Prolog

Setiap jiwa memiliki kisahnya. Entah itu kisah yang baik, menegangkan, jahat, pilu, atau bahkan kisah stagnan tanpa kemajuan.

Morina, wanita tua yang duduk di samping Air Terjun Kesedihan itu percaya jika setiap jiwa memiliki tempatnya masing-masing setelah kematian. Meski ia adalah penjaga dari para jiwa, ia tidak tahu kemana para jiwa itu pergi setelah beristirahat di Hutan Memorandum.

Di jurang paling dalam itu, ia menemani para arwah yang telah menetas dari buah-buah lentera yang jadi sumber cahaya baginya itu. Permintaan maaf terdengar dari bola api hijau yang terbang mengitari kolam di bawah air terjun.

Wanita tua itu terus merenungkan kisah-kisah dari jiwa itu. Meski ia tidak menyelami seluruh memori para jiwa itu, ia tahu jika jiwa-jiwa itu mengalami masa-masa yang sulit selama mereka hidup.

Morina mengeluarkan seruling dari jubah putihnya dan mulai melantunkan harmoni perpisahan yang memenangkan. Para jiwa terdiam, seolah membeku di tempatnya melayang. Satu per satu cahaya dari jiwa itu menghilang, membuat inti jiwa terjatuh ke dasar kolam. Di sisi lain, jiwa-jiwa lain terbang ke udara, seolah langit telah menerimanya untuk melebur dengan cahaya matahari bersinar jauh di atas jurang.

Tugasnya mengantarkan jiwa ke alam selanjutnya telah selesai. Saatnya ia membantu para jiwa yang tidak tenang di pohon-pohon jiwa yang layu.

Morina berdiri, memanjatkan beberapa kalimat mantra dan mengubah serulingnya menjadi tongkat. Dengan langkah bungkuknya, ia berjalan menuju salah satu pohon yang hampir kehilangan cahaya. Tak lama setelah tangan keriputnya merasakan tekstur kasar batang pohon, wanita tua itu lantas kehilangan sosoknya dan meresap ke dalam pohon, menjelajahi memori dari jiwa yang tidak tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top