3: Terbang
Selasa, 4 Agustus 2015.
Aku akan terbang ke Batu. Ya, salah satu kota di pulau Jawa bagian Timur, yang belum pernah aku kunjungi sama sekali. Aku memang tidak pernah mengunjungi daerah Jawa sama sekali, kalau daerah Sunda, aku pernah. Beberapa kali malah. Sebab, asal Mama memang dari sana.
Pagi hari, cuaca mendung. Aku meminjam jaket adikku, bukan hanya karena dingin. Melainkan, kami memang disuruh membawa jaket, katanya cuaca di Batu sangat dingin. Satu jaket saja tidak cukup untuk menahannya.
Aku pun berpamitan pada Mama.
"Sukses, ya, Kak. Baik-baik di sana."
"Iya, Ma. Doain Kakak yang terbaik juga, ya," ucapku sembari menyalami tangan Mama.
Aku pun diantar Papa menuju Bandara Internasional Hang Nadim, menggunakan motor. Papa hari ini memang sengaja pergi cepat hanya untuk mengantarku ke bandara. Katanya, takut terlambat masuk kerja. Itulah Papa. Orangnya rajin dan disiplin.
Meskipun hujan gerimis sempat turun di Simpang Kabil dan menderas, akhirnya kami tetap sampai di bandara. Setelah dari motor aku menyalami tangan ayahku. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Ternyata benar kata Mama, beliau sudah semakin renta. Aku baru menyadarinya.
Aku sadar bahwa aku tidak akan melihat Papa dalam waktu yang lama, aku memeluk Papaku. Janggal memang, karena aku tidak ingat kapan aku terakhir memeluk Papa. Rasanya aku ingin menangis, tapi itu tak lama. Hanya beberapa detik saja. Papa berpesan agar aku berhati-hati dan menjaga diri disana. Aku mengangguk.
Aku pun membawa koper dan tasku menuju koridor. Di sana sangat ramai, aku belum menemukan satupun teman-temanku. Sambil terus mondar-mandir di koridor, aku terus mengecek ponselku. Ya, kubawa juga dia memang meskipun layarnya retak. Aku tidak peduli.
Namun, beberapa menit kemudian, aku menjumpai Emi dan Izzy. Mereka adalah rekanku, duta anak dari provinsi Kepulauan Riau. Mereka tersenyum cerah kepadaku dan aku pun membalas senyum mereka.
Sambil menunggu rekanku yang lain datang, aku mengenang tempat ini. Ya, sepertinya tempat ini berubah sejak enam tahun yang lalu. Tapi aku tidak tahu apa yang berubah.
Kemudian datanglah Radan dan Nadys. Disusul oleh Hadi yang datang bersamaan dengan gerimis. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ya, harusnya kami mulai boarding sekarang, tetapi ditunda karena gerimis.
Setengah jam kemudian, Sekar datang. Lalu disusul dengan Dayat yang datang terakhir. Kami pun mulai memasuki ruang keberangkatan.
***
Setelah kurang lebih tiga jam kami mengudara, akhirnya sampai juga kami di Bandara Juanda, Surabaya. Aku sangat senang. Ini akan jadi pengalaman yang sangat berharga.
Beberapa jam menunggu, akhirnya bus jemputan kami tiba. Kami satu bus dengan duta anak dari provinsi Jambi, Sumatera Utara, dan tak ketinggalan para fasilitator dan pembimbing.
Kami mendapat bangku paling belakang. Aku sangat menikmati perjalanan kami. Tiba-tiba, ponsel mamaku bergetar (ya, aku memang membawa dua ponsel kesana) menandakan ada SMS masuk.
From: Kelly
Received: 4-8-2015 13:54
Kim, gimana? Udah nyampe dengan selamat, belum? Jangan lupa oleh-olehnya.
Sejenak aku tertawa kecil menerima pesan dari Kelly. Langsung saja kami mengobrol lewat pesan singkat.
