2: Kelas Baru

Jum'at, 31 Juli 2015.

Setelah riuh usai pembagian kelas kemarin, kini mulailah aku beradaptasi dengan kelas baruku. Sebelas MIPA dua. Aku sungguh tak sabar ingin mengetahui akan seperti apa kami ke depannya.

Kulangkahkan kakiku ke lantai tiga, kelas kami tepat di sebelah aula. Di dalamnya terdapat beberapa kursi-meja yang belum dirapikan bahkan disusun juga belum, serta beberapa kawan-kawan baruku di sebelas MIPA dua.

Kulihat Ari sedang bermain game di komputernya dikelilingi oleh beberapa teman yang sudah kukenal. Akupun ikut bergabung dalam lingkaran tersebut.

Setelah bosan menonton, akhirnya aku jadi kurang kerjaan di kelas. Akhirnya, aku cuma duduk-duduk saja, tidak tahu mau berbuat apa.

Uci sedari tadi hanya memainkan ponselnya sementara aku bingung karena ponselku layarnya rusak. Apa yang bisa kuperbuat dengan ponsel yang layarnya rusak?

Kulirik gerombolan cowok yang sedang duduk di tengah-tengah kelas yang kosong. Di sana ada Rizal, Daniel, Ditya, Tristan, Tama, dan beberapa cowok sebelas MIPA dua lainnya yang tidak kukenal. Oh iya, di sana juga ada Edo, cowok yang kini sedang kusukai dan aku sangat bersyukur bisa sekelas dengannya.

Aku menatapnya. Sepertinya dia tidak terlalu betah mengobrol dengan cowok-cowok di sekelilingnya. Entahlah. Dia terlalu pendiam. Padahal, dia tidak seperti itu ketika kelas sepuluh lalu. Dia biasanya berbincang dengan suara seantero kelas, berteriak antusias, atau tertawa keras. Tapi hari ini, entahlah. Aku juga tidak tahu mengapa.

Katanya, Edo berencana untuk pindah ke kelas XI MIPA 3. Alasannya simpel. Karena dia tidak mau belajar lintas minat bahasa Jepang. Dia memlilih untuk pindah kelas. Mengingatkanku pada sebuah dialog kecil.

"Kim, ko kalau kelas sebelas nanti, ambil lintas minat apa?" tanyanya.

"Hmm.. Aku sih ngambilnya Jepang. Kalo ko, Do?"

"Aku bingung, Kim. Ambil lintas minat apa. Aku suka hal-hal yang berbau Jepang. Banget malah. Kayak anime, manga, game-nya, dan masih banyak lagi. Tapi, aku gak suka belajar bahasanya, gimana dong?" Dia terlihat bingung, memang.

"Hmm. Nilaimu lebih tinggi mana? Ekonomi atau Jepang?"

"Jepang, sih."

"Nah, itu tuh biasanya dapatnya lintas minat yang nilainya paling tinggi, katanya. Hayo loh ko, Do." Aku cekikikan saja melihat tampangnya yang cemas. Menggemaskan.

"Haduh, Kim. Gimana nih, aku gak mau dapat lintas minat Jepang," keluhnya.

"Ya, gak apa-apa lagi, Do. Kan ko suka juga tapi hal-hal berbau Jepang. Ko juga bisa kan belajar Jepang. Buktinya aja nilaimu lebih tinggi Jepang daripada Ekonomi." Aku tertunduk, pura-pura menggaris-bawahi buku pelajaranku. Aku tak berani menatap matanya yang bening. Sebenarnya aku sekalian menahannya untuk pergi dari sekitarku. Aku ingin dia selalu ada di tempat yang bisa kulihat.

"Ya, tapi aku gak mau, Kim. Susah nanti kalo aku belajar Jepang. Bisa-bisa aku stress. Nanti aku minta pindah kelas ajalah kalo aku salah masuk kelas," dia tertawa.

Dan aku tak sanggup mendengar tawanya saat itu. Itu sungguh menyakitkan bagiku.

Dan sekarang, ia benar-benar menunjukkan bahwa ia akan pergi. Tapi aku selalu berdoa bahwa itu hanyalah isu. Aku belum siap menerima kenyataan untuk merasa sedih saat baru saja rasa bahagia menyinggahi hatiku.

Tapi, sepertinya isu itu begitu kuat. Baru saja kupikirkan, Edo tidak berniat melanjutkan obrolan. Dia bangkit berdiri, meninggalkan kelas dan pergi entah kemana. Mungkin ke kelas sebelah.

Aku terdiam. Tak tahu harus melakukan apa.

