pohon Forwis dengan mengitari diameternya.

Setelah satu putaran penuh, netra Kepala Mayor kembali terbuka, menunjukkan warna mata yang tadinya sewarna cokelat terang, kini memendarkan berjuta spektrum warna yang indah sekaligus mengerikan di waktu yang sama. Jari telunjuk Kepala Mayor Hana membentuk persegi kecil di batang Pohon Forwis. Tak lama, gurat itu langsung bergetar dan membukakan sekotak ruang rahasia di dalamnya.

Tampaklah sebuah huruf H berwarna kelabu yang mengambang di udara. Menyadari situasi, Kepala Mayor Hana langsung berbalik untuk menatap keseluruhan rakyatnya yang sudah berkumpul di area Poho Forwis dengan muka harap-harap cemas. Teknologi mutakhir di Forwis Land secara otomatis memunculkn bulatan mikro transparan dari balik jubah putih Kepala Mayor Hana. Bulatan tersebut ada yang berfungsi sebagai mikro, ada juga yang berfungsi sebagai mikrofon.

Detik berikutnya, seluruh jaringan layar-layar raksasa di setiap penjuru Forwis Land langsung menampilkan wajah wibawa Kepala Mayor Hana. "Inti dari Pohon Forwis mengalami kerusakan. Ada seseorang yang melanggar peraturan sakral di pasal 2 ayat 2(a) dalam Dekret Forwis Land, dan memiliki senjata pusaka kita semua, Forknife Death, satu-satunya alat yang bisa merusak Pohon Forwis."

Serentak, seluruh rakyat saling melempar pandangan satu sama lain. Semua ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bisik-bisik bising mulai mengudara. Siapa orangnya? Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Forknife Death memang tidak dijaga oleh pemerintah Forwis Land, karena hakikat pisaunya yang memang ingin tumbuh tanpa pengawasan di alam liar. Tidak banyak yang mengetahui soal senjata ini. Kalaupun tahu di mana letak pastinya, mereka tidak akan bertindak sejauh itu untuk merusak Pohon Forwis, toh mereka juga menyadari bahwa kehidupan jauh lebih mudah dengan adanya Pohon Forwis ....

Kepala Mayor Hana berdekham singkat, langsung menghentikan kebisingan yang ada. "Tak apa. Biarkan Pohon Forwis sendiri yang menjawabnya."

Kepala Keamanan Avis bergerak mengamankan dan mengomando seluruh rakyat untuk berbaris melingkar sambil mengitari Pohon Forwis. Berlapis-lapis baris, hingga sampai ke ujung kota. Tak lupa iringan lagu kebangsaan Forwis Land yang bersahutan sakral.

"Pohon Forwis adalah hidup. Hidup adalah Pohon Forwis."

Baru selesai lagu kebangsaan itu dinyanyikan, tahu-tahu muncul rotan panjang dengan rimbun dedaunan busuk dari dalam tanah dan langsung mengikat tubuh Wawa. Anak itu panik, tak mengira akan tertangkap semudah ini. Padahal Wawa sengaja mengambl barisan yang berjarak jauh dari Pohon Forwis ....

Rotan berhias dedaunan layu itu menarik badan Wawa hingga terentak menghantam batang Pohon Forwis, tepat di samping Kepala Mayor Hana. Seluruh pasang mata menatapnya dengan sorotan yang sarat menuntut kejelasan.

Sebelum Kepala Mayor Hana sempat membuka mulut, Wawa langsung berteriak, "Iya! Aku melakukannya! Aku melanggar peraturan, mencari tahu tentang senjata sakral yang tak seharusnya aku tahu, dan menghancurkan semua harapan yang menopang kelangsungan hidup Forwis Land."

Napas Wawa memburu. Namun, bibir itu kembali terbuka untuk melanjutkan kalimatnya.