To: Kelly
Sent: 4-8-2015 13:58
Udah alhamdulillah. Yee, acara aja belum mulai, lu udah minta oleh-oleh. :v Btw, gimana? Katanya hari ini udah belajar efektif, kan?
From: Kelly
Received: 4-8-2015 14:00
Iya nih. Tadi sih cuma Pak Ope yang masuk. Kita dikasih PR semacam bahan diskusi gitu.
To: Kelly
Sent: 4-8-2015 14:07
Ya elah. Gila aja hari pertama langsung dapat PR Fisika. Yang sabar ye, untung wa lagi holiday. Wkwkw
From: Kelly
Received: 4-8-2015 14:10
Wkw. Lu tu yang kasian. Pulang holiday dapat PR banyak wkak. Ya udah, wa mau ngerjain PR dulu. Jangan lupa, oleh-oleh!
To: Kelly
Received: 4-8-2015 14:12
Bodo amat. Yang penting sekarang wa gak ngerasain fisika hari pertama. Yoi.
Aku berusaha memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Karena pemandangan Jawa Timur memang memesona. Gunung yang berjajar dan sawah yang terhampar dimana-mana. Perjalanan kami pun ditemani salah satu anak dari Jambi yang menyanyikan lagu dan bermain gitar. Sementara bagian favoritku sendiri adalah ketika melewati Lumpur Lapindo, Sidoarjo.
Setelah tiga jam perjalanan menggunakan bus, akhirnya kami pun turun di sebuah hotel, dan langsung disambut dengan ramah.
Kami pun melakukan registrasi ulang, dan pergi ke resepsionis untuk mengetahui nomor kamar dan mengambil karcis untuk makan. Menarik, karena satu kamar akan diisi empat sampai sepuluh orang dari provinsi yang berbeda. Setelah selesai urusanku di resepsionis, aku pun mencari nomor kamarku.
Setelah mutar-mutar mencari nomor kamarku, aku pun mengetuk pintu kamar, dan yang membuka adalah gadis kecil yang kepalanya ditutupi handuk. Sepertinya dia habis mandi.
"Halo, Kakak dapat di kamar ini ya?"
Aku mengangguk.
"Masuk, Kak."
Aku pun masuk membawa koperku. Ternyata kamarnya jauh dari dugaanku. Terdapat satu televisi di kamar, dua lemari, empat laci dengan empat lampu tidur yang diselingi empat kasur berukuran sedang, satu meja rias yang diatasnya terdapat cermin besar, dan dua kasur sederhana yang berukuran kecil. Di dalamnya juga ada sebuah kamar mandi.
"Kakak ini dari mana?" tanya gadis yang kini sudah melepas handuknya itu ramah.
"Dari Batam," jawabku sambil tersenyum kecil.
"Hoooo ... Batam? Di mana tu?" tanya seorang gadis bermata sipit. Hmm, sepertinya aku punya kawan.
"Kalau enggak salah, itu yo, yang dekat Singapore itu?" sela gadis berjilbab yang sedang memainkan remote televisi.
"Iya, benar," jawabku. Lalu, "Eh, kenalan dong, kalian dari mana aja?"
"Namaku Siti, aku dari Bangka Belitung, kalau kakak yang sipit itu namanya Viva dari NTB, dan kakak yang berjilbab ini namanya Umi dari Jambi," jawabnya diikuti anggukan Viva dan Umi. "Oh iya, Kak. Sebenernya ada lagi satu orang, dia dari Manado, tapi orangnya sedang keluar," Aku mengangguk.
"Kalau kamu, namanya siapa?" sahut Umi.
"Kimy," jawabku.
"Wah, nama yang unik. Ngomong-ngomong, kakak orang Cina ya?" tanya Viva.
"Iya, kamu?" aku bertanya balik karena matanya Viva juga sipit.
"Oh, enggak, saya orang Bima asli," jawab Viva.
"Wih, keren ya, tak ada keturunan, bisa sipit," kataku.
"Iya, hehe, Kakak kelas berapa?"
