Memorabilia
Halo, selamat malam. Cerita baru nih. Eh, tapi bukan beneran baru sih karena sudah dipublikasikan dlm bentuk cerpen tahun 2023 kemarin meskipun belum dipublish di wp. Untuk versi novelnya akan diusahakan dipublish di wp.
###
Risang menatap kedua tangannya, tangan yang beberapa saat lalu menyentuh wanita yang selama ini menjadi mimpinya. Menjadi nama dalam setiap doa-doanya. Wanita yang tak akan mungkin akan ia punya. Baik itu dulu, sekarang, bahkan mungkin nanti.
Semuanya sudah berakhir, berakhir sepenuhnya tanpa ada kata bersambung lagi. Tanpa ada satu harap lagi. Dan tentu saja ia tak akan mungkin melantunkan doa-doa untuk kebersamaan dengan wanita itu lagi.
Masih lekat dalam ingatan. Dulu, senyuman itu. Senyuman terindah yang pernah ia lihat saat wanita itu masih begitu belia. Senyuman menyilaukan dari seorang gadis yang mampu menjungkir-balikkan dunianya dan membuatnya bahkan rela meletakkan kepala di kaki gadis itu demi bisa menjadi pemiliknya.
Saat itu, kala dirinya juga masih begitu muda. Begitu bersemangat menantang dunia. Siang itu ia berlari menaiki tangga menuju lantai lima. Lantai di mana ia harus mengikuti mata kuliah ekonomi bisnis di semester tiga. Napasnya nyaris putus saking cepatnya ia berlari menapaki anak tangga yang seolah tak ada habisnya. Tak ada lift meskipun bangunan kokoh itu berlantai lima. Hal yang benar-benar membuat tidak hanya mahasiswa saja yang butuh tenaga ekstra untuk menghadiri kuliah, tapi juga para dosen yang memberikan ilmunya.
Risang mengutuk dalam hati. Seandainya saja ia tak terlambat bangun tentu ia tak perlu mengalami hal ini. Ia bisa mandi dan sarapan dengan tenang sebelum akhirnya berangkat kuliah pagi ini. Ia tak perlu ikut kelas lain demi mengejar ketertinggalannya di jam pertama tadi.
Ya, seharusnya ia masuk di jam pertama. Namun, akibat bangun terlalu siang, ia tak mampu mengikuti mata kuliahnya. Untung saja di jam berikutnya ia bisa ikut mata kuliah yang sama di kelas berbeda. Sang dosen mengizinkan hal tersebut sejak awal semester lalu bagi mahasiswa didikannya.
Risang menarik napas lega saat kakinya akhirnya menginjak lantai lima. Sengal yang mendera ia coba untuk kendalikan. Keringat juga terasa mulai membasahi keningnya. Namun, hal itu tak menyurutkan langkahnya untuk berlari menuju ruang A5.01 ruang kuliahnya siang ini.
Ketukan ia berikan pada benda persegi di hadapannya lalu sesaat kemudian ia dorong pintu hingga terbuka. Deretan kursi yang telah penuh oleh mahasiswa yang hadir seketika tertangkap matanya. Sorak sorai terdengar saat ia menutup pintu di belakangnya. Hal yang sering terjadi jika ada mahasiswa yang terlambat masuk kelas. Risang hanya mengerling jahil sambil menunjukkan gigi-gigi putihnya. Sedetik kemudian matanya bergerak melihat meja dosen di depan kelas. Sejenak keningnya berkerut. Kenapa Pak Baskoro tidak ada di sana?
"Pak Bas ke toilet. Buruan cari kedudukan yang aman. Pak Bas mau ngadain quiz dadakan." Suara salah satu mahasiswa di deret terdepan terdengar. Pemuda itu sepertinya tahu dengan kebingungan yang Risang rasakan.
Mata Risang melotot. Quiz? Mampus! Ia benar-benar tidak tahu. Bahkan ia tak mendengar kabar apapun dari teman sekelasnya yang sudah terlebih dahulu masuk kelas Pak Baskoro. Atau mungkin Alan, teman sekelasnya sudah mengirimkan sms kepadanya, tapi belum ia buka karena terburu-buru berangkat? Apapun itu sepertinya ia kembali mendapatkan kesialan setelah bangun kesiangan.