"Iya, itu aku! Aku, anak dari distrik terkutuk yang tak akan pernah memiliki hak sama dengan masyarakat Forwis Land lain. Kami terbuang. Kami tak lebih dari objek pelampiasan bagi penduduk asli untuk menyalurkan sisa-sisa amarah mereka tentang perebutan hak milik Pohon Forwis, beratus-ratus tahun silam."

Wawa susah payah bangkit berdiri dalam keadaan tubuhnya yang terikat. Mata hitamnya memandangi seluruh rakyat di hadapan.

"Aku punya Ibu yang butuh biaya pengobatan untuk penyakit kerasnya. Aku juga punya harapan, sama seperti kalian. Pohon Forwis ada untuk mewujudkan segala harapan, 'kan? Lantas kenapa harapanku masih saja direnggut manusia-manusia di sini? Jika pada akhirnya, yang kuat dan dominan-lah yang akan memenangkan segalanya, untuk apa Pohon Forwis masih menggantungkan harapan-harapan semu?"

Ketika hari beranjak malam itu, Wawa mencurahkan segalanya. Seluruh rakyat hanya bisa tenggelam dalam diam. Menyadari apa yang terjadi, Kepala Mayor Hana memutuskan untuk merangkul Wawa, erat. "Aku ada di sini. Aku akan memastikan tak ada lagi yang merenggut bait-bait harapanmu. Kalau begitu, apakah kau mau menghidupkan kembali Pohon Forwis, demi kita, demi harapan kita semua?"

Kepala Mayor Hana menjanjikan segalanya. Soal jaminan kesembuhan ibunya yang seratus persen ... Wawa mengangguk lemah.

Kepala Keamanan Avis langsung bergerak untuk menindak pria-pria yang dimaksud Wawa. Tim Keamanan sudah bersumpah untuk melindungi hak-hak para rakyat Forwis Land, tanpa memandangi dari distrik mana ia berasal.

Mereka menyelesaikan semuanya dengan cepat. Setelah kembali mengitari Pohon Forwis dengan baris melingkar dan lagu kebangsaan yang menggantung di langit-langit, Forknife Death yang dikembalikan pada tempatnya, kini huruf H kelabu tadi memercikkan cahaya indah yang menyilaukan.

Sistem kehidupan Pohon Forwis sudah kembali normal. Warna-warni mulai menghiasi rimbun daunnya kembali, bersama dengan harapan-harapan yang kembali menemukan tempat pulang.

Huruf H itu sudah kembali ke dalam batang pohon, tanpa menyisakan jejak.

Ya ... Pohon Forwis, Forwish, For Wish ... demi berjuta harapan yang tak akan ada hentinya manusia gumamkan.

Wakil Kepala Mayor Zeyn menyeru anak muridnya dari Akademi Forwis Land yang tahun ketiga, termasuk Wawa, untuk mencari hadiah dan memberikannya pada seluruh penduduk Forwis Land, tanpa terkecuali. Demi mengeratkan satu kesatuan yang utuh ...

Tawa riang bersahutan di sana-sini, ramai sekali memenuhi malam yang beranjak matang. Kini, anak tahun keempat Akademi Forwis Land bahkan sedang menyiapkan hidangan untuk pesta yang diadakan tepat di depan Pohon Forwis.

"Benar. Selama masih ada manusia, kejahatan itu tidak akan pernah menemui akhir kisahnya." Konselor Selenic memandangi langit malam yang bertabur gemintang indah, sambil mengembangkan senyuman bijaknya. "Akan tetapi, manusia masih memiliki rasa kemanusiaan, dan tidak ada yang bisa mengelak darinya. Selalu ada jalan keluar. Selalu. Karena pada akhirnya, manusia ... tetaplah manusia."

Di sebelahnya, Penasihat Re terkekeh kecil. "Dan, ya ... harapan itu masihlah ada. Selama kita masih punya harapan, tak ada yang perlu ditakutkan dari kehidupan."

Angin malam membelai rimbunnya dedaunan yang seolah membisikkan tanya dalam senyap.

Jadi, apalah arti harapan bagimu?

*   *   *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top