"Aku kelas sebelas, kalau kalian?"
"Aku kelas sembilan," jawab Viva.
"Eh ... Kita sama! Aku juga kelas sebelas," kata Umi.
"Kalau aku kelas delapan," sambung Siti.
Senang bisa berjumpa kawan baru, memang. Apalagi kalau mereka ternyata sangat ramah kepada kita. Aku pun mengobrol dengan mereka sampai waktu makan malam pertama tiba.
***
Aku sedang kembali ke kamar untuk mengambil karcis makanku yang tertinggal ketika aku melihat seseorang di depan pintu kamar kami.
"Kamu, di kamar ini juga?" tanyaku.
"Iya, tapi sepertinya ndak ada orang," dia kebingungan.
"Oh ... Iya nih, aku juga tadi gitu, makanya aku ke resepsionis, minta kunci cadangan," kataku sambil menunjukkan kuncinya.
"Wah, alhamdulillah,"
Aku pun tersenyum dan memasukkan kunci kamar hotel yang berupa kartu itu ke gagang pintunya. Pintu seketika terbuka.
Aku memerhatikan tulisan pada bagian belakang kemejanya. "Ngajogjakarta"
Wah! Ternyata akan ada orang Jogja di kamarku.
"Hmm ... Kamu dari Jogja?"
"Iya," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Salam kenal! Nama kamu siapa?" dia mengulurkan tangan.
"Ayu, hehe, kalau kamu?" aku membalas uluran tangannya.
"Kimy, aku dari Batam,"
"Oh ... Jauh juga,"
"Ya, begitulah. Oh iya, kamu baru sampai disini, ya?"
"Iya nih, Jogja kan deket dari Malang, jadi kami pake kereta api kesini, terus naik bus lagi, di jalan macet, jadilah kami baru nyampe,"
"Oalah, sekarang lagi jam makan malam sih, jadi pada keluar, makanya kita terkunci diluar,"
"Oh ... Kamu sudah makan?"
"Belum, kamu mau makan bersamaku?"
"Boleh!"
***
Tadi malam benar-benar melelahkan. Semalaman kami hanya duduk di kursi dan menonton malam budaya yang sialnya, aku lupa membawa kacamata sehingga tidak dapat melihat panggung dengan jelas. Apalagi semalam, provinsi Kepulauan Riau kebagian tempatnya di belakang.
Aku bersyukur, karena pagi ini masih bisa bangun jam setengah lima, meski semalam aku baru tidur jam satu malam. Bayangkan saja kami baru ke kamar jam dua belas malam dan aku mengulur-ulur waktu mengobrol dengan Umi hingga jam satu malam. Jadilah aku hanya tidur tiga jam tiga puluh menit malam ini.
Sekar meneleponku saat aku terbangun tadi. Tetapi, saat kuangkat, baru tersambung sath dua detik, dia matikan. Ya sudah.
"Kak, salat subuh dulu jangan lupa, disini azannya cepet loh, udah dari jam empat tadi,"
"Oh iya? Makasih Siti, di kamar mandi ada orang ya?"
"Ada, tadi Kak Jessi mandi,"
"Udah lama?"
"Udah lima belas menitan gitulah kak, gak lama lagi juga paling keluar,"
Setelah Jessi keluar, aku pun mengambil air wudu, dan pergi salat subuh.
Hari keduaku di Malang akan dimulai pagi ini.
***
Jam tujuh lewat tiga puluh menit. Aku sudah menyelesaikan sarapanku. Aku mencari Sekar yang kini menghilang entah dimana. Padahal dia hanya bilang ingin pergi sebentar.
Aku pun keluar dari gedung Nawang Sari, tempat biasa kami makan, dan pergi ke taman bunga yang berada di depan ruang serbaguna. Di sana terdapat kolam ikan yang ternyata, ada seorang laki-laki sedang berfoto ria disana.
He seems like my destiny.
"Halo, kamu sendirian juga?" tanya lelaki itu saat aku berpura-pura mengecek ponselku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top