Kamis, 30 Juli 2015.
"Kim!"
Sontak aku menoleh. Ternyata itu Uci, sahabat sejauh kehidupanku di SMA ini. Terlihat keringat membasahi kening dan dagunya, mungkin karena ia naik-turun tangga melulu dari tadi.
"Napa, Ci? Udah ada belum itu pengumuman nama kelas?" aku yang sedang mengunyah nasi bekalku--padahal baru jam sepuluh--menjawab panggilannya.
"Belum, Kim. Udah capek ke bawah, eh... Masih belum juga ditempel di mading,"
"Hm, jangan-jangan diundur lagi tuh pengumuman kelas kayak kemaren. Ah, sekolah mah udah ngalah-ngalahin gebetan nih, kerjanya ngasih harapan palsu melulu," aku menyendok nasi dengan lauk ayam goreng yang mamaku buat tadi pagi.
Uci hanya terdiam pasrah, mengambil botol minum lalu menenggak sedikit air.
Ya, hari itu sudah hari keempat kami memasuki sekolah, dan kabar perombakan kelas sudah terdengar dari beberapa bulan yang lalu.
Jujur, aku sih, sah-sah saja bila kami berpisah. Toh, aku juga di kelas hanya akrab dengan beberapa orang saja. Selebihnya? Aku mungkin hanya pernah berbicara sepotong-sepotong kalimat saja dengan mereka.
Baru saja lewat lima menit Uci duduk, dan lalu ia membuka ponselnya, terdengar riuh-rendah dari bawah sana. Aku langsung saja menghambur keluar, tanpa memedulikan bekal makanku yang masih terbuka.
Rame banget di bawah, pikirku.
Aku langsung saja lari menuruni tangga tanpa pikir kalau perutku baru saja diisi dan kotak bekalku yang masih terbuka lebar, mungkin. Aku lebih mementingkan rasa penasaran dengan apa yang terjadi di bawah.
Sesampainya aku di depan mading, aku melihat banyak sekali orang di bawah, dan benar dugaanku! Pengumuman kelas telah tertempel di mading.
Wah, aku harus kasih tau Uci, nih!
Segera aku berlari kembali ke atas, berpapasan dengan beberapa anak kelas sebelah yang menanyakan hal yang sama.
"Kim, di bawah udah ada pengumumannya, ya?"
"Udaaaaah!" seruku sambil berlari, saking semangatnya aku ingin memberitahu Uci tentang hal ini.
"Ci! Uci!" teriakku.
"Napa, Kim, kok ko* udah kayak orang ketemu hantu, sih?" Uci yang langsung terdongak dari ponselnya.
"Ituuuuu, huh huh. Ituuuu!" aku tak bisa bernapas, tidak tahu antara saking capeknya berlari naik ke atas atau saking senangnya mengetahui pengumuman itu akhirnya tertempel--setelah tiga abad, eh maksudku tiga hari gabut* di sekolah.
"Udah, mending ko duduk dulu, deh. Sekalian tutup nih kotak bekalmu. Wkwk," ternyata kotak bekalku masih terbuka dari tadi.
Aku langsung menutupnya, lalu mengatakan hal itu kepada Uci.
"Ci, ituuuu ciiiii," aku masih speechless, tidak mampu berkata-kata.
"Apa sih Kim, cepetan, ko jangan bikin aku penasaran!" Uci sudah mulai geram.
Aku merutuk pada hati yang mengatakan sepatah kata pun tak bisa. Akhirnya, aku tarik saja tangan Uci dan mengajaknya berlari ke bawah.
Turun dari tangga, Uci pun ikut-ikutan kaget.
"Kim, ko enggak bisa bilang ya, kalo pengumuman kelas udah ditempel, saking senengnya?" tanya Uci. Aku mengangguk.
"Ya Tuhan, Kim... Hmm... Coba tengok apakah kita akan sekelas lagi?"
Deg. Benar juga apa yang dikatakan Uci. Saking semangatnya aku, aku sampai tidak memikirkan kemungkinan itu. Mungkin juga karena aku terlalu optimis akan sekelas lagi dengan Uci di kelas sebelas ini.
Uci adalah siswa yang cukup rajin di kelas. Nilai-nilainya? Tentu saja, selalu lebih tinggi dariku. Dia berpotensi sebenarnya, masuk kelas XI MIPA 1. Tapi, aku belum siap jika harus berpisah kelas dengannya.
Orang-orang berdesakan untuk melihat sejumlah kertas yang tertempel di mading. Kami memang menunggu mading itu sepi dulu, malas berdesak-desakan untuk melihat pengumuman itu. Kulihat beberapa orang yang kukenal. Di antaranya, Kelly--sahabatku dari SMP.
"Kim!"
"Iya, Kel? Kok ko kayaknya seneng banget?" aku terheran-heran menatap Kelly yang terlihat begitu bahagia.
"Ko tau, Kim?! Kita sekelas!!" teriak Kelly sambil menunjuk-nunjuk iphone-nya.
"Haaaaa serius aja ko?!" mataku terbelalak--meski tetap saja sipit.
"Iyaaaaaaaa!!"
Aku meraih iphone-nya tanpa ragu lagi. Aku melihat ada namaku disana. Seketika aku kaget, terdiam sejenak meyakinkan diri kalau ini bukan mimpi--karena selain namaku, nama Uci, Manda, Aul, Ningsih dan lain-lain juga ada disana.
"Aku gak mimpi, kan?" aku sudah tepekur, menatap ruang koperasi yang berada di seberang mading.
"Enggak, Kim. Ini nyata." Bisik Kelly sambil mengambil iphone-nya kembali.
"Gimana, Kim? Orangnya enak-enak kan?" tanya Kelly, seolah ingin menarikku dari ke-terkejut-anku.
Aku mengangguk.
"YAYYYYYYYYYYYY!" refleks, aku teriak dan langsung memeluk Kelly.
"YAYYYYY AKU SENENG BANGET, KEL, IMPIANKU TERKABUL!"
Bodoh amat orang di sekitarku, aku tidak peduli. Aku sudah jingkrak-jingkrak dan berputar-putar bersama Kelly di dekat mading. Aku langsung berlari menghampiri Uci.
"Ci, Uci! Ko tau gak--"
Belum siap aku bicara, Uci memotong. "Kita sekelas."
"Iyaaaaaa, waaaa aku seneng banget Ciiiiii!"
"Iya, Kim, iya," Uci cuma bisa tersenyum tipis mendengar kata-kataku. Uci selalu begitu, menanggapi segala hal dengan biasa saja.
Di dekat mading, kulihat ada beberapa teman yang dulu berbeda kelas denganku kini menjadi kawan sekelasku. Ya, karena aku tidak punya kawan yang benar-benar dekat di kelas selain Uci, jadilah aku lumayan dekat dengan beberapa orang di luar kelas. Seperti Ningsih yang selalu bergandengan dengan Aulina, lalu Diva yang kadang menjadi teman pulangku menuju halte, atau Kintan yang dari masa orientasi sudah menjadi temanku.
Aku menyapa Aul, yang sekarang sedang mengobrol dengan Winda di dekat tiang.
"Aul! Hei, sekarang kita sekelas ya!" sapaku riang.
"Eh, iya Kim! Yay ada Pomeeee," sahut Aul sambil mencubit pipi Uci yang notabene memang dekat sama Aul dari SMP.
Uci mengelak, "Ih, baru aja pengumuman, udah dicubit-cubit pipiku, apalagi nanti kalo udah sekelas."
"Yah, jangan gitu dong Pom, kita kan temen hehe," Aul tertawa tanggung.
"Auk ah, eh Nova masuk MIPA 1 ya," Uci sudah menanyakan kawan SMP-nya yang lain. Aku cuma diam saja melihat mereka 'reuni'.
"Iya, dia kan sepuluh besar kemaren, ya pastilah masuk MIPA 1."
Aul dan Uci mengobrol sementara ada yang memanggilku, Sabrina. Ia salah satu kawan dekatku dari kelas lain juga.
"Kimy! Eh, ko masuk kelas mana, Kim?"
"Eh Sab, MIPA 2 nih, hehe. Kau masuk MIPA 1, kan? Ih ga nyangka aku wak gini-gini ternyata ko butani* juga. Dasar,"
Aku tergelak, menggeleng-geleng pada Sabrina. Sabrina cuma tertawa kecut.
"Padahal aku nggak pinter loh, entah nih dimasukkan pulalah ke MIPA 1, pasrah ajalah."