***

Siang harinya, seperti biasa aku mencari sinyal Wi-Fi di tempat kerja ayahku. Karena tempat kerja ayahku yang sekaligus toko pamanku itu memang lumayan dekat dengan sekolahku. Hanya berjalan kaki lima belas menit saja.

Aku pun duduk di salah satu bangku yang terletak di samping toko pamanku.

Aku pun menyalakan ponselku. Setelah beberapa menit, notifikasi pun bermunculan di ponselku. Bayangkan saja, baru sehari ditinggal, notifikasi chat sudah mencapai 999 pesan bahkan lebih.

Aku pun membuka Line. Di samping tab obrolan, ternyata ada beberapa undangan grup. Salah satunya, SEBELAS MIPA DUA. Wah, malam ini sepertinya harus beli kuota.

Iya, aku berencana untuk membeli kuota karena layar ponselku rusak, dan bagian bawah yang retak tidak responsibel sama sekali. Jadi, aku tidak dapat join dengan grup saat itu juga. Sedih memang. Aku berharap bisa memiliki ponsel baru segera.

Malam hari tiba, dan kartu internet sudah di tangan. Aku pun memasukkan kartu ke dalam modem, dan menyalakan laptop. Tampilan welcome screen nampak di layar. Aku sabar menunggu hingga laptop menampilkan tampilan aplikasi anti virus setelahnya. Setelah desktop benar-benar bersih, barulah aku mengunduh aplikasi Line Messenger untuk laptopku, karena aku belum memilikinya. Setelah selesai diinstal, aku pun log in memakai akun yang sama dengan yang ada di ponselku. Saat itu aku bersyukur telah memverifikasi emailku.

Notifikasi pun bermunculan, seperti tadi sore yang jumlahnya sama. 999 pesan lebih memenuhi tab obrolanku. Aku pun mengeklik tanda di sampingnya, dan join dengan undangan grup yang tertera di sana.

Namun sebelum aku klik join, aku melihat beberapa anggota yang sudah tergabung. Hmm, menarik. Wulan yang membuat grupnya, dan disana ada Junet, Edo, Daniel, Kelly, Uci, Ari, dan beberapa orang lain. Sekitar sepuluh orang. Ada juga yang baru join malam ini, sepertiku.

Grup ramai sekali. Meski orangnya itu-itu saja. Namun anehnya, orang yang 'itu-itu saja' di grup kelas kali ini adalah Uci, Faisal, dan Sasha. Lagi-lagi aku berpikir, menarik.

Sepertinya, kelas ini akan membuatku nyaman. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tetapi, hari pertama aku berada di grup Line kelas saja aku sudah berisik. Beda dengan aku waktu kelas sepuluh dulu.

Semoga saja ini adalah awal yang baik.

***

Malam harinya, aku kembali mencabut kartu dari hapeku dan memindahkannya ke modem. Kunyalakan laptopku dan seperti biasa, Line langsung menampilkan tab log in. Kulihat ada beberapa notifikasi chat dari grup kelas.

Aku membukanya. Cukup mencengangkan, karena rupanya, kesimpulan chat yang kudapat adalah: Wulan, sang pembuat grup malah ingin pindah ke kelas sebelah, XI MIPA 3. Selain itu, dengan terang-terangan dia mengatakan bahwa kelas baru kami garing, tak asik, serta tak seru. Dia juga mengatakan akan left dari grup itu secepatnya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Selain itu, Junet, dan Edo juga akan pindah ke kelas sebelah. Ini mutlak membuat hatiku pedih. Karena isu itu ternyata sebuah realita. Aku harus menerimanya.

Sebenarnya tadi siang aku sudah mengetahui akan kebenaran isu tersebut. Dari Aya, yang menulis alasan kenapa dia ingin pindah ke kelas kami sebagai salah satu syarat untuk pindah kelas.

Hanya saja ketika Edo yang melakukannya, aku tidak percaya.

Di sisi lain aku bersyukur, dengan perginya Edo, siapa tahu aku bisa membuka hatiku untuk lelaki yang lebih baik.

***

Senin, 3 Agustus 2016.


Aku memilih untuk tidak masuk sekolah. Sayang sekali. Padahal, kata Uci, hari ini adalah pertemuan pertama dengan wali kelas, dan pemilihan perangkat kelas. Uci juga bilang kalau semua meja dan kursi sudah disusun dengan rapi. Ketika Uci bertanya mengapa aku tidak masuk, kujawab saja malas. Alasanku harus menyiapkan banyak hal untuk besok. Padahal, semua sudah kusiapkan dari jauh-jauh hari. Jadi, aku tinggal pergi saja.

Semoga hari-hariku ke depan akan selalu menyenangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top