Risang mengedarkan pandangan ke seisi kelas. Mencari-cari kursi kosong yang akan ia duduki. Satu deret kursi tak berpenghuni tertangkap matanya. Ia segera melangkah mantap. Sepertinya ia tak benar-benar sial. Satu deret kursi kosong itu terletak di deretan paling belakang. Tidak benar-benar kosong sebenarnya karena ada satu sosok yang duduk di sana. Sendirian tanpa siapa-siapa. Mungkin sosok itu seperti dirinya. Datang terlambat dan akhirnya duduk di deretan belakang yang tersisa. Tempat yang aman bagi Risang apalagi jika ada quiz tanpa persiapan. Mungkin ia bisa mengajak sosok itu bekerja sama.
Risang mengempaskan diri pada kursi yang jauh dari kata empuk itu. Kelegaan menyelimutinya. Napasnya yang memburu ia coba untuk tenangkan. Keringat masih setia menempel di dahinya. Meskipun beberapa saat yang lalu ia mandi dengan bersih sebelum berangkat ke kampus. Namun, semuanya terasa sia-sia. Tubuhnya terasa gerah dan yang lebih parah ia merasa begitu kehausan. Benar-benar sial.
Dengan malas. Ia membuka tasnya. Mengeluarkan buku yang ia bawa, berkeinginan untuk membacanya sebelum Pak Baskoro memberikan quiz sebentar lagi. Hingga tiba-tiba saja tanpa ia sadari, sebuah botol kecil berisi air mineral terulur di hadapannya. Risang terdiam, sedetik kemudian ia dongakkan kepalanya pada sosok yang mengulurkan air mineral itu. Dan sekelilingnya entah kenapa tiba-tiba seolah membeku. Layaknya adegan film yang terhenti akibat tombol pause ditekan tiba-tiba.
Senyum itu begitu menyilaukan, seolah matahari begitu dekat di matanya. Binar mata yang begitu ceria seolah membutakan. Makhluk apakah dia? Kenapa begitu.... Sempurna. Ya, sosok di sebelahnya itu begitu luar biasa indah. Mungkin itulah penggambaran yang tepat.
"Ini, minum aja, kamu ngos-ngosan gitu. Pasti haus."
Seketika Risang tergeragap. Tersadar dari kekaguman pada gadis itu, terbius oleh senyum dan binar mata itu sebelum akhirnya mengembuskan napas pelan. Mencoba untuk menguasai diri.
"Makasih. Memangnya kamu nggak butuh?" balasnya sambil menerima uluran air gadis itu.
Senyuman lagi-lagi tersungging di wajah mempesona itu sebelum sederet kalimat terlontar dari bibir ranum yang bisa Risang pastikan hanya teroles oleh lipstik tipis. "Aku nggak haus, ambil aja. Kamu lebih butuh dari pada aku."
Hanya dengan kalimat itu saja Risang seolah melayang. Ia mengucapkan terima kasih lalu tanpa menunda seketika menenggak isi botol itu hingga tersisa setengah. Saat hendak melontarkan kalimat lebih banyak lagi, suara Pak Baskoro terdengar. Pria itu telah kembali dari toilet dan memulai quiz yang hendak diadakan.
Sepertinya Risang akan kembali memulai obrolan dengan gadis cantik di sebelahnya setelah kelas ini berakhir. Ya, itu pasti.
***
Manusia hanya bisa berencana. Namun, Tuhanlah yang memberikan izinNya. Gadis dengan mata berbinar itu menyelesaikan quiz jauh lebih dulu dari pada Risang lalu meninggalkan kelas begitu saja. Meninggalkan Risang bahkan sebelum tahu siapa dia, siapa namanya. Ia enggan bertanya pada mahasiswa lain di kelas itu. Mereka bukan teman sekelas Risang. Ada canggung yang ia rasa. Jadi yang ia lakukan hanyalah terus memasang mata kapan pun ia memasuki kampus. Berharap akan bisa bertemu dengan gadis dengan mata berbinar itu.
Hari berganti ia masih belum bisa bertemu dengan gadis itu. Padahal ia sudah beberapa kali bergabung dengan kelas yang sama seperti hari di mana ia bertemu gadis dengan mata berbinar itu. Saat genap dua bulan ia mencari, keberuntungan berpihak kepadanya.