"Hahahahaha, sabar ya Sab." Aku tertawa, lalu, "Eh ngomong-ngomong Olise masuk MIPA 1 juga kan?" Olise, yang nama aslinya Olivia adalah temanku dari SMP, kenal karena PMR. Kalau bukan karena dia, entah bagaimana caranya aku beradaptasi di SMA ini.
"Iya, Kim, Pita sama Nova juga."
"He eh," aku mengangguk. Jujur, aku merasa sedih mengetahui Olise tidak sekelas denganku. Padahal, kalau ada dia, kelasku pasti akan terasa lebih sempurna.
"Eh, Kim, aku ke sana dulu ya," Sabrina menunjuk mading yang mulai sepi oleh siswa.
Aku mengangguk, lalu membalas. "Iya Sab, good luck di MIPA 1!"
Sabrina mengacungkan jempol dan berjalan menuju mading pada saat Uci sudah menoleh kepadaku lagi. "Nay, disana ada Olise, tuh!"
"Mana?" aku terkejut, menyipit-nyipitkan mataku--yang padahal sudah sipit--karena aku tidak membawa kacamata.
"Itu loh, yang lagi ngobrol sama Pita!" Uci menunjuk-nunjuk Olise dan Pita yang sedang ngobrol, rupanya tidak jauh dari tempat kami berdiri.
"Oh ya! Baru nampak. Samperin yuk," ajakku.
Kami pun menghampiri Olise dan Pita yang sepertinya sangat serius membicarakan pengumuman tersebut. Uci jahil berkata, "Wah, kalian pasti udah rancang-rancang strategi untuk rebut ranking di MIPA 1--Congrats yaaaaaaa!" dengan paksa, Uci menjabat tangan keduanya.
"Nggak, ya. Mana ada." kata Olise.
"Halah. Bohong aja kalian ini." ejek Uci.
"Apa sih, Uci nih. Kacau aja." kata Pita kesal.
Aku yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat muka kedua temanku yang kebingungan tersebut. Mereka kelihatannya sangat sedih karena 'terlempar' ke XI MIPA 1. Sementara Uci mengajak ngobrol Pita, aku pun mengobrol dengan Olise.
"Cieeeee, Olise diam-diam ternyata butani ya," aku cengengesan sambil menepuk pundak Olise.
"Mana ada, ya, Kim, aku juga bingung kenapa aku dimasukin ke MIPA 1." Olise menatap dedaunan di pohon yang kokoh di sampingnya.
"Hmm. Sabar, ya, Lis. Semangat aja, semoga kamu bisa sukses di sana."
"Aamiin. By the way, Kimy sendiri masuk ke kelas berapa? XI MIPA 2 ya?"
"Iya Lis, gak nyangka banget aku bisa ditempatin sama orang-orang kayak Uci, Ningsih, Manda, aaa, seneng banget!"
"Alhamdulillah, ya, Kim, kalo aku malah dapat kelas yang kayak gini. Sedih, gak tau lagilah aku rankingku mau berapa lagi di sana."
"Gak usah sedih, Lis. Kan kelas XI MIPA 1 terkenal dengan kelas unggulan, dan biasanya orang-orang yang di situ nanti nilainya tinggi-tinggi dan banyak masuk undangan. Bersyukur aja, setidaknya orang-orang di kelas XI MIPA 1 kan juga bagus-bagus."
"Oke deh, Kim. Semoga aja aku bisa berjuang di sana."
"Iya--"
"Kimy ... balik ke atas, yuk?" Uci kelihatannya sudah bosan mengobrol dengan Pita dan mengajakku kembali ke kelas.
"Eh, Lis, aku sama Uci balik ke kelas dulu, ya. Nanti kalo di Line kita ngobrol lebih banyak lagi. Daaah," kataku sambil melambaikan tangan pada Olise.
"Okeeee," Olise balik melambaikan tangan padaku.
Akhirnya aku berbalik badan, meninggalkan Olise dan Pita yang lanjut membicarakan sesuatu, entah tentang apa. Aku mengikuti langkah kaki Uci di sampingnya, dan tersenyum riang. Tak sabar aku ingin segera memulai kehidupanku di kelas sebelas dan melihat seberapa bagusnya takdir yang akan kujalani ke depannya.
"Uci, kira-kira gimana nanti di kelas baru, ya?"
------------------------------------------------------
Catatan:
*ko=kau
*gabut=gaji buta, kurang kerjaan
*butani=buta nilai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top