Di sana, tepat beberapa langkah darinya, gadis itu terlihat tertawa ceria dengan gadis-gadis lain yang berjalan di koridor gedung A. Sepertinya gadis itu baru saja menyelesaikan kuliahnya. Risang gemetar oleh rasa menyenangkan yang ia sukai. Dadanya berdetak dengan begitu cepat. Saat langkah kaki gadis itu mendekat ke arahnya, tatapan mereka beradu. Seperti gerakan slow motion dalam film-film yang sering kali ia tonton, gadis itu mengulas senyumnya. Tepat di hadapannya. Binar matanya tetap seperti sebelumnya. Seolah menyilaukan matanya. Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga genap enam detik Risang tak mampu bernapas. Rasa suka cita melambungkannya hingga ia baru sadar tak membalas senyuman atau bahkan menyapa gadis itu yang kini telah berjalan menjauhinya.
Selalu seperti itu dan terus akan berulang hingga hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya, bulan-bulan berikutnya, tahun-tahun berikutnya hingga genap tiga tahun berlalu ia hanya mampu mengagumi dan terperosok semakin jauh saat berhadapan dengan gadis itu.
Hingga di suatu sore di bulan Juli, ia beranikan diri dan meneguhkan tekad. Ia akan membagi rasa yang selama tiga tahun ini menghuni hatinya dan perlahan ia pupuk diam-diam. Ia akan mengatakan semuanya. Rasa di hatinya, doa di setiap sujudnya, juga tekad untuk membawa gadis dengan mata berbinar itu menjadi miliknya.
"Hei, Risang! Kok bisa tahu indekosku di sini?" Raina, gadis dengan mata berbinar itu tersenyum ramah kala melihatnya telah menunggu di kursi taman indekosnya.
Senyuman Risang berikan sebelum menjawab pertanyaan gadis itu. Ia begitu lega ternyata gadis itu tahu namanya meskipun tak pernah berkenalan. Mungkin akibat Risang yang sering kali ikut kelas gadis itu. Lama kelamaan gadis itu tahu siapa namanya.
"Aku sudah tahu sejak dulu kalau kamu tinggal di sini." Jawaban Risang lagi-lagi membuat mata Raina berbinar. Makin membuat dada Risang berdebar dengan cara yang begitu menyenangkan.
Setelahnya mereka pun berbincang akrab berbagi cerita dan banyak hal. Membuat Risang yang sudah demikian terperosok pada pesona gadis itu makin tak tertolong lagi. Dua kali mereka pernah berangkat ke kampus bersama dengan Risang yang menjemput gadis itu. Tiga kali ia mendatangi tempat tinggal gadis itu sebelum akhirnya hari itu tiba. Hari penting bagi Risang karena ia akan membagi hatinya pada gadis itu.
"Maaf, Sang. Kamu terlambat. Aku enggak bisa sama kamu. Sudah ada orang lain yang mendampingiku. Semoga di waktu mendatang kamu akan bertemu belahan hatimu yang tentu saja bukan aku." Sederet kalimat yang diucapkan dengan nada pelan itu laksana bara yang membakar Risang sore itu kala akhirnya ia mengatakan niatnya yang telah ia pendam sejak tiga tahun lalu.
Semua mimpi-mimpinya, harapannya, doa-doanya selama tiga tahun ini seolah tak satu pun terwujud dan menjadi nyata. Apakah ia terlalu lama memendam rasa dan baru berani mengatakannya sekarang? Jika ia lebih cepat mengatakannya, apakah gadis itu akan menerimanya? Ataukah gadis bermata berbinar itu memang tak ingin menjadi belahan jiwanya?
Padahal ia sudah menyiapkan masa depan bersama gadis itu sebelum ia memberanikan diri menyatakan perasaannya. Ia telah mendapatkan gelar sarjananya beberapa bulan lalu meskipun belum wisuda. Ia juga sudah mendapatkan pekerjaan sejak satu bulan lalu. Ia bahkan sudah menceritakan tentang gadis itu kepada kedua orang tuanya dan bahkan mereka pun ikut mendukungnya. Kini, apa yang harus ia lakukan? Gadis itu tak mau menitipkan hatinya kepada Risang. Tak mau mempercayakan masa depannya bersama Risang.
###
Nia Andhika
